10. Insiden

Aku diam menatap cowok yang saat ini sedang berdiri tidak terlalu jauh dari hadapanku. Meski masker masih menutupi sebagian wajahnya, tapi aku masih bisa mendengar dengan jelas pertanyaan yang terlontar dari mulutnya.

Kamu benaran mau jadi pacar Saya?

Siapa yang nggak kaget setelah mendengar pertanyaan itu? Apalagi ini kali pertama kami bertemu, dan ... seharusnya dia nggak langsung se-to the point itu. Apa aku yang salah?

"Terima saja!"

Aku melirik ke belakang Janu, di sana ada seorang laki-laki yang mengenakan hoodie orange dan masker berwarna hitam. Jika kutebak, sepertinya dia yang menemani Lee Janu ke sini.

Barusan dia bilang apa? Terima? Nggak semudah itu. Meskipun yang ada di hadapan aku ini adalah biasku, tapi ... tetap saja, aku nggak akan semudah itu mengiyakan. Tapi ... apa pertanyaan Lee Janu itu bisa dikategorikan sebagai ... pernyataan cinta?

"Heh! Kenapa lo? Kesambet? Ditanyain tuh!" gumam Ayudia yang berdiri sangat dekat di sampingku.

"A-Ah, itu ... apa nggak terlalu cepat buat ... nanyain itu?"

"Ya Tuhan. Lo tinggal bilang iya aja, Lav." Kali ini Ayudia kembali angkat bicara, tetapi bibirnya sama sekali nggak bergerak, jadi ucapannya itu benar-benar hanya bisa didengar olehku.

Aku nggak menggubris ucapan Ayudia dan nggak mau juga terprovokasi dengan ucapannya. Iya, keputusanku sudah benar.

"Hmm, kamu benar. Tapi ibuku bilang kalau kamu itu siap jadi pacarku."

Hah? Tante Hina ngomong kayak gitu?

"Ngg, sepertinya ... ada kesalahpahaman. Aku–"

"Bagus. Saya jadi punya alasan untuk menolaknya." Dia menghela napas pelan seolah lega dengan ucapannya sendiri. "Saya akan pulang karena mau istirahat. Kansahamnida."

W-wait! Apa? Menolak?

Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Lee Janu berlalu dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku hoodie-nya.

"Ji Hyun-ah. Ayo, kita pulang!" Orang yang memakai hoodie berwarna orange itu ternyata Ji Hyun. Dari tempat yang sedikit gelap itu keluar sosok Ji Hyun yang sedang memainkan topinya sebelum memakaikan di kepalanya.

"Sayang sekali. Padahal aku mendukung kamu dengan Janu hyung."

Aku terdiam di tempat, menatap kepergian kedua cowok tinggi itu tanpa mampu berkata apa-apa. Sesaat kemudian, aku melirik Ayudia yang ternyata juga terpaku di tempatnya.

"Jadi, gue sebenernya ditolak sebelum berjuang?"

***

Selama berada di taksi, aku dan Ayudia memilih untuk diam sampai kami benar-benar sampai di hotel. Hingga aku dan Ayudia benar-benar telah membersihkan diri dan berganti pakaian, barulah kami memulai pembicaraan mengenai Lee Janu dan penolakannya tadi.

Helaan napas terdengar setelah kami berdua berbaring menghadap plafon kamar. "Gue nggak nyangka hari ini lo ditolak. Dan lebih nggak nyangka lagi bahwa ... gue beneran ketemu bahkan hadap-hadapan gitu sama ... Lee Janu dan juga bias kesayangan gue, Ji Hyun. Ini bukan mimpi kan, Lav?" celetuk Ayudia.

Aku ikut menghela napas. "Apalagi gue. Lo bayangin, deh. Kalo aja sekarang gue di dunia novel, mungkin judulnya Ke Korea untuk ditolak. Lucu banget, deh."

Ayudia mendengus, entah itu karena dia merasa lucu atau justru karena kasihan mendengar ucapanku. "Boleh juga. Nanti lo usulin ke penulis lo aja buat nulis kisah cinta lo ini."

"Emang ini bisa dibilang kisah cinta?"

"Emang lo ngga cinta sama Janu?"

"Kalo ngebiasin apa berarti cinta?"

"Apa lo nggak ngantuk?"

Oke. Sepertinya hari ini memang harus diakhiri dengan tidur, bukan dengan memikirkan penolakan Lee Janu yang terasa aneh itu.

***

Tadi malam adalah tidur ternyenyakku setelah berada di Korea. Aku bahkan enggan membuka mata meski cahaya matahari mulai memasuki celah di antara gorden kamar. Kalau saja ponselku nggak berdering dengan sangat nyaring, sudah kupastikan aku masih menikmati waktu tidur berkualitasku ini. Tetapi melihat nama tante Hina tertera di layar pomselku tentu saja mau tak mau membuat kedua mataku terbuka lebar dan sesegera mungkin untuk mengangkatnya.

"Y-yeoboseyeo, Imo."

"Good morning, Lavina. Bagaimana semalam? Apa kalian sudah mulai bisa saling menerima?"

Saling menerima? Yang benar saja. Anak tante bahkan menolakku sebelum mengenalku.

"Oh, itu ... ngg ...." Sejujurnya aku bingung mau menjelaskan mulai dari mana. "Anak Tante–maksudku Lee Janu ... ummm sepertinya belum tertarik untuk dekat dengan seseorang, Imo." Oke, ucapanku nggak ada yang salah, kan? Benar, kan?

"Maksud kamu Lee Janu nggak mau dekat sama kamu?"

"Sepertinya begitu, Imo." Beberapa saat kemudian tante Hina terdiam, dan aku pun bingung akan melanjutkan ucapanku atau menunggu tante Hina bereaksi. "Gwenchana, Imo. Setahuku banyak idol yang seperti itu karena mereka harus fokus dengan karir mereka."

"Kamu benar, tapi imo nggak mau Janu dekat dengan idol lain." Aku nggak berani lagi membuka suara. Karena kali ini, tante Hina benar-benar terdengar tidak ingin dibantah. "Dasar anak itu! Awas saja nanti."

"Gwenchana, Imo. Aku nggak pa-pa. Tidak usah terlalu memaksa Lee Janu. Karena ... mungkin dia punya kriteria wanita pilihannya."

"Lavina, tolong jangan menyerah terhadapnya. Kalau kamu mau berusaha sedikit lagi, dia pasti akan luluh." Aku terdiam. Nggak tahu lagi mau bilang apa. Lagipula, kenapa tante Hina gencar banget ya menjodohkan aku dengan anaknya itu? Maksudku, anaknya itu sudah pasti dikelilingi sama cewek-cewek yang sepadan dengannya, sedangkan aku? Hahaha. "Lavina, Janu dan teman-temannya sangat suka masakan Indonesia. Kamu bisa coba memasak untuknya dan membawanya di dorm. Nanti imo kirim alamat dormnya."

Aku ingin sekali menolaknya, tetapi tante Hina buru-buru menyelaku dan segera pamit karena dia harus pergi ke kantor.

"What the ...." Aku menatap ponselku yang kini sudah nggak menampilkan nama tante Hina lagi. Rasanya tubuhku tiba-tiba jadi lemas dan sama sekali nggak bersemangat. Padahal, aku sudah mengatur ulang schedul jalan-jalan yang sempat ditunda kemarin. "Gini amat hidup gue, ya Tuhan."

***

"Woaah, lo mau masak hari ini?" tanya Ayudia saat melihat aku sibuk memotong daun bawang yang tadi kubeli di supermarket terdekat.

"Iya. Gue mau bawain Lee Janu."

"Hah? Apa gue nggak salah denger?"

"Iya, nggak." Aku menghentikan kegiatan sejenak lalu menatap Ayudia. "Tadi Tante Hina nelpon gue dan ngasi tahu kalo Janu dan member lain itu suka makan masakan Indonesia. Tante Hina bahkan ngirimin gue alamat dorm mereka."

Ayudia kelihatan semakin tertarik. Dia bahkan menarik kursi dan duduk di hadapanku. "Serius lo? Emangnya tante Hina tahu kalo anaknya itu nolak lo?"

"Iya, dia tahu. Tadi gue udah ngasi tahu. Gue pikir tante Hina bakal nyerah karena anaknya jelas-jelas nolak gue. Tapi, gue salah. Tante Hina justru pengin gue deketin anaknya pake masakan ini."

"Tante Hina nyuruh lo nyogok Janu pake masakan Indo? Hahaha lucu juga."

Aku menghela napas pelan dan melanjutkan acara memasakku. Sebenarnya bisa saja aku menolak permintaan tante Hina. Tapi, aku sudah bertekad ini yang terakhir. Yang terakhir jika Lee Janu benar-benar menolak lagi. Gila aja kalau sudah dua kali tertolak aku malah nggak tahu diri masih gencar dekatin dia. Bisa-bisa aku diserang sama fansnya kalau ketahuan.

