Part 49 - Sebuah restu

Haiiiiii. Aku balik lagi. Mana nih yang neror aku sampe ke IG? Masih pada baca kan?

Tes semangat dulu. Spam Lalala yeyeye 👉

Udah pada mandi belum?

Spam nama Jihan 👉

Spam nama Haikal 👉

Spam nama Niken 👉

Spam nama Dirga 👉

Spam PEMERAN UTAMA 👉

Jangan lupa komentar yang banyak di setiap paragraf 😉

Happy reading ♥️

Aku tidak ingin ada penyesalan.
_______

"Selesai." Lily membuka perban di kepala Haikal. Luka Haikal sudah mulai mengering dan jauh lebih baik, tidak perlu ditutup lagi.

Haikal dan ibunya saat ini berada di ruang tamu. Haikal sampai di rumah dua hari lamanya. Sementara Niken kembali ke kos.

"Ma," panggil Haikal dengan nada rendah.

"Ya?" Lily tidak menatap, wanita setengah baya itu sibuk membereskan kotak P3K.

"Saat di bandara Niken minta aku untuk menemaninya ke psikiater."

Barulah kali ini Lily menoleh. "Apa? Sudah Mama duga dia sakit selama ini. Bukan fisik, tapi batinnya. Kamu apakan lagi Niken?"

Haikal diam. Tepatnya tidak tahu harus memberi jawaban yang bagaimana. Sikapnya mungkin yang telah menyakiti Niken.

"Temani dia sampai sembuh!"

"Aku tolak."

Ekspresi wajah Lily semakin keruh.

"Aku menolak untuk menemaninya ke psikiater."

"Haikal, kamu sadar akan tindakanmu itu? Dia sakit Haikal. Mentalnya mungkin sedang tidak baik-baik saja sekarang. Kamu tega semakin menghancurkan jiwanya?" tanya Lily tak habis pikir.

"Kenapa bukan Mama saja yang menemani dia ke psikiater."

"Tega kamu, Haikal! Kamu menyakiti hati Niken."

"Ada hati lain yang harus aku jaga juga, Ma," debat Haikal.

"Jihan? Kamu benar kembali dengan perempuan itu?"

"Iya!"

Lily memfokuskan pandangan wajah Haikal yang tampak lebih kurus. Putranya ini sedang banyak beban, Lily tahu itu. Jangan salahkan siapapun, Haikal sendiri yang mengambil jalan ini.

"Kamu semakin kurus, Nak," ujar Lily miris.

"Ma, aku minta restu."

"Selama di rumah Jihan pasti makan kamu tidak diurus dengan baik," komentar Lily.

"Jihan perempuan yang baik, Ma."

"Mau Mama masakan apa?"

"Ma." Haikal memelas.

"Atau kamu mau masakan Niken?"

"Ma, berhenti bicara soal Niken. Ini tentang kita. Keluarga kita. Dan Jihan." Haikal frustasi.

"Niken keluarga kita, Haikal. Kalian tumbuh bersama. Apa kamu lupa itu?"

Mendeskripsikan Niken tidak bisa hanya dengan sekedar teman biasa. Haikal tidak dapat menghapus fakta bahwa Dia dan Niken tumbuh bersama sedari kecil. Bersahabat, bahkan pernah lebih. Kenangan indah banyak terjadi di antara mereka, yang menyakitkan pun ada. Begitulah adanya.

Perasaan Haikal memang miliknya sendiri, namun kendali tidak ada padanya. Haikal tidak dapat memandang Niken lebih dari sekedar masa lalu yang meninggalkan banyak cerita. Jangan paksa Haikal untuk menghapus semua kenangan yang ada karena itu tidak akan mungkin.

"Ma, tolong terima Jihan."

"Dengan satu syarat."

******

Mobil hitam Remi berhenti tepat di depan pekarangan rumah Jihan. Sebelumnya dia sudah mengabari Jihan bahwa akan berkunjung malam ini, dan ingin disambut dengan meriah. Ya sambutan meriah, tetapi sambutan yang Remi dapat adalah wajah malas Jihan yang duduk di kursi teras.

"Ngapain sih malam-malam ke sini?" tanya Jihan sebal begitu Remi berdiri di depannya.

"Memangnya nggak boleh?" Remi balas bertanya.

Jihan balas dengan decakan sebal. Dia kembali duduk di atas kursi.

"Baru ditinggal Haikal dua hari, muka kamu udah kayak kain lap begitu. Bagaimana kalau saya hibur kamu? Kita membicarakan sesuatu yang diplomatis dapat membawa perubahan yang sistematis."

Kalau nongkrong bareng Remi rasanya seperti bimbingam skripsi dengan dosen pembimbing.

"Masalah hidup gue jauh lebih berat," sahut Jihan sekenanya.

"Kita diskusi tentang masalah hidup kamu kalau begitu." Remi yakin pembahasan ini sangat berbobot.

Jihan memasang wajah penuh drama. Ekspresi sedih, sedih yang berlebihan. "Haikal satu hari ini nggak kasih kabar."

"Baru dua hari LDR tapi sudah serenggang ini. Sudahlah, putus saja!" saran Remi tenpa berpikir dua kali.

"Nggak mau! Baru juga mulai lembaran baru." Jihan cemberut.

"Mengulang kisah yang sama dengan orang sama tidak menutup kemungkiman masalah yang sama juga akan muncul. Semua hanya berputar di sana tanpa solusi yang jelas." Remi berhenti sejenak. "Omong-omong di mana kopi saya?"

Jihan yang serius mendengarkan langsung berubah kecut. Dengan wajah terpaksa Jihan masuk ke dalam rumah dan membuatkan secangkir kopi untuk Tuan Remi yang super kaya di daerah mereka.

"Terima kasih." Remi menerima kopi yang Jihan buatkan.

Jihan kembali duduk.

"Di mana cemilannya?" Remi tidak melihat sesuatu yang bisa dimakan di sini.

"Ya Tuhan," decak Jihan. Namun kakinya tetap bergerak masuk ke dalam rumah. Tak berapa lama Jihan kembali dengan setoples kacang goreng.

"Tuan rumah yang buruk," sindir Remi.

"Lo sama ngeselinnya kayak Haikal. Lihat aja nanti, waktu dia nelpon bakal gue omelin," kata Jihan menggebu sambil kembali memeriksa ponsel miliknya. Tak berapa lama layar ponsel Jihan menampikan screen yang didominasi warna hijau, ada video call masuk dari Haikal.

"Haikal."

Remi hampir saja tertawa keras mendengar nada gemulai yang Jihan keluarkan. Jadi ini yang dimaksud Jihan dengan mengomel pada Haikal?

Pada layar ponselnya Jihan melihat Haikal tersenyum. Wajah laki-laki itu terlibat lelah. Membuat Jihan menggurungkan niat untuk bertanya kemana Haikal satu hari ini. Kenapa tidak menghubunginya?

"Jihan, saya mau jujur sama kamu."

Perasaan Jihan tidak tenang. "Jujur? Soal apa?"

Sementara Remi memasang telinga untuk mendengarkan.

"Mama kasih restu untuk kita."

Otak Jihan memproses perkataan Haikal dengan lambat. Lalu beberapa saat kemudian Jihan memekik senang. "Serius?!"

Haikal mengangguk.

Remi meminun kopi yang tadi Jihan suguhkan untuknya. "Saya benci melihat kebucinan ini," bisik Remi pada dirinya sendiri.

"Cerita dong kenapa bisa dikasih restu. Padahal gue belum berjuang sama sekali," kata Jihan antusias.

"Sudah tenang saja. Cukup saya yang berjuang. Cukup saya yang sakit. Kamu hanya perlu menerima hasilnya."

Jihan tersenyum haru. Sudut matanya berair.

"Jihan, saya sayang kamu."

Sejak mereka kembali bersama Haikal mudah sekali mengungkapkan perasaannya. Sangat berbeda ketika diawal hubungan mereka. Bukannya tidak senang, hanya saja Jihan merasa aneh dan belum terbiasa. Tidak Jihan pungkiri setiap menerima ungkapan sayang dari Haikal pipinya selalu memerah.

"Lo baru pulang dari mana? Rapi banget," tanya Jihan.

Haikal memakai stelan jas formal warna hitam. Tidak mungkin Haikal pergi bekerja karena mengingat laki-laki itu yang baru saja mengalami kecelakaan.

"Pulang kerja."

"Kerja? Lukanya udah baikan?" Wajah Jihan menunjukkan keraguan.

Haikal hanya menatap dengan sangat dalam, membuat perasaan tidak tenang semakin menggerogoti hati Jihan. Apa memang setidaknyaman ini LDR? Semua terasa serba salah.

"Haikal, gue ngerasa ada yang nggak beres. Ada yang lo sembunyikan dari gue? Semua baik-baik aja, kan?" ungkap Jihan to the point.

Haikal tersenyum sedih.

"Haikal, jangan mempertaruhkan apapun demi gue di sana." Mendengar Ibu Haikal yang memberi restu dengan mudah membuat Jihan berpikir yang tidak-tidak.

"Saya bahagia karena ada kamu, Jihan."

"Gue juga."

"Jadi, kalau misalnya saya melakukan kesalahan tolong maafkan saya."

Air mata Jihan jatuh, dia dapat merasakan beban berat yang tidak dapat Haikal katakan secara terbuka. Melihat Haikal yang berjuang sekeras ini hati Jihan jadi terbebani.

"Jujur sama gue, Haikal. Apa yang lo pertaruhkan demi restu dari tante Lily?"

Tbc

Makasih banyak udah baca sampai sejauh ini.

Kalian luar biasa 😘😘😘

Spam next 👉

Btw bentar lagi aku mau post cerita baru. Judulnya KISAH SEDIH DI HARI MINGGU. Nanti mampir ya 😉 awas aja kalau nggak mampir. Aku ngambek nih 🙃 candaaa

Spam ♥️

Spam 🐛

Btw END nya gk beneran kok. 🤗

Aku cuma mau bilang, MUNGKIN DIA TIDAK SUKA KAU. Semangat!

Ig : ami_rahmi98

☠ Awas ada typo ☠

☠ awas ada Sule. Prikitiw! ☠

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top