Part 45 - Mencari Celah
Hai, hai aku balik lagi. Ada yg kangen?
Cek semangat dulu. Ketik lalala yeyeye 👉
Udah pada mandi belum?
Spam nama Jihan 👉
Spam nama Niken 👉
Spam nama Haikal 👉
Spam nama Dirga 👉
Spam nama Remi 👉
Happy reading yaaa 💕
Kita baikan dan balikan.
_____________
"Niken!" panggil Jihan pada Niken.
Niken yang akan memasuki ruang rawat Haikal menghentikan langkah. Ia urungkan niat untuk masuk ke dalam.
Kaki Jihan melangkah mendekati Niken. "Itu obat untuk Haikal?" tanya Jihan setenang mungkin.
"Iya, gue dari apotek."
"Biar gue yang kasih ke Haikal." Jihan mengadahkan tangan.
"Gue bisa lakukan sendiri," tolak Niken.
"Gue bisa urus Haikal sendiri. Tolong mengalah kali ini, Niken." Jihan menatap dengan serius.
"Gue nggak bisa. Dan gue nggak mau. Gue akan tetap berjuang sampai akhir," balas Niken.
"Lo cuma buang-buang waktu!" Jihan mengambil paksa plastik putih itu dari tangan Niken. Lalu dia masuk ke ruang rawat tanpa memperdulikan Niken yang tercengang.
Sangat kasar, begitu pendapat Niken tentang Jihan.
"Haikal, waktunya minum obat!" Jihan dengan gerakan cepat melangkah menuju nakas. Membuka plastik obat dengan buru-buru, mengambil air dan memberikannya pada Haikal.
Jihan harus melakukannya dengan cepat. Jihan harus lebih lihai dari Niken. Jihan harus lebih mampu dari Niken. Sebut saja Jihan tidak ingin kalah saing.
"Ayo, minum," suruh Jihan.
Niken memperhatikan Jihan dalam diam tanpa komentar. Jihan mengambil alih posisi yang seharusnya Niken di sana. Kita lihat bagaimana kemampuan Jihan mengurus Haikal.
"Jihan, pelan-pekan," tegur Haikal. Jihan memberikan obat kepadanya dengan buru-buru. Bahkan menyodorkan minum dengan paksa hingga membuat Haikal tersedak.
Obat yang diminum oleh Haikal kembali keluar saat laki-laki itu batuk karena tersedak. Jihan bingung harus berbuat apa, mata Jihan bergerak gelisah.
"Biar gue aja." Niken menggeser mundur Jihan. Dengan lihai Niken meraih tisu, membersihkan sekitar bibir Haikal yang basah. Lalu Niken mengusap punggung Haikal untuk menenangkan.
Jihan marah. Jihan marah pada dirinya sendiri yang tidak mampu sepandai Niken.
"Harusnya Haikal makan bubur dulu sebelum minum obat. Setidaknya perut Haikal harus diisi walau sedikit," ujar Niken.
Ah, Jihan lupa tentang itu. Yang ada dipikirannya adalah bagaimana cara untuk tidak kalah saing dari Niken.
Haikal melirik Jihan yang berdiri dua langkah di belakang Niken, perempuan itu terdiam kaku.
"Makan dulu, Haikal." Niken menyuap bubur nasi pada Haikal.
Hingga detik kesekian Haikal tidak menerima suapan itu. Suasana hening dan sepi.
"Saya tidak lapar."
Niken menarik tangannya yang mengantung di udara. Penolakan secara halus, menyakitkan sekali.
Haruskah Jihan tersenyum bahagia sekarang?
*******
"Niken dimana?"
Jihan yang sedang mengupas apel sontak menghentikan gerakan. Dengan mata melotot dia menatap Haikal yang berbaring di atas ranjang rumah sakit. Sisa kekesalan Jihan pada Niken masih begitu besar atas insiden hari ini.
"Sa-saya hanya bertanya. Tadi saya sudah buat dia sakit hati," jelas Haikal dengan nada ragu. Tatapan Jihan membuatnya mati gaya.
"Gue suruh pulang ke rumah. Di antar sama Remi." Jihan lanjut mengupas apel.
"Remi?"
"Niken menganggu sekali," tambah Jihan.
"Mengganggu?"
Kepala Jihan mengangguk sebanyak dua kali. "Gue berangkat dari rumah bareng Remi. Karena sejak pagi Niken belum bersih-bersih dan istirahat jadi gue minta tolong Remi nganter Niken ke rumah."
"Kenapa Remi tidak masuk menjenguk saya?"
"Males ketemu lo."
"Sepertinya hanya kamu yang santai saja membiarkan calon suami sendiri pergi dengan perempuan lain." Entah ini pujian atau sindiran.
"Belum resmi jadi calon suami," kilah Jihan.
"Iya, memang. Calon kamu kan saya."
Jihan menatap tak yakin pada Haikal. Dari mana Haikal belajar kata-kata norak itu?
"Jadi kita hanya berdua di sini?"
"Bertiga sama pisau yang gue pegang," sahut Jihan.
Haikal menelan ludahnya melihat pisau yang Jihan pegang. Tajam.
"Niken kenapa bisa sepintar itu memahami lo?" omel Jihan tiba-tiba.
Haikal diam saja menikmati wajah Jihan yang tampak serius mengupas apel merah.
"Ah, gue lupa. Kalian pacara lima tahun." Jihan meradang.
Tangan Haikal terangkat merapikan anak rambut Jihan yang masih bisa dia jangkau, walau selang infus membuat tangan Haikal sedikit kesusahan untuk bergerak. "Apel itu buat saya?" tanyanya.
"Siapa bilang? Apel ini gue kupas untuk gue sendiri," ujar Jihan ketus untuk menutupi rasa gugupnya.
"Muka kamu merah." Tangan Haikal mengusap pipi Jihan. "Ada jerawat satu di sini."
Buru-buru Jihan menepis tangan Haikal. Di antara semua ada yang wajahnya, kenapa Haikal harus membahas satu-satunya jerawat yang tubuh tepat di pipi kiri Jihan?
"Imut banget." Haikal menekan jerawat Jihan hingga membuat perempuan itu meringis.
"Imut apanya?" cibir Jihan dengan nada cemberut.
"Aaaa," kata Haikal meminta satu suapan apel yang ada sudah selesai Jihan kupas.
Dengan gerakan ogah-ogahan Jihan mengangsur apel itu pada Haikal. Wajahnya jutek, tapi dalam hati perasaannya kelewat senang.
"Waktu pacaran sama Niken kalian udah ngapain aja?" Pertanyaan Jihan memang sangat random.
"Yakin kamu mau tahu?" Haikal balik bertanya.
"Iya."
"Dulu saya dan Niken pernah--"
"Ngomongnya nggak usah pake wajah berseri-seri gitu dong!" semprot Jihan.
Belum apa-apa sudah disemprot begini.
"Saya biasa saja." Haikal membela diri.
Jihan kembali memberikan apel pada Haikal, laki-laki itu terima dengan baik.
"Saya dan Niken tipe orang yang sama-sama lurus. Gaya pacaran kita nggak lebih dari pegangan tangan. Dia yang bersandar di bahu saya. Keluar malam minggu. Atau sekedar makan di tempat-tempat yang lagi hits."
"Oh ya?"
Haikal mengangguk. "Kami juga sering belajar bareng."
"Gaya pacaran yang sangat kuno," ledek Jihan.
"Kalau saya melakukan lebih dari itu dengan Niken nanti kamu nangis." Haikal bercanda.
Garing sekali.
"Lo nggak tanya gaya pacaran gue gimana?"
Haikal menggeleng.
"Yakin?"
"Itu masa lalu milik kamu. Saya tidak berhak mengusiknya."
Jihan lanjut menyuap apel pada Haikal. "Ah, nggak asik. Menurut lo lebih seru pacaran sama siapa?"
"Sama kamu."
"Lebih sayang siapa?"
"Kamu."
Mata Jihan menyipit curiga. "Tapi gue nggak yakin."
"Nanti kalau sudah sembuh saya buktikan dengan membawa orangtua saya ke rumah kamu."
Jihan memahan senyumannya untuk tidak mengembar terlalu lebar.
"Kalau lo serius sama gue, boleh gue minta satu hal? Tolong jaga jarak dengan Niken?"
Haikal tidak langsung memberi jawaban, justru laki-laki itu termenung. Seolah jawaban dari pertanyaan Jihan adalah sesuatu yang sulit.
Jihan menghela napas. "Susah memang suka sama orang yang belum selesai dengan masa lalunya. Padahal kita udah baikan dan balikan."
"Saya bisa. Jaga jarak dari Niken bukan sesuatu yang sulit." Haikal meraih tangan kanan Jihan. Ia ambil pisau yang Jihan genggam, kamudian meletakkan pisau itu di atas nakas yang ada di sisi ranjang.
Tahta pisau itu Haikal ambil alih. Kini tangan Jihan menggenggam tangannya.
"Gue nggak mau sakit hati lagi, Haikal. Gue lepas semua untuk lo. Gue mau berjuang untuk dapat restu orangtua kita. Gue juga siap melepas Remi."
"Jihan, kamu percaya saya?" Haikal mengeratkan genggamannya.
"Sejujurnya enggak! Biar author yang menjawab semuanya nanti, entah mau dibawa ke mana cerita ini."
"Saya mengharapkan akhir bahagia untuk semua orang," harap Haikal.
"Gue mengharapkan kebahagiaan untuk diri gue sendiri. Gue udah banyak menderita di sini." Jihan dan segala kerandoman pikirannya memang tidak bisa dipisahkan.
"Jihan."
"Apa?!
"Saya sayang kamu."
"Iya, tahu!" sahut Jihan enteng sebelum dia tersadar. "Hah?! Apa?! Bagaimana?!"
******
Remi duduk dengan genang pada sofa sederhana di ruang tamu keluarga Jihan. Dia dan Niken baru saja tiba. Saat ini Niken sedang bersih-bersih dan istirahat sebentar sebelum kembali ke rumah sakit.
Remi dan Ayah Jihan duduk berdua di ruang tamu.
"Jihan." Ayah Jihan buka suara. "Dia bodoh kalau kembali pada laki-laki itu. Saya bisa saja menggurui dan memaksa Jihan untuk meninggalkan laki-laki itu, tapi hati Jihan bukan kendali saya."
"Saya tahu batasan saya, Om. Mungkin kami tidak jodoh." Remi tersenyum tanpa arti.
"Sebelum terlalu jauh."
"Sejujurnya saya sudah terlanjur suka," aku Remi.
"Maaf, Nak Remi."
Niken yang melintas menuju dapur tidak sengaja mendengar pengakuan Remi. Betapa beruntungnya Jihan, pikirnya.
Tbc
Spam next di sini 👉
Spam ❤
Spam 🐛
Konflik terakhir masih belum ya teman2. Alurnya selow dulu 😉
Yang mau gabung GC PEMERAN UTAMA di WA boleh DM aku ya 😘
Ig : ami_rahmi98
❌ Awas ada typo ❌
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top