Part 23 - Boneka Ulat Bulu
Yuhuuuu warga wattpad, aku balik lagi. Ada yg kangen?
Mana semangatnya? Ketik Aaaaaa 👉
Spam nama Jihan 👉
Spam nama Haikal 👉
Spam nama Niken 👉
Penggemar brondong spam di sini 👉
Spam PEMERAN UTAMA 👉
JANGAN LUPA KOMENTAR YANG BANYAK DI SETIAP PARAGRAF 😉😉
Happy reading ❤
Ada seseorang yang datang
Lalu membawanya tanpa permisi.
_____
"Cepat sembuh, Jihan." Niken meletakkan buah di atas nakas, tepat di sisi buah super banyak yang Dirga bawa tadi.
Wajah Jihan tidak menunjukkan ekspresi apa pun. "Ya."
Jihan tidak habis pikir dengan cara pandang Haikal. Untuk apa membawa Niken ke sini? Ingin membuatnya sekarat?
"Cepat sembuh, Jihan. Gue datang sebagai teman," ungkap Niken.
Jihan menarik senyuman sinis, walau matanya tidak dapat menyembunyikan bahwa dia tidak baik-baik saja. Sebisa mungkin Jihan tidak ingin terlihat menyedihkan.
"Sejujurnya gue nggak butuh teman kayak lo. Tapi kalau lo mau berteman sama gue, gue terima dengan lapang dada. Karena gue nggak mau terlihat kekanakan." Jihan sengaja menggantung kalimatnya.
"Apalagi terlihat jahat," lanjut Jihan dengan sinis. Ia sengaja menyindir Haikal.
Jihan tidak terlihat menyedihkan bukan?
"Kak Jihan bukan orang jahat," sela Dirga yang tidak mau Jihan merendahkan dirinya sendiri di hadapan orang seperti Haikal.
Jihan membalas tatapan Dirga dengan yakin. "Jelas gue baik! Gue berharga! Rugi orang yang mencampakkan gue."
Entah Haikal tersindir atau tidak.
Laki-laki itu berdiri dengan tenang di sisi Niken. Matanya sesekali melirik Jihan. Lalu lelaki itu lebih banyak melabuhkan pandangan ke arah jendela kaca.
"Dek," panggil Jihan tiba-tiba.
Dirga terbatuk-batuk saat Jihan memanggilnya dengan kata adek. Niken dan Haikal juga ikut kaget.
"Jangan panggil adek kali, Kak," sungut Dirga salah tingkah.
"Ehem." Haikal berdehem kaku, coba menetralkan suasana.
"Tolong kupas buah yang lo bawa tadi." Suruh Jihan.
Dengan sigap Dirga bergerak. "Siap, Komandan."
Ish, berlebihan banget, ringis Jihan dalam hati. Niat Jihan ingin menunjukkan pada Haikal bahwa banyak orang yang peduli pada dia, salah satunya Dirga. Jihan itu berharga.
Tapi respon Dirga tidak sesuai harapan. Jihan ingin Dirga berlagak cool.
Well, semua orang punya karakternya masing-masing.
"Mau pisang atau pir? Atau anggur? Atau apel? Atau buah melon? Atau--" tanya Dirga beruntun.
"Apa aja," potong Jihan.
"Apel aja ya. Mau yang besar atau kecil?" tanya Dirga.
Jihan mendelik. "Yang kecil aja."
"Yang apel merah atau hijau?"
Banyak tanya. Jihan berusaha sabar. Sungguh Dirga yang kekanakan. "Merah!"
"Mau yang matang atau setengah matang?"
"Dasar bocah," ringis Jihan.
Apa Dirga tidak dapat berlagak dewasa supaya Jihan bisa pamer? Ini lho Dirga yang sesungguhnya. Dirga yang keren.
Nyatanya tidak seperti itu.
"Mereka cocok, ya," bisik Niken pada Haikal. Dia lega Jihan ada yang menemani dan menjaga. Mungkin ini terdengar egois, akan tetapi dengan adanya Dirga maka perhatian Haikal tidak akan teralihkan darinya.
"Ya, cocok," balas Haikal dengan suara rendah.
Niken menoleh pada Haikal. "Seperti kita. Cocok."
"Ya!"
*****
Dirga menelusuri taman belakang fakultas dengan langkah ringan. Masih ada satu kelas lagi untuk hari ini. Dirga memilih untuk menunggu di taman belakang sambil mengganggu Jihan via video call. Jihan sudah keluar dari rumah sakit, kini dalam masa pemulihan di kos.
Dirga ingin pamer bahwa dia punya boneka ulat bulu warna biru muda. Tadi pagi Dirga beli di sekitar distro miliknya saat mampir sebelum ke kampus.
Melihat boneka bulu itu membuat Dirga teringat pada Jihan.
"Sadar, Niken! Sadar! Hidup lo itu menyedihkan. Lo pikir dengan adanya Haikal di sisi lo maka semua sempurna?"
Suara seorang lelaki menarik perhatian Dirga. Kakinya berhenti melangkah.
"Harga diri lo itu nggak lebih dari 100 juta," maki laki-laki itu pada Niken.
Mata Niken berair menatap wajah saudaranya, Bams.
"Ingat hari mana gue dipukul Haikal saat di kantornya? Dia emosi karena gue ngejual lo ke dia dengan harga 100 juta." Bams tersenyum naif.
"Sebagai gantinya gue nggak akan ganggu lo lagi," tambah Bams. "Dia selalu ada buat lo bukan karena cinta. Hidup lo nggak sesempurna itu, Niken. Dia beli lo dari gue."
Lutut Niken lemas, air matanya jatuh mendengar kalimat Bams.
"Haikal ke lo nggak lebih dari rasa kasihan."
Kasihan. Dan kasihan. Kenapa semua orang melemparkan kata itu pada Niken? Kemarin Jihan, dan hari ini Bams. Tidak! Haikal tidak kasihan padanya.
"Haikal sayang sama aku tulus! Bukan karena kasihan!" pekik Niken diantara tangisan kecilnya.
Dirga yang menyaksikan semua drama itu merasa iba pada si dosen.
Bams tertawa mengejek. "Kasihan adik gue ini. Hidupnya terlalu menyedihkan."
"Pergi dari sini!" suruh Niken dengan nada dingin.
"Ingat, ini bukan negeri dongen, Niken! Hidup ini pahit!" Bams mengambil langkah pergi.
"Aku akan buktikan kalau kebahagiaan itu ada! Rasa Haikal ke aku bukan sekedar kasihan! Lihat saja nanti!" balas Niken setengah berteriak pada abangnya.
"Terus saja bermimpi!" Bams tertawa ngeri. Punggungnya semakin menjauh.
"Aku nggak semenyedihkan itu!" amuk Niken.
Bams menemui Niken untuk meminta uang walau ia sudah berjanji pada Haikal untuk tidak menemui Niken lagi. Pada hari Bams dihajar oleh Haikal saat bertemu di kantor laki-laki itu, Bams memang meminta uang pada Haikal. Sebut saja ia menjual adiknya sendiri seharga 100 juta.
Akan tetapi, apa boleh buat. Uang lebih berharga dari pada janji seharga 100 juta.
Namun karena hari ini Niken tidak memberikan uang yang Bams minta, Bams memaki adiknya itu sebagai lampiasan kekesalannya.
"Hidup gue nggak semenyedihkan itu," bisik Niken pada dirinya sendiri. Berulang-ulang Niken meyakinkan diri. Dia tidak menyedihkan.
Dengan tubuh yang mendadak lemas, Niken berjalan menuju kursi taman yang paling dekat dengannya. Ia menangis tanpa suara.
Dirga ingin tidak peduli. Namun melihat perempuan menangis, jelas mengetuk pintu hatinya. Kaki Dirga melangkah menghampiri Niken.
"Bu," panggil Dirga pelan.
Niken yang semula menunduk mengangkat kepala. Dia tatap Dirga dengan mata berair.
"Kamu lihat semua?" tanya Niken getir. Malu salah satu mahasiswanya mengetahui kehidupan Niken yang begitu menyedihkan.
"Bu Niken, baik-baik saja?" tanya Dirga hati-hati.
Niken mengenggeleng. "Tidak. Saya tidak baik-baik saja," isaknya.
Dirga ikut sedih.
"Semua ini terlalu berat untuk saya hadapi."
"Bukan hidup namanya kalau tidak ada masalah, Bu." Dirga mengambil tempat duduk di sisi kosong Niken.
Niken tersenyum menyