Part 41 - Sekali lagi

Holaaa, aku balik lagi bareng Jihan yang kalem 😁

Cek semangat dulu. Ketik aaaaaaa👉

Udah pada makan belum?

Spam nama Jihan 👉

Spam nama Niken 👉

Spam nama Haikal 👉

Spam nama Dirga 👉

Spam pemeran utama 👉

Req cast yang cocok untuk Haikal 👉

Kau dan aku adalah orang yang tidak ingin terluka, tapi terbiasa pergi meninggalkan luka.
_______

"Niken, kamu nggak apa?"

Haikal yang akan mengambil air putih di dapur mendengar pekikan heboh ibunya. Haikal melirik ingin tahu, terlihat piring pecah pada lantai di antara kaki Niken.

"Maaf, Ma. Aku nggak sengaja jatuhin piringnya," sesal Niken merasa bersalah.

"Jangan pikirkan piringnya. Lihat,  kaki kamu berdarah," ringis Lily ngilu.

Niken meringis pelan. Niatnya untuk membantu Lily justru berakhir merepotkan begini.

Haikal coba untuk mengabaikan dan melanjutkan langkah. Namun lagi-lagi pekikan heboh ibunya membuat Haikal tidak dapat untuk tidak peduli.

"Ya ampun, darahnya banyak banget. Kayaknya robek di kaki kamu cukup dalam."

"Perih banget, Ma."

"Harusnya tadi kamu dengerin saran Mama untuk pakai sendal rumah." Lily semakin khawatir.

Kaki Haikal akhirnya melangkah menuju keduanya. "Biar aku periksa."

Haikal langsung jongkok di hadapan Niken yang berdiri di antara pecahan piring. Dia memeriksan telapak kaki perempuan itu, ada pecahan kecil tertusuk di sana.

"Asssh," ringis Niken kesakitan saat Haikal mencabut pecahan piring dengan pelan.

"Bantu Niken jalan ke depan, Haikal. Biar Mama cari obat dulu." Lily buru-buru berlari dari sana.

Haikal kembali berdiri, ia memposisikan diri di sisi kanan Niken.

"Aku bisa sendiri." Niken menolak saat Haikal bermaksud memeganginya.

Haikal terdiam sejenak. Menatap tak percaya pada Niken yang menolak bantuannya. "Jangan membantah," tegas Haikal.

"Aku bisa sendiri." Niken berjalan pincang menjauhi Haikal. Matanya berkaca-kaca, menahan perih di kaki dan hati.

Membentengi diri untuk tidak jatuh cinta nyatanya memang sesakit ini. Terkadang seseorang yang paling kita prioritaskan adalah dia yang paling menyakiti.

Helaan napas keras terdengar dari celah bibir Haikal, dengan sorot redup matanya menatap pundak kecil Niken yang berjalan susah payah. Dan pundak Niken terlihat bergetar.

Perempuan itu menangis.

Haikal tidak tahan melihat semua drama melankolis ini. Dengan gerakan cepat dia mengangkat tubuh Niken. Membawa perempuan itu menuju sofa yang ada di ruang tamu.

Niken tidak berontak. Tidak juga melawan. Air mata perempuan itu jatuh tanpa suara.

Tubuh Niken direbahkan di atas sofa. "Haikal." Niken menarik pergelangan Haikal untuk tidak pergi.

Haikal menoleh, tapi tak bersuara.

"Kalau kamu sudah menyerah pada Jihan, bilang aku ya," lirih Niken parau. "Aku mau berjuang. Sekali lagi."

Berjuang? Sebegitu besar Niken berjuang untuknya. Haikal iri pada Niken, dia juga ingin memiliki keberanian sebesar itu untuk memperjuangkan Jihan.

"Berhenti berharap, Niken."

Mata Niken berkaca-kaca.

"Saya permisi. Jangan ke mana-mana!" perintah Haikal tegas. Dia memilih untuk menjauh dan membiarkan ibunya yang akan mengobati Niken.

Semakin dia bersikap peduli maka akan menyakitkan untuk Niken.

Apa Haikal berjuang sekali lagi untuk Jihan seperti yang Niken lakukan?

Haruskah?

******

Dengan langkah cepat Jihan keluar dari dalam kamar, memastikan siapa gerangan yang datang ke rumahnya. Kalau memang benar itu Haikal, Jihan harus menjauhkan laki-laki itu dari Sang Ayah. Atau kalau tidak kepala Haikal akan ditebas ayahnya.

Dan benar saja, lutut Jihan terasa lemas melihat Haikal tampak anteng duduk di kursi ruang tamu rumahnya.

"Ngapain lo datang ke sini?" tanya Jihan.

Haikal menoleh, tersenyum kecil pada perempuan yang ia rindukan. Karena alasan berjuang membuat Haikal sampai melangkah sejauh ini. Perjuangan seperti yang Niken lakukan, atau mungkin akan lebih.

Omong-omong, sudah berapa hari mereka tidak bertemu?

"Hai," sapa Haikal.

