Part 47 - Akhir dari penantian
Haiiiiii. Aku balik lagi. Mana nih yang neror aku sampe ke IG? Masih pada baca kan?
Tes semangat dulu. Spam Lalala yeyeye 👉
Udah pada mandi belum?
Spam nama Jihan 👉
Spam nama Haikal 👉
Spam nama Niken 👉
Spam nama Dirga 👉
Spam PEMERAN UTAMA 👉
Jangan lupa komentar yang banyak di setiap paragraf 😉
Happy reading ❤
Tidak sempurna, namun sangat indah.
______
Niken duduk di kursi tepat di samping ranjang rawat Haikal. Matanya menyorot pada Haikal yang tampak diam saja. Kondisi Haikal sudah lebih baik. Jauh lebih baik.
Hanya Niken yang tidak baik-baik saja di sini. Hatinya sedang tidak baik-baik saja.
"Sore ini kamu pulang! Ambil penerbangan yang paling cepat." Haikal memecahkan keheningan.
"Kamu harus ikut!" jawab Niken. Mata Niken kembali berair, dia sedih. "Haikal, aku nggak mau sendirian. Kamu tahu sendiri aku nggak punya siapa-siapa lagi."
"Banyak yang peduli kamu, Niken!"
Niken menggeleng. "Aku nggak punya keluarga. Aku nggak punya ibu kayak Jihan."
"Aku nggak punya teman kayak Jihan." Niken teringat Dirga dan teman-reman kantor Jihan.
"Aku nggak punya pasangan." Niken teringat Haikal dan Remi yang ingin memiliki Jihan.
Lalu Niken punya siapa? Bams? Ya benar saja?! Bams tidak bisa diharapkan.
Niken terisak piluh. Sakit di dadanya sangat sesak. Niken ragu waktu mampu menyembuhkan lukanya. Dia tidak punya cinta, hanya kebencian yang tumbuh.
Kalian bisa merasakan betapa sakitnya jadi Niken?
"Haikal." Niken meraih tangan Haikal dan memposisikan tangan Haikal di keningnya. Sementara kedua siku Niken bertumpu pada pinggir ranjang. Dia mengenggam erat, sambil menangis dengan kepala tertunduk.
Niken coba menyuntuh sudut hati Haikal dengan kerapuhan.
"Tolong aku," isak Niken. Bagaimana dia bisa hidup tanpa Haikal?
"Tolong jangan pergi," mohon Niken. "Jangan."
Haikal tidak dapat mendengar tangisan Niken. Pikirannya semakin kacau. "Niken, maaf."
Isakan Niken semakin terdengar menyedihkan.
*****
"Kamu yakin Haikal itu setia?" tanya Remi. Mereka masih berada di dalam mobil Remi yang kini sudah sampai di halaman rumah keluarga Jihan.
"Kenapa pertanyaan lo kali ini aneh banget? Biasanya topik pembahasan lo berat, lebih berat dari masalah negara," canda Jihan.
"Kamu yakin Haikal itu setia?!" tanya Remi satu kali lagi, dengan nada yang lebih serius.
Butuh beberapa saat untuk Jihan mengangguk pelan.
"Haikal sayang sama kamu?"
"Katanya sayang," jawab Jihan.
"Kalau kamu?"
Jihan kembali mengangguk.
"Jihan, mencintai seseorang itu butuh perjuangan dari dua belah pihak. Tidak bisa berat di satu sisi, karena tidak akan berhasil."
"Maksud lo, hanya gue di sini yang berjuang? Sementara Haikal tidak?"
"Saya tidak bicara tentang kamu dan Haikal! Saya bicara tentang diri saya sendiri. Di sini hanya saya mau berjuang untuk kamu, sementara kamu berjuang untuk orang lain. Sama saja bohong, bukan?"
Jihan sudah gede rasa terlebih dahulu. Ternyata Remi membicarakan dirinya sendiri.
"Jadi lo mau perempuan berwawasan kayak Niken?"
"Kenapa tidak?"
"Lo nggak tahu aja tingkah dia kayak medusa. Nyesel baru tahu rasa lo," cibir Jihan.
"Saya hanya menyukai wawasan dia. Bukan orangnya. Orang yang saya suka sudah diambil orang lain. Mungkin saya kurang beruntung, coba lagi." Remi meletakkan pandangan pada rumah keluarga Jihan yang sederhana.
"Receh banget gombalan lo."
Ponsel milik Jihan tiba-tiba bergetar. Fokus keduanya teralih pada benda kecil itu.
Haikal 👹
Saya sudah dizinkan pulang sore ini. Saya akan langsung pulang ke Jakarta dengan Niken.
Jihan membaca baik-baik pesan singkat yang Haikal kirim. Menelaah sebaik mungkin, barang kali Jihan salah tanggap. Tak berapa lama Haikal kembali mengirim pesan.
Haikal 👹
Jangan cari saya. Jangan menyusul. Kamu cukup diam. Biar saya yang datang nanti.
Ragu kembali menggerogoti perasaan Jihan. Bagaimana dia tidak ragu? Luka yang Haikal berikan belum benar-benar kering. Kini laki-laki itu pergi jauh, dan tanpa kepastian.
Jihan tidak bisa berpegang pada kalimat nanti akan datang.
"Dia pergi?" tanya Remi. Diam-diam dia mengintip isi ponsel Jihan.
Jihan tersenyum setengah. Baru saja dia ingin percaya, tapi dihempaskan oleh rasa ragu.
"Dia minta gue nunggu," lirih Jihan.
"Dia pergi bersama perempuan yang berwawasan itu?" tanya Remi.
"Iya, bersama Niken si idaman para laki-laki. Termasuk lo." Jihan berdecih sebal. Membayangkan wajah Niken yang menyebalkan membuat Jihan emosi.
"Kamu yakin dia akan datang lagi?"
"Kita lihat saja tiga hari ke depan."
"Kalau dalam jangka waktu tiga hari dia tidak datang, kamu mau apa? Lanjutkan perjodohan kita?"
"Kita tunggu saja tiga hari," kata Jihan penuh penekanan.
"Ya, kita lihat saja," balas Remi.
Tiga hari Jihan menunggu. Dan sejauh ini Haikal tidak kunjung datang. Berharap pada manusia memang sesakit ini.
Tiga hari berikutanya hanya harapan yang Jihan terima.
Satu minggu.
Dua minggu. Pada minggu kedua Jihan coba menghubungi Haikal. Nomor laki-laki itu tidak aktif.
Lalu satu bulan berikutnya. Sudah satu bulan Jihan berharap seperti orang bodoh.
"Kalau besok lo nggak datang juga, gue bakal berhenti. Benar-benar berhenti," kata Jihan pada dirinya sendiri.
Esok harinya. Jihan berdiri di depan rumah. Ia bersandar pada bibir pintu, terkadang duduk di kursi teras rumah. Dia menungggu. Dan nyatanya Haikal tidak datang.
"Masih ada hari besok. Besok kesempatan terakhir lo, Haikal!"
Hingga di bulan ketiga. Kelima. Bahkan kesepuluh. Ini sudah terlalu lama menurut Jihan. Haikal benar-benar membuang waktunya sepuluh bulan terakhir.
Jihan kembali duduk di kursi teras rumahnya. Menatap ponsel berulang kali. Menunggu kabar yang tidak pasti.
Mata Jihan berbinar senang kala ponselnya bergetar. Dengan senyuman mengembang Jihan menjawab panggilan telepon yang masuk.
"Mei?" kata Jihan antusias
Yang menelpon memang bukan Haikal.
"Jihan, gimana kabar lo? Gue kangen banget!"
"Lo berharap apa dari kabar gue? Pengangguran kayak gue gini mana pernah kabarnya baik, apa lagi urusan kantong."
"Seperti yang gue duga," kata Mei dengan decakan. "Minggu depan gue mau nikah."
"Seriusan ada yang mau sama lo?!"
"Sialan!" maki Mei.
"Nikah sama siapa?"
"Sama cowok lah! Ya kali sama cewek." Mei sewot sendiri.
"Gue serius."
"Sama Alvian."
"Hah? Sama playboy cap ikan kaleng itu? Kenapa dia mau sama lo?"
"Sekali lagi gue harus bilang, lo sialan! Gue cantik ulala gini masa Alvian nggak mau. Lo kapan nyusul?"
"Nyusul apa dulu nih?"
"Ya nikah lah! Pak Haikal aja udah nikah, masa lo belum."
"Siapa yang udah nikah?"
"Pak Haikal."
Seperti raga yang tak bernyawa. Seperti karang yang dihempas ombak. Begitu kondisi Jihan sekarang. Penantian sepuluh bulannya berakhir sia-sia.
Untung tidak sepuluh tahun.
END
Makasih banyak udah baca sampai sejauh ini.
Kalian luar biasa 😘😘😘
Karena lebih unyu kapal REMI-JIHAN jadi kapal HAJI aku tenggelamkan.
Btw bentar lagi aku mau post cerita baru. Judulnya KISAH SEDIH DI HARI MINGGU. Nanti mampir ya 😉 awas aja kalau nggak mampir. Aku ngambek nih 🙃 candaaa
Spam ♥️
Spam 🐛
Btw END nya gk beneran kok. 🤗
Aku cuma mau bilang, MUNGKIN DIA TIDAK SUKA KAU. Semangat!
Ig : ami_rahmi98
Giveaway segera aku adain. Wajib ikutan loh ya 😉
☠ Awas ada typo ☠
☠ awas ada Sule. Prikitiw! ☠
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top