Part 33 - Melepaskan dan Terlepas
Hai, hai aku balik lagi. Ada kangen?
Cek semangat dulu. Spam Lalala Yeyeye 👉
Udah pada mandi belum?
Spam nama Jihan 👉
Spam nama Niken 👉
Spam nama Haikal 👉
Spam nama Dirga 👉
Spam PEMERAN UTAMA 👉
Jangan lupa ramaikan setiap kolom komentar 😉
Happy reading ❤
Seperti lirik lagu, "adakah jalan yang kau temui untuk kita kembali lagi?"
______
Jihan duduk di atas kursi panjang yang terbuat dari kayu. Suasana di lingkungan kosnya mulai sepi, mengingat malam sudah semakin dalam.
Menit-menit berlalu, hanya mereka habiskan dalam diam. Duduk berdampingan dengan wajah yang tidak terbaca. Memikirkan berbagai kemungkinan yang mungkin saja terjadi.
Gimana kalau gue kabur aja ke Korea? Operasi plastik di sana biar kalau balik Haikal nggak kenal lagi jadi nggak ditagih utang. Memulai hidup baru dan hidup bahagia selama-lamanya. Tamat. Jihan mendongeng dalam hati.
"Sudah sangat malam, saya boleh menginap?" Pertanyaan Haikal memecahkan keheningan.
Jihan merasa canggung. Haikal dan segala tindakannya yang sering kali membuat salah paham.
"Saya kurang enak badan." Haikal beralasan. "Bahaya bawa mobil sendiri. Apalagi malam hari begini."
Jihan melirik curiga.
"Kamu boleh periksa. Badan saya panas." Haikal menarik tangan Jihan lalu menempelkan pada pada keningnya.
Terasa hangat memang.
Buru-buru Jihan menarik tangannya. Membuang padangan ke arah lain, ia enggan bertatapan dengan Haikal.
"Pulang sana!" usir Jihan.
"Jangan lupa saya yang bayar kosan kamu." Menurut Haikal ini adalah cara paling ampuh untuk mengendalikan Jihan.
Haikal berdiri dari duduknya, ia tepuk celananya seolah ada debu di sana. Tanpa menunggu detik berikutnya Haikal melangkah begitu saja masuk ke dalam kos Jihan yang terbuka lebar.
Jihan melongo. "Haikal!" pekik Jihan tak terima. Ia susul Haikal masuk ke dalam.
"Keluar! Atau gue teriak?!" Ancam Jihan.
Haikal melepas sepatu mahalnya. Ia letakkan di sudut ruangan, lalu laki-laki itu tanpa rasa bersalah berbaring di ranjang ukuran satu orang milik Jihan.
"Saya tidur di atas, kamu di karpet." Tunjuk Haikal pada karpet lusuh yang ada di lantai.
Bunuh saja Jihan. Rasanya Jihan ingin terbang ke langit ke tujuh lalu terjun bebas. Ingin menangis, tetapi air matanya telah kering.
"Tolong tutup pintunya, angin malam tidak baik untuk kesehatan saya," ujar Haikal dengan wajah tak bersalah.
Urat leher Jihan terasa tegang. Ingin teriak saja agar orang-orang tahu ada penyusup di kamar kosnya. Oh, tapi itu bukan pilihan yang bagus. Membuat keributan di malam hari seperti ini sungguh tidak elegan.
Jihan membanting pintu kamar. Haikal terlonjak kaget. Dengan mata melotot Jihan mengawasi setiap gerak gerik Haikal yang berbaring terlentang.
Jihan hampiri Haikal.
"Awas!" Tangan Jihan bergerak menarik paksa bantal yang ditiduri Haikal, membuat laki-laki itu melotot. Tak lupa Jihan mengambil guling dan selimut miliknya.
"Cari sendiri perlengkapkan tidur lo!" omel Jihan.
Haikal tersenyum kecil menikmati wajah masam Jihan.
"Apa liat-liat?!" sentak Jihan sebal. Kini dia berbaring di karpet lusuh yang ada di lantai, menarik selimut hingga sebatas leher.
"Saya lagi lihat dinding di belakang kamu," jawab Haikal tanpa beban. Kini dia mengubah posisi menghadap pada Jihan dengan tangan kanan sebagai bantal.