"Ya ampun, Haikal! Lo nekat banget sih datang ke sini," omel Jihan tak habis pikir.

"Nak Mikail, sudah makan?" Ibu Jihan kembali ke ruang tamu.

Sejenak Haikal bingung dipanggil Mikail.

"Namanya Haikal, Bu." Jihan memutar kedua bola matanya malas.

"Sama saja." Ibu Jihan terkekeh.

"Belum, Bu, saya belum makan," jawab Haikal sopan.

"Ibu masakin makanan, ya. Mau apa?"

"Nggak, Bu! Haikal mau langsung pulang. Kalau ketahuan ayah dia ada di sini kepalanya bisa ditepas," tegur Jihan.

Sontak Haikal memegang bagian lehernya. Ngeri juga kalau kepalanya sampai hilang.

"Ya, jangan sampai ketahuan ayah dong! Nanti kita sembunyikan Mikail," ungkap Ibu Jihan antusias. "Nak Mikail, nginap di sini aja."

"Nanti ngerepotin, Bu." Haikal tersenyum sungkan.

"Tadi cerita Nak Mikail dari bandara langsung ke sini. Nggak ada persiapan dari rumah. Belum nyari hotel juga, kan? Udah tidur di sini aja."

"Ibu." Jihan membantah. "Haikal mau dibuat tidur di mana?"

"Kamar tamu kan kosong."

"Kalau ketahuan ayah?"

"Kan kita sembunyikan." Ada saja jawaban Ibu Jihan ini.

Jihan menyerah berdebat dengan ibunya. Begini nih kebiasaan Sang Ibu kalau lihat cowok ganteng.

"Sebentar ya biar Ibu masak makanan yang enak untuk Nak Mikail." Ibu Jihan beranjak ke dapur.

Haikal balas dengan senyuman senang. Disambut baik begini membuat rasa percaya diri Haikal kembali naik.

"Pulang sana!" usir Jihan setelah ibunya tak tampak lagi.

"Saya baru sampai, lho." Haikal mengingatkan kalau Jihan lupa.

"Nggak ada yang minta lo buat datang ke sini!" balas Jihan dengan nada penuh penekanan.

"Permisi!"

Perdebatan itu terhenti, seseorang datang bertamu. Jihan menoleh ke arah sumber suara. Menebak siapa kiranya yang datang di balik pintu rumah yang tertutup. Jelas ini bukan suara ayahnya, karena ayah Jihan selalu pulang dari rumah makan yang mereka kelola pada malam hari.

Kalau tidak salah sih Jihan punya janji dengan Remi sore ini.

"Ya ampun Remi!" Jihan tersadar.

"Remi siapa?"

"Sini." Jihan menarik tangan Haikal dengan paksa, menuntun laki-laki itu ke arah utara ruangan di mana kamar tamu terletak. Tak lupa membawa koper laki-laki itu turut serta.

Jihan memasukkan Haikal dan kopernya ke dalam kamar dengan gerakan bar-bar.

Jihan coba menutup pintu, tetapi Haikal tahan. "Apaan, sih?"

Haikal menahan gagang pintu. "Siapa Remi?!" tanyanya.

"Lo bisa tenang dikit, nggak?"

"Siapa Remi?!"

"Bukan urusan lo!"

"Siapa Remi?!"

"Masa nggak ingat?!" sentak Jihan sebal.

"Si Sultan Bumi?" tebak Haikal.

"Permisi!" panggil suara dari luar.

Ya Tuhan, rasanya kepala Jihan akan pecah.

"Permisi."

"Iya sebentar," sahut Jihan kuat.

Mata Haikal menyorot curiga. "Sulta Bumi, kan? Dia, kan? Iya, kan?"

"Haikal, tolong kerja samanya kali ini! Lo tenang dulu lima menit aja."

"Nggak bisa! Saya nggak bisa tenang!" Haikal menarik Jihan ke arahnya. Membuat Jihan masuk ke dalam kamar tamu, dan pintu kamar ditutup dengan rapat.

"Dari pada kamu membukakan pintu untuk dia, lebih baik di sini sama saya."

Tbc

Tim sukses Jihan-Haikal mana jempolnya 👍👍👍

Tim Jihan-Tuan Tanah angkat tangannya 🙌🙌

Aku mau buat GC PEMERAN UTAMA di WA yang mau gabung DM aku ya 🤗🤗

Spam next 👉

Spam ❤

Spam 🐛

Pada sebel gk sih sama aku gara2 sering PHP? 😁

Btw aku ada adegan lucu waktu cowok bertamu ke rumah cewek di cerita MANTAN TAPI MENIKAH. Di sana pemeran utama laki-lakinya di sambut golok sama pisau di rumah camer 😂😂 coba deh baca di lapak sebelah.

Btw novel MANTAN TAPI MENIKAH udah bisa di beli di gramed sama berbagai TBO ya 😉😉

Ig : ami_rahmi98

❌ Awas ada Niken, eh salah, awas ada typo maksudnya ❌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top