13. Ji Hyun dan Rahasianya

Terima kasih untuk kalian yang masih nunggu cerita ini update dan terus memberikan dukungan berupa vote dan komen🥰

Aku tjintah kalian💚

.

.

.

"Jujur, gue masih nggak nyangka loh seorang Lee Janu bakalan ngebentak kek gitu," seru Ayudia saat berhasil mengambil potretku di pinggir jalan.

Hari ini kami berdua cuma jalan-jalan nggak jelas di sekitaran Seoul sambil belanja beberapa pernak-pernik unik yang kami lihat. Sekarang kami berdua sedang memesan jajanan di pinggir jalan. Banyak banget jajanannya, tapi aku memilih tteokboki dan odeng. Sementara Ayudia memilih untuk membeli dakhoci dan tteokebi. Sambil menunggu pesanan kami dibuat, aku dan Ayudia bergantian mengambil potret masing-masing.

"Dia juga manusia kali. Emang cuma lo doang yang boleh marah?" jawabku seraya melihat-lihat hasil jepretan Ayudia.

"Nggak gitu maksud gue. Gue cuma ... kaget aja gitu."

"Wajar, sih. Soalnya dia juga ngeliat kejadian itu."

Ayudia lantas menyenggol lenganku dengan sedikit keras hingga kamera yang ada di tanganku hampir saja terlepas dari genggamanku.

"Ish! Kameranya hampir jatuh, nih!" Aku melirik Ayudia sewot, sementara dia hanya mengangkat bahu masa bodoh.

"Lagian lo juga kenapa jadi nekat gitu, sih? Udah tahu juga bahaya, malah nyari mati."

"Gue bukannya mau nyari mati, tapi sejujurnya gue juga bingung mau ngapain waktu itu. Gue kan baru kali ini ada di posisi itu juga."

"I mean, otak lo itu apa nggak kecantol cara lain gitu? Sampai ngebahayain diri sendiri. Dan ... ini bukan pertama kali, ya. Lo nggak inget apa lo juga ngebiarin leher lo dikena pisau?"

"Gue nggak ngebiarin, ya."

"Ya, terserah lo lah mau bilang apa. Yang penting, lo lain kali mikir dulu lah sebelum bertindak."

"Kalo lo di posisi gue, apa lo bisa mikir juga? Nyawa seseorang hampir aja melayang dan itu ada di hadapan lo."

"Dan nyawa yang hampir melayang itu ya nyawa lo sendiri," jawab Ayudia cepat. "Untung lo nggak sampai kena pisau yang kedua kalinya. Kalo sampai itu terjadi lagi, udah ... mending kita balik ke Indo aja. Soalnya di Korea lo jadi berandal gini."

Aku mendengus keras mendengar omelan Ayudia. Beruntung ahjuma segera menginterupsi perdebatan kami dengan menyodorkan mangkuk berukuran sedang kepadaku dan Ayudia. Kalau nggak, bisa panjang ceritanya.

"Kalian dari Indonesia?" tanya ahjuma itu.

"Ne, ahjuma."

"Saya bisa berbahasa Indonesia, sedikit," ucap ahjuma itu dengan menggunakan bahasa Indonesia.

"Waaah, daebak!" pujiku bersama Ayudia. "Ahjuma pernah belajar bahasa Indonesia?"

"Tidak. Tapi saya sering mendengarnya. Beberapa turis dari Indonesia kadang mengajari aku juga sedikit."

"Kalau begitu, ayo ke Indonesia, ahjuma!"

"Wah, saya belum mahir menggunakan bahasa Indonesia." Ahjuma itu tertawa. "Tapi saya ingin sekali ke Bali."

"Wah, kalau begitu ahjuma harus ke sana segera."

"Semoga bisa tercapai," balasnya. Kami berbincang selama beberapa menit sebelum menyudahi karena ada pembeli yang harus ahjuma layani. Kami pun pamit dan kembali melanjutkan perjalanan.

Aku mengeratkan coat yang kupakai karena angin berembus sedikit kencang. Beberapa orang yang lewat juga melakukan hal yang sama, termasuk Ayudia. Nggak tahu kenapa, cuaca hari ini benar-benar terasa berbeda dari hari-hari sebelumnya. Hari ini rasanya lebih dingin dan angin yang berembus juga jadi lumayan sering.

"Ngopi yuk, Lav! Dingin banget ini."

"Mau di mana?"

"Jalan aja dulu, siapa tahu di depan ada cafe."

"Oke."

Kami berdua terus menyusuri jalan hingga menemukan sebuah cafe yang lumayan ramai pengunjung. Nggak heran juga karena cafe itu berada di pinggir jalan yang di depannya orang berlalu-lalang tanpa henti.

Saat aku membuka pintunya, wangi kopi dan roti langsung menyambut indera penciumanku. Perutku benar-benar langsung minta diisi, padahal melihat menunya pun belum.

"Dih, perut gue nggak tahu diri banget. Udah minta jatah aja, nih, padahal baru juga diisi dakochi," ujar Ayudia yang langsung kusetujui dengan anggukan pelan. Aku dan Ayudia kemudian melihat menu yang tertera di atas meja lalu segera memesannya. Sambil menunggu, kami berdua memilih duduk di sudut cafe yang terlihat lebih nyaman dan jauh dari kerumunan. Meskipun cafe ini ramai pengunjung, tapi yang kulihat mereka kebanyakan memilih makan di jalan atau di luar daripada di dalam cafe. Mungkin karena mereka terburu-buru dan ada kerjaan lain. Entahlah.

"Lo nggak ngehubungi tante Hina?"

Aku menggelen cepat. "Nggak. Kenapa?"

"Nggak pa-pa. Gue pikir tante Hina bakal penasaran terkait hubungan lo sama anaknya itu."

"Gue masih belum berani ngehubungi tante Hina sebelum luka gue sembuh. Bisa panjang urusan kalo sampai diajak ketemuan dengan kondisi gue yang seperti ini."

"Hmm bener juga. Eh, tapi gue penasaran tahu, kenapa ada orang yang mau nyelakain Ji Hyun gue?" Ayudia menautkan kedua tangannya dan memberikan ekspresi penasaran.

Keningku berkerut ikut berpikir. "Ya biasalah, dia kan idol. Pasti ada aja yang mau nyelakain."

"Tapi, kalo emang alesannya karena Ji Hyun seorang idol, waktu di depan gedung SNS Entertainment juga kan ada Chen, terus ... waktu kita di depan resto itu juga ada Janu, kenapa dia cuma ngincer Ji Hyun?" Aku menatap Ayudia dengan saksama. Benar juga apa yang dia bilang, kenapa aku baru kepikiran, ya?

"Bener juga."

"Permisi, ini pesanan, Kakak." Aku dan Ayudia berterima kasih saat pelayan itu meletakkan pesanan kami di atas meja. "Selamat menikmati."

"Gansahamnida."

"Nee."

Saat pelayan itu pergi, aku langsung meraih coffee latte pesananku dan menyeruputnya. "Bentar, gue minum dulu."

"Hahaha, gini amat, ya, acara jalan-jalan kita. Bukannya menikmati waktu liburan malah jadi detektif dadakan."

Aku tertawa kecil karena setuju dengan ucapan Ayudia. Bisa-bisanya kami berdua terjebak dalam skenario seperti ini.

***

"Yu, gue mau ke gedung SNS dulu. Chen tadi nge-chat gue mau balikin kotak makan gue."

"Ohoooo! Seorang Lavina si editor naskah sekarang mainnya lumayan jauh, euy. Mainnya udah bukan ama penulis lagi, tapi sama idol!"

Aku terbahak dan memukul lengan Ayudia. "Udah naik kelas gue mah."

"Ya udah, ayok. Mumpung masih sorean ini."

Kami pun memutuskan untuk naik taksi menuju gedung SNS dan menunggu di depan saja setelah sampai. Meskipun Chen bilang kami boleh masuk di lobi, aku dan Ayudia masih enggan untuk melakukannya. Kan nggak lucu kalau sampai diusir sama security karena dikira fans fanatik.

"Lo coba telpon Chen. Biar cepetan keluar."

"Iya." Aku kemudian mencoba meneleponnya, dan percobaan pertama gagal. Dia nggak mengangkat teleponku. Percobaan kedua, masih gagal. "Apa dia lagi latihan, ya?"

"Coba telepon Janu."

"Hah? Gila lo?"

"Lah, kenapa?"

"Nggak, nggak. Yang ada gue dikira caper ntar."

"Loh, bukannya lo emang harus caper? Kan lo calon pacarnya."

"Ih, apaan, sih."

"Ya udah, coba telepon Chen lagi."

Kembali aku mencoba menghubungi Chen, dan akhirnya dia pun mengangkatnya. Namun, belum juga aku mengatakan sepatah katapun, aku melihat Ji Hyun sedang berjalan bersama dengan seseorang yang menurutku sangat misterius. Mereka berdua tampak berjalan ke samping gedung sambil celingukan seolah takut dilihat oleh orang lain. Aku yang sudah penasaran tingkat akut pun langsung saja menyerahkan ponselku kepada Ayudia. Dia tampak bingung, tapi pada akhirnya mau tak mau dia yang berbicara dengan Chen. Sementara aku mencoba mengikuti ke mana Ji Hyun pergi.

Aku tahu, ini bisa saja termasuk melanggar privasi, tapi ... aku benar-benar curiga dengan laki-laki yang bersama dengan Ji Hyun itu. Jujur, selain penasaran dan curiga, aku takut dia melukai Ji Hyun.

Setelah mengikutinya selama beberapa menit, akhirnya mereka berdua berhenti di sebuah gang sempit yang sangat minim orang lewat. Aku sampai harus berpikir keras harus melakukan apa jika saja orang itu melukai Ji Hyun. Tapi, perkataan yang kudengar seketika membuat otakku berhenti berpikir.

"Segera lunasi hutang orang tua lo. Berikut dengan bunganya."



***

Eh, apa nih?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top