"Awas kalau macam-macam!" semprot Jihan.
"Jihan," panggil Haikal pelan.
"Apaan?!" Jihan ngegas.
"Saya lapar."
Jihan yang semula menatap ponselnya mengalihkan pandangan Haikal. Ia tatap laki-laki itu lamat. "Bodo amat! Minta makan sana sama Niken!"
"Saya lagi demam."
Bola mata Jihan memutar malas. Dia berbalik lalu memunggungi Haikal. Coba untuk pura-pura tidak peduli.
"Jihan, saya boleh pinjam selimut?"
Jihan meletakkan ponsel. Ia menutup mata untuk tidur.
"Jihan, apa kamu punya bantal lain?"
Jihan tidak merespons.
"Jihan, bagaimana kalau kamu yang pakai guling, saya pakai bantal?"
Angin malam berhembus. Sial, Haikal merasa kedinginginan. Kemeja mahal dan celana bahan yang dikenakannya membuat Haikal semakin tidak nyaman. Outfit yang tidak pas untuk tidur. Dan perutnya benar-benar lapar sekarang.
"Jihan," panggil Haikal. "Saya benar-benar lapar. Tadi kamu beli apa di indoagustus?"
Krik. Krik. Suara jangkrik terdengar.
Tidak mendapat respons dari Jihan, akhirnya Haikal memilih untuk diam. Menikmati rasa lapar sendiri. Rasa dingin sendiri. Dan rasa tak nyaman sendiri.
Namun entah kenapa dia justru merasa bahagia.
Dan senang.
Dan berdebar.
Dan tenang.
Dan memang beginilah seharusnya.
Kebahagiaan Haikal terusik kala ponsel di saku celananya bergetar. Ada pesan masuk dari ibunya.
Niken nyariin kamu.
Sejenak Haikal terpaku pada layar ponsel. Saat melirik punggung kecil Jihan jantung Haikal berdegup tak teratur. Dengan sisa keyakinan yang Haikal miliki ia mematikan ponselnya.
Haikal menghabiskan malam bersama Jihan. Menatap dalam punggung kecil perempuan itu.
Hingga akhirnya pagi kembali.
Jihan membuka mata perlahan. Menyesuaikan cahaya yang masuk ke mata melalui celah tirai jendela. Jihan beringsut bangun. Kalau tidak salah ingat, tadi malam Haikal menginap di kosnya.
Jihan melihat ke arah ranjang. Kosong. Rapi. Haikal sudah pergi. Begitu saja.
"Gue takut berharap," lirih Jihan.
"Pagi." Pintu kamar Jihan dibuka seseorang. Haikal muncul dengan senyuman yang kelewat lebar.
Bodohnya Jihan merasa bersyukur melihat kehadiran Haikal. Laki-laki itu tidak pergi begitu saja.
"Saya beli sarapan di depan." Haikal mengangkat dua bungkus bubur ayam.
"Ayo, makan," kata Haikal sembari duduk di karpet lusuh yang Jihan tempati. "Sendoknya ada di mana?"
"Kenapa lo nggak pergi?!" tanya Jihan sarkas.
"Saya mau ngajak kamu ke rumah sakit ketemu Niken. Kita jelaskan semua padanya," jelas Haikal tenang.
"Jelaskan apa?!"
"Kita."
"Kita kenapa?!" debat Jihan sebal.
"Kita luruskan semua kesalahpahaman ini. Kamu mau?" tanya Haikal.
Jihan termenung.
*****
"Contoh adik kamu, Bams. Lihat, dia juara satu olimpiade. Kamu? Apa yang bisa diharapkan dari kamu?"
Bams menatap nanar mata ibunya. Ada sorot kecewa di sana. Bams yang kala itu berusia lima belas tahun sudah terkenal nakal dikalangan sekitar.
Bams pergi ke dalam kamar. Membanting pintu dengan keras sebagai bentuk kekesalan. Lembar kertas ulangan yang ingin Bams tunjukkan pada ibunya ia remas kuat.
Tertera angka 80 di kertas. Hasil belajarnya satu malam suntuk sebelum ulangan. Nilai tertinggi yang pernah Bams dapat.
"Babang Bams, aku dapat hadiah dari mama." Niken berteriak heboh sembari membuka pintu kamar. Niken mengangkat tinggi boneka beruang dengan wajah polos.
Bams benci melihat senyuman Niken. Terlampau sangat benci. Tanpa sadar Bams melempar tas ransel sekolahnya ke arah Niken.
"Gue benci sama lo!" Teriak Bams.
"Haikal, tolong!"" Niken terbangun, berteriak memanggil nama Haikal.
Mimpi buruk itu lagi. Oh bukan, itu bukan mimpi buruk tapi kisah nyata yang selalu terbawa dalam mimpi Niken.
"Niken, kenapa?" Lily yang baru saja keluar dari toilet kaget melihat Niken yang tiba-tiba menangis.
"Haikal, tolong," racau Niken tidak jelas.
Buru-buru Lily menghubungi putranya. Beberapa kali ia telepon tapi Haikal tidak menjawab. Lily menyerah dan hanya meninggalkan pesan untuk Haikal.
Niken butuh kamu.
****
Niken menatap kosong ke arah jendela. Tidak ada yang menarik di sana. Ya, baginya tidak ada yang menarik saat ini selain kemunculan Haikal.
"Niken."
Indra dengar Niken mendengar Haikal memanggilnya dengan lembut. Sepertinya Niken berhalusinasi.
"Sudah minum obat?"
Tidak. Niken tidak berhalusinasi. Haikal akhirnya datang.
"Aku bawa buah untuk kamu," kata Haikal sambil meletakkan buah di atas nakas samping ranjang.
"Sudah lebih sehat? Jangan khawatir lagi soal Bams. Dia jadi buronan polisi sekarang. Aku laporkan dia ke polisi," cerita Haikal.
"Kamu melaporkan Bams? Tanpa diskusi denganku lebih dulu?" sentak Niken dengan wajah tidak terima.
"Iya."
"Dia keluarga aku satu-satunya! Kenapa kamu laporkan dia?" Niken marah.
"Dia jahat, Niken!" Haikal mendebat.
"Kamu tahu kenapa aku nggak laporin Bams sejak dulu ke polisi seperti apa pun dia nyakitin aku? Karena dia keluarga aku satu-satunya, Haikal! Dia saudara aku! Sedarah denganku!" Niken menggebu-gebu.
"Tapi dengan ini kamu akan aman! Dan aku bisa tenang."
Niken tertawa miris. "Biar bisa tenang? Tenang untuk pergi dariku? Begitu?"
Haikal terdiam.
"Kamu lebih pilih Jihan? Iya?!" tanya Niken. "Aku nggak butuh kamu, Haikal! Jangan kasihani aku! Pergi sana!" Niken mengamuk. Tangisnya pecah.
"Maaf, Niken," ungkap Haikal penuh sesal. Ia putar tubuhnya, melangkah pelan menjauhi ranjang Niken.
Jihan yang sejak tadi berdiri di luar ruangan hanya dapat meremas kuat ujung kemeja yang digunakannya. Jihan ikut dengan Haikal menjenguk Niken. Namun keberanian Jihan hanya berani sampai pintu ruang rawat perempuan itu.
"Jihan, ayo kita pergi! Ini bukan waktu yang tepat untuk bicara. Seenggak Niken tahu tentang perasaan saya." Haikal meraih pergelangan Jihan.
Jihan termenung.
"Jihan," panggil Haikal.
"Maaf, Haikal. Gue nggak bisa."
Jihan melepas genggaman Haikal perlahan.
"Gue ini perempuan. Gue nggak mau bahagia di atas penderitaan perempuan lain."
Jihan masih sangat menyayangi Haikal. Dia akui itu. Namun bukan seperti caranya.
Dulu Niken menerima Haikal di atas rasa sakit hatinya. Dan Jihan tidak bisa melakukan seperti yang Niken lakukan.
Karena dia tahu sakitnya seperti apa.
"Gue nggak bisa!" Jihan meninggalkan Haikal.
Haikal terpaku di tempat merasa kehilangan.
Tbc
Miris banget nggak tuh? Haikal gk dapat Niken. Jihan pun gk dapat juga.
Spam next di sini 👉
Spam ❤
Spam 🐸
8000 vote. 100000 komen 😉
Yok bisa, yok ✌
Gimana? Part ini udah lumayan panjang, kan?
Ig: ami_rahmi98
❌ Awas ada typo ❌
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top