Selain nasi goreng, aku juga membuat telur dadar gulung khas Korea. Hanya itu, karena aku sendiri bingung mau buat apa. Apalagi dalam keadaan mendesak begini.

"Yu, lo temenin gue ke dormnya ntar, ya?"

"Lo ... serius, Lav?"

"Pengin banget gue bilang nggak serius, Yu. Tapi ini usaha terakhir gue. Kalo Janu masih nolak, gue akan berusaha memberi pengertian ke tante Hina. Bahwa ... gue ini bukan tipe anaknya."

Ayudia mengangguk. "Hmm, oke.  Karena gue pengin ketemu Ji Hyun lagi, gue mau, deh."

***

Setelah menyelesaikan acara memasakku, aku dan Ayudia bersiap-siap untuk berangkat ke gedung SNS Ent. Karena baru saja tante Hina memberi kabar bahwa Lee Janu kini sudah berada di ruang latihan.  Alias dia sudah meninggalkan dormnya. 

Kalau ditolak, aku harus gimana, ya? Malu banget pasti, apalagi kalau di sana ada Ji Hyun. Duh!

"Oke, Lavina. Ini yang terakhir!" ujarku pada diri sendiri. Aku menarik napas panjang, berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran negatif yang sejak tadi menghantui. "Yu! Udah siap? Ayo, kita berangkat!"

Sebenarnya niatku masih maju mundur hingga berdiri tegak di depan gedung pencakar langit milik SNS Entertainment, jantungku bahkan berdegup semakin kencang. Nggak hanya itu, tangan dan kakiku makin dingin setelah diterpa angin sepoi.

"Lav, gimana cara masuknya? Apa boleh kita masuk?"

"Kayaknya nggak boleh asal masuk, deh!"

"Ya udah, lo telpon Lee Janu aja biar keluar."

"Gila lo? Malu lah gue."

"Ya terus? Kita mau berdiri terus di sini kayak patung?"

Benar juga kata Ayudia. Tapi aku bingung, apakah orang yang nggak berkepentingan boleh masuk ke dalam gedung SNS Entertainment? Di tengah kebingunganku itu, tiba-tiba kulihat sebuah mobil berhenti tepat di depan gendung SNS, dan sosok Ji Hyun turun dari mobil itu bersama dengan satu orang yang entah siapa. Aku nggak begitu mengenalinya karena kepalanya ditutupi dengan topi beserta hoddie. Wajahnya bahkan ditutupi menggunakan kacamata dan masker. Berbeda dengan Ji Hyun yang hanya mengenakan topi, jadi sangat mudah untuk mengenalinya.

"Ji–" Baru saja aku akan meneriakkan nama Ji Hyun, nggak jauh dari posisi Ji Hyun, aku melihat seseorang yang mengenakan jaket hitam berikut dengan topi dan celana jeans yang senada dengan jaketnya itu berjalan cepat menuju Ji Hyun. Awalnya aku berpikir bahwa dia sepertinya staff di SNS, tapi semakin kuperhatikan, ternyata di tangan kanannya terdapat sebuah pisau yang disembunyikan di belakang. Aku yang melihat hal itu refleks berlari menuju Ji Hyun. "Ji Hyun! Awas!"

Aku nggak sempat berpikir apakah Ji Hyun mengerti dengan apa yang kuucapkan atau tidak, karena saking syoknya, aku berteriak menggunakan bahasa Indonesia. Aku hanya mendengar dengan sekilas Ji Hyun menyebut namaku, dan setelah itu aku tidak tahu apa-apa lagi karena yang kurasakan hanyalah goresan yang salam di bagian leherku.

Aku terdiam cukup lama hingga kurasakan sesuatu mengucur dari leherku dan membasahi baju beserta coat yang kugunakan.

"Lavina!" teriak Ayudia yang langsung menggapai bahuku.

Ji Hyun ikut berdiri di sampingku dan menatapku dengan ekspresi terkejut. "D-dowajuseyeo!" teriaknya.

"Lav, lo berdarah!" ujar Ayudia yang masih setia memegang kedua bahuku.

Kepalaku mulai terasa pening. "A-apa? D-darah?"

***

Hayoloh, Lavina kenapa? 😶

Jisung sebagai Ji Hyun

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top