1. Korea, I'm coming

Disclaimer!!

Cerita ini hanya fiktif. Semua tokoh, adegan, tempat, dan kejadian hanya fiktif. Semua artis yang menjadi cast tidak ada sangkut pautnya dengan cerita ini.
.

.

.

.


Menjadi editor di perusahaan penerbitan itu ternyata nggak mudah, tapi nggak sulit juga. Asal, mau belajar dan bersungguh-sungguh aja, sih. Karena jujur, sudah hampir enam tahun aku berkecimpung di dunia ini, yang ada aku malah semakin menikmati kesibukannya. Mungkin karena ada beberapa faktor juga seperti ... aku yang memang dinobatkan sebagai editor khusus untuk naskah yang mengangkat tema Korea. Boyband, girlband, artis, sampai kebudayaannya, semua naskah dilimpahkan kepadaku. Saking menikmatinya, hampir enam tahun menjadi editor benar-benar nggak terasa. Dan dengan bangga, tahun ini aku bahkan mengurus semua keperluan untuk liburan ke Korea. Senang? JELAS! Jangan ditanya lagi. Akhirnya yang aku idam-idamkan dan kudamba-dambakan sebentar lagi terwujud.

"Lav, gimana? Semua keperluan lo udah beres, kan?" tanya Ayudia saat aku mempersilakan dia masuk ke dalam kamarku.

"Ya lo liatlah kamar gue ini. Udah kayak kapal pecah karena sibuk milih mau bawa apa aja."

Ayudia tertawa kecil lalu duduk di atas kasurku. Dia lalu melirik ke arah koperku yang masih terbuka lebar. "Serius lo mau bawa lighstick?" tanyanya seraya mengambil lighstick berwarna hijau lumut itu dari dalam koperku.

Aku mengangguk cepat. "Iya, dong. Emang lo nggak bawa?" Ngomong-ngomong, kami berdua ini, bukan hanya sama-sama menyukai Korea, tetapi juga sama-sama menyukai boy grup TCN. Beruntung, bias kami berbeda. Kalau sama, bisa lain cerita. "Ya kali kita ketemu TCN, kan?"

"Hah? Emang ada konser bulan ini?"

"Nggak ada!"

Ayudia kemudia menatapku bingung lalu tidak lama dia terbahak sampai memukul pahanya sendiri. "Jangan bilang lo mau ngeluarin lighstick pas ketemu di jalan!" Aku mengangguk cepat–membenarkan ucapan Ayudia. "Heh! Astaga, ya Tuhan. Please lo jangan ngelakuin itu, Lav. Yang ada lo malah diketawain atau malu-maluin bias lo!"

"Loh? Kok malu-maluin? Ini tuh menunjukkan bahwa gue beneran ngefans sama dia tahu! Masa dia malu?"

Ayu menggeleng cepat. "Jangan, deh, Lav. Kalo emang bias lo nggak malu, setidaknya lo nggak malu-maluin gue, deh. Minimal. Oke?"

Aku menipiskan bibir dan melipat kedua tangan di depan dada. "Gue nggak janji. Dan ... gue bakal tetep bawa itu."

Ayudia menghela napas panjang. Entah dia sedang lega, atau justru sedang pasrah. Pokoknya aku akan tetap membawa salah satu benda berharga itu.

***

Karena ini kali pertama aku dan Ayudia ke Korea. Maka aku membawa tas cukup banyak. Sekitaran tiga tas besar dan satu tas kecil. Perlu dimaklumi, karena di Korea saat ini sedang musim salju, jadi aku membawa lumayan banyak baju tebal, termasuk jaket dan coat. Selain itu, aku juga membawa beberapa makanan instan dari Indonesia. Terutama mi instan. Lagipula, yang kudengar bahan makanan di Korea sangat mahal, jadi tidak ada salahnya kan menyiapkan semuanya? Tolong jangan bandingkan aku dengan Ayudia, karena aku dan dia aangat berbanding terbalik. Dia hanya membawa satu koper dan satu tas jinjing. Bodoh amatlah, ya. Toh aku begini juga karena sedang mencoba mengantisipasi kejadian yang nggak terduga.

"Lo mau liburan atau mau pindah ke Korea etdah," gumam Ayudia yang masih bisa kudengar meski bunyi pesawat masih berlalu-lalang di atas airport.

"Awas aja kalo lo tiba-tiba laper di sana dan dateng ke tempat gue ngadu dan minta stok makanan gue," ancamku. Dia hanya menggedikkan bahu tidak mau tahu. Ya, ya. Aku tahu dia ini anak tajir, bisa bolak-balik ke Korea semaunya bahkan membeli mall di sana. Lagian, aku hanya bercanda, kok. Tapi, aku juga merasa beruntung karena dia adalah sahabat yang setia kepadaku–yang bela-belain nggak mau ke Korea lebih dulu karena nggak mau bahagia sendiri sementara aku masih ngebabu dulu alias belum bisa beli tiket dan perintilannya buat ke negeri Gingseng itu.

"Ngapain juga gue minta mi punya lo? Gue bisa pesen ayam atau yang lain keleus." Oh, lihatlah, dia sedang menunjukkan betapa tajirnya dia.

Aku mengibaskan rambut tidak terima meski itu adalah kenyataan. "Ya udah, sih. Awas aja," gumamku.

Ayudia tertawa kecil lalu mengambil ponselnya untuk menghubungi seseorang. "Halo, Bunda. Bentar lagi pesawatnya berangkat, nih. Oke, Bunda. Nanti Ayu telpon lagi kalo udah sampai. Iya, bye." Ayudia kembali memasukkan ponsel ke dalam saku jaketnya dan beralih menatapku. "Lo nggak telpon mama?"

