Part 46 - Patah
Haiiiiii. Aku balik lagi. Mana nih yang neror aku sampe ke IG? Masih pada baca kan?
Tes semangat dulu. Spam Lalala yeyeye 👉
Udah pada mandi belum?
Spam nama Jihan 👉
Spam nama Haikal 👉
Spam nama Niken 👉
Spam nama Dirga 👉
Spam PEMERAN UTAMA 👉
Jangan lupa komentar yang banyak di setiap paragraf 😉
Happy reading ❤
Pada akhirnya patah.
_______
"Saya kembali ke rumah sakit dulu, Om dan Tante. Mau gantian sama Jihan untuk jaga Haikal." Niken pamit pada kedua orang tua Jihan.
Sejak kemarin hingga pagi ini Jihan yang berjaga di rumah sakit.
"Hati-hati di jalan. Titip salam untuk Nak Mikail. Ini ada obat herbal untuknya." Ibu Jihan memberikan paper bag pada Niken.
"Terima kasih, Tante." Niken tersenyum.
"Tupperwere-nya jangan sampai hilang ya," kata Ibu Jihan dengan nada setengah bercanda, setegah lagi nada galak.
Niken tertawa karenanya. "Iya, Tante."
Ibu Jihan mendekati Niken lebih dekat lagi. Matanya mengawasi Remi dan sang suami melalui kaca jendela, dua laki-laki itu terlihat asik mengobrol di halaman depan rumah. Rencananya Remi yang akan mengantar Niken ke rumah sakit pagi ini.
"Kamu benar temannya Nak Mikail?" tanya Ibu Jihan memastikan.
Sejak Niken datang ke rumah mereka Ibu Jihan terus saja bertanya perihal status Niken. Siapa Niken? Apa hubungan Niken dan Haikal? Dan kenapa Niken yang datang?
"Jadi, benar kamu hanya teman Nak Mikail?" tanya Ibu Jihan untuk kesekian kali.
"Sebenarnya lebih dari itu itu, Tante."
"Apa?" Ibu Jihan kaget.
"Maksud saya, saya sudah bersahabat dengan Haikal sejak kecil."
Bibir Ibu Jihan langsung membentuk lingkaran. "Syukurlah," desah beliau lega.
Niken melirik Ibu Jihan dengan sorot mata tak terbaca. Dapat Niken rasakan dengan jelas bahwa Ibu Jihan berusaha melindungi Jihan dari dirinya.
Apa kalau Ibu Niken masih hidup juga akan bertindak seperti itu? Melindunginya? Beruntung sekali Jihan masih dapat merasakan kasih sayang seorang ibu.
"Benarkan kamu hanya teman Nak Mikail." Ibu Jihan memastikan kesekian kali.
"Iya!" sahut Niken jengah. "Saya permisi, Tante."
Niken buru-buru pergi. Atau rasa iri ini akan semakin besar pada Jihan.
Setelah berbasa-basi dengan Ayah Jihan akhirnya Remi dan Niken berangkat menuju rumah sakit. Tidak banyak percakapan yang terjalin antara Niken dan Remi. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
Remi sibuk dengan pikiran berkelas miliknya, tes apa yang akan ia berikan pada calon istrinya kelak. Sementara Niken dengan kesedihan tentang hidup yang tidak adil.
"Kamu tahu empat pilar kebangsaan?" tanya Remi asal. Memecahkan keheningan di dalam mobil.
"Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika," jawab Niken dengan lancar.
Remi tercengang. "Wah, kamu sangat berwawasan."
"Iyalah, saya dosen," sahut Niken pongah. Setengah bercanda.
"Saya suka perempuan yang berwawasan. Terlihat pintar. Berkelas."
Mata Niken menatap lurus pada jalanan yang tidak begitu ramai. Kampung halaman Jihan memang tidak sepadat ibu kota. Di sini terasa lebih menenangkan.
"Bukannya saya cukup sempurna? Tapi kenapa Haikal masih tetap memilih Jihan?" Air mata Niken menggenang. Lalu perlahan-lahan jatuh. Niken menangis piluh di hadapan Remi.
Remi memutar kemudi mobil. Berbelok ke arah kiri. Sekitar tiga menit lagi mereka akan sampai ke rumah sakit. Dalam rentang waktu tiga menit itu Niken habiskan dengan menangis. Membuat matanya sembab dan sedikit bengkak.
"Kamu memang cantik, tapi sangat cengeng," bisik Remi pada dirinya sendiri.
*****
Mata Niken yang sembab sejak datang tadi membuat Haikal bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Niken tidak banyak bicara. Perempuan itu hanya diam saja.
Jihan sudah pulang sejak dua menit yang lalu bersama Remi. Dan omong-omong soal Remi, laki-laki itu tidak mau menjenguk Haikal sama sekali.
"Sebenarnya apa yang kurang, Haikal?!"
Haikal menoleh pada Niken yang berdiri di dekat jendela kaca. Niken ikut menoleh ke arah Haikal, keduanya saling tatap untuk sesaat.
"Haikal," lirih Niken dengan suara serak. Dia berjalan mendekati ranjang rawat Haikal. Mata Niken menatap redup.
"Kenapa harus Jihan?" Tangan Niken terulur mengusap perban di kepala Haikal, turun ke pipi laki-laki itu.
Niken sedikit menunduk, lalu menarik satu ujung bibirnya menciptakan senyuman sinis. Haikal terkejut dengan tindakan Niken.
"Aku nggak yakin kamu benar-benar lupa sama aku," bisik Niken. Matanya mengunci mata Haikal.
"Jangan bohongi diri kamu sendiri Haikal. Jujur sama aku tentang perasaan kamu. Hanya ada kita berdua di sini. Jihan nggak akan tahu." Niken meniup luka di sudut mata Haikal.
Haikal membeku.
"Apa ini sakit?" Kini Niken mengusap luka itu.
"Niken."
"Aku bakal tutup rapat hubungan kita kalau kamu mau kembali sama aku. Kamu bisa dapat Jihan. Kamu juga dapat aku," tawar Niken. Terdengar meyakinkan.
Haikal meraih tangan Niken yang mengusap-usap pipinya. Dengan lihai Niken menyelipkan jari-jarinya di antara jemari Haikal. Jempol Niken bergerak mengusap punggung tangan laki-laki itu.
"Mama kamu nggak akan setuju sama hubungan kalian. Kamu bisa bawa aku sebagai pasangan kepada keluarga kamu. Dan kalau kamu mau jalan di belakang dengan Jihan, silakan saja."
Haikal coba mencerna semua perkataan Niken. Menarik kesimpulan dari sisi terbaik dan terburuk.
"Aku tidak ada maksud jahat sama sekali," jelas Niken.
Haikal diam, dan terus menatap mata Niken.
"Ini tindakan menyelamatkan diriku sendiri dari patah hati. Tapi aku juga ingin menyelamatkan kamu dan Jihan dari patah hati dengan cara tidak memisahkan kalian berdua. Kalian tetap bisa bersama-sama."
"Begitukah?" tanya Haikal.
Niken mengangguk. Dia terus mengusap punggung tangan Haikal. Jemari mereka masih saling bertautan.
"Apa kamu punya cara untuk mendapatkam restu dari Mama kamu?" tanya Niken.
Haikal menggeleng.
"Ini cara terbaiknya." Suara Niken terdengar semakin meyakinkan.
"Dan kita semua akan bahagia," tambah Niken.
"Kamu yakin?" Haikal balas bertanya. Haikal menarik tangannya dari Niken, tapi gerakan perempuan itu tidak kalah cepat untuk kembali menggenggam.
"Yakin."
"Tapi saya tidak yakin!"
"Ini yang terbaik, Haikal."
"Kamu dan Jihan tidak serendah itu di mata saya, Niken! Semua harus bahagia pada tempatnya masing-masing!"
"AKU BAHAGIA KALAU DI SAMPING KAMU!" Niken berteriak marah.
"Pikiran kamu sudah terlalu jauh," balas Haikal.
"Haikal, sadar! Dia itu nggak pantas untuk kamu! Bahkan untuk mengurus kamu saja dia nggak becus!" Niken mendebat.
"Sebaiknya kamu pulang! Saya bisa mengurus diri saya sendiri!"
"Aku mau di sini sama kamu!" tegas Niken.
"Tapi saya tidak butuh kamu!"
Tubuh Niken membeku untuk sesaat. Matanya berubah kelam.
Sementara itu Jihan yang mendengar semua pertengkaran mereka hanya dapat menghela napas jengah.
"Dasar drama!" Jihan beranjak pergi. Tadinya Jihan kembali ingin mengambil tupperwere milik ibunya yang dibawa Niken. Namun ia urungkan karena drama yang terjadi.
*****
"Jihan," panggil Remi. Mereka sedang dalam perjalanan pulang.
"Apa?" sahut Jihan galak.
"Saya menemukan seseorang yang berwawasan."
Jihan yang merasa tertarik dengan pembahasan Remi langsung menoleh pada laki-laki yang duduk di kursi kemudi itu.
"Siapa?"
"Tapi dia sangat cengeng."
"Oh ya?"
Remi mengangguk.
"Siapa emang?" tanya Jihan knowing every particular object alias kepo.
"Niken!"
"Ebuset!" pekik Jihan kaget. "Terus?"
Remi tersenyum menyebalkan. Membuat Jihan semakin penasaran.
Tbc
Tim Haikal - Jihan 👉
Tim Remi - Jihan 👉
Spam next yg buanyaaak 😉
Spam ♥️
Spam 🐛
Aku mau ngadain giveaway mini. Kira2 ada yg mau ikutan gk ya? Mau hadianya apa?
Makasih banyak udah mampir ♥️ aku cuma mau bilang TETAPLAH HIDUP WALAU TIDAK BERGUNA. Semangat!
Btw yang belum baca cerita aku MANTAN TAPI MENIKAH buruan kepoin lapak sebelah. Udah ada versi novelnya juga kok. Grab it fast 😉
Ig : Ami_Rahmi98
❌ Awas ada typo ❌
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top