"Pulsa gue abis. Gue lupa beli tadi."

"Lo bilang, dong. Jaman gini lo masih susah-susah gitu, kan bisa beli pulsa di mobile banking."

"Hah? Emang bisa?"

Kening Ayudia mengerut dalam. Tampak sekali dia sedang sewot setelah mendengar ucapanku barusan. "Tolong, dong, Lav. Lo rajin-rajinlah ngutak-atik mbanking punya lo. Jangan cuma tahunya ngecek duit masuk dan transfer doang." Dia menghela napas panjang dan kembali mengeluarkan ponselnya. Aku nggak tahu dia lagi apa? Tapi setelah itu, ponselku yang ada di dalam sling bag bergetar. "Gue udah transferin pulsa. Lo hubungi mama buruan."

Jangan heran kalau kami sedang meributkan persoalan pulsa sementara jaman sekarang sudah bisa menelpon bahkan mengirim chat melalui aplikasi whatsapp. Karena ... mama aku saat ini masih mempertahankan ponsel non-camera-nya. Katanya, ponsel itu lebih simpel dan mudah berada digenggamannya, jadi, meski aku sudah mencoba membujuknya untuk membeli yang baru–yang ada kameranya, dia terang-terangan menolak dengan sangat keras.

***

Setelah tujuh jam berada di pesawat, akhirnya pesawat melakukan landing dengan selamat di bandara Incheon, Korea Selatan. Jujur saja, aku deg-degan entah kenapa. Tanganku berubah jadi dingin dan ... aku sedikit gugup jadinya.

"Lo nggak deg-degan, Yu?" tanyaku pada Ayudia yang baru saja melepas headset-nya.

"Nggak tuh. Biasa aja. Kita kan mau liburan, bukan mau ketemu Lee Janu."

Aku meliriknya sewot. "Yakali gue ketemu dia tanpa sengaja, kan? Emang lo nggak ngarep ketemu Ji hyun?"

"Ngarep, sih? Tapi yaaa biasa aja. Nggak mau terlalu berharap juga. Soalnya nanti gue sedih kalo malah nggak ketemu."

Benar. Benar apa yang Ayudia bilang. Harusnya aku juga tidak terlalu berharap. Agar tidak seperti pepatah yang mengatakan jangan mengkhayal terlalu tinggi, karena jika terjatuh, akan sakit. Tapi gimana, dong? Ini aku udah datang ke negara bias-ku, ya masa aku nggak ketemu juga? Mengsedih sekali.

"Yuk, buruan. Udah pada keluar tuh."

***

Selama di perjalanan menuju hotel, aku dan Ayudia nggak henti-hentinya berdecak kagum melihat pemandangan di luar sana. Meski sekarang sudah malam, tapi kemewahan dan kemegahan negara ini benar-benar luar biasa. Gedung pencakar langit berada di mana-mana. Lampu juga menyala di setiap sudut. Hingga mobil yang kami tumpangi berhenti tepat di depan sebuah hotel, aku dan Ayudia pun tersadar. Kami berdua bergegas turun dan mengambil barang masing-masing. Tentu saja aku kewalahan, karena tasku benar-benar berat. Dan saat sedang berusaha mengangkat tas, tiba-tiba ponselku berdering.

"Mama?" gumamku. Ayudia menatapku sejenak lalu bergerak lebih dulu menuju resepsionis. "Halo, Ma? Iya, aku udah sampai. Nanti aku telepon di WA-nya Nini, ya. Soalnya biaya nelpon mahal. Iya, udah dulu. Bye."

Setelah mengurus semuanya di resepsionis, aku dan Ayudia pun beriringan menuju kamar yang kami pesan. Kami berdua sepakat untuk tinggal di satu kamar, hitung-hitung menghemat–meski Ayudia bisa saja memesan satu kamar yang lebih bagus dan besar. Sementara barang-barang kami dibawakan oleh porter hotel.

"Kansahamnida," ucapku kepada porter yang telah membantu kami membawa koper sampai ke kamar. Setelah porter itu pergi, aku berbalik pada Ayudia yang sudah lebih dulu membereskan barang-barangnya. "Yu, ini gimana dah cara ngehubungi orang di Indo? Gue nggak ada paket roaming."

"Gue udah beli SIM Card Internasional. Jadi lo bisa pake itu buat ngehubungi orang di Indo. Soalnya, gue nggak terlalu percaya kalo kudu make hotspot hotel."

Aku bertepuk tangan pelan. Mengakui persiapan Ayudia yang sama sekali tidak terpikirkan olehku.

"Oke deh. Kalo gitu gue pinjem hotspot lo, dong. Mama tadi nelpon soalnya."

"Oke. Pake aja."

Setelah menyambungkan hotspot dari ponsel Ayudia, aku mencoba menghubungi nomor whatsapp Nini. Beruntung nomornya langsung tersambung, jadi aku bisa langsung berbicara dengan mama. Ngomong-ngomong, Nini itu anak tetanggaku, kami bisa dibilang sangat akrab, jadi sudah tidak begitu canggung untuk saling menolong.

"Halo, Ni. Mamaku mana? Oke, pinjem hpnya dulu, ya." Aku terdiam sejenak, mendengar suara Nini memanggil mamaku dan menyerahkan ponselnya. "Hai, Ma. Iya, ini lagi mau istirahat. Hah? Temen Mama? Temen yang mana? Ketemuan? Malu, ih! Apa? Mama udah ngehubungi temen mama?!"

***

Lee Janu

Lavina Putri

♡♡♡

Mohon dukungannya untuk cerita ini💚

Luv, windy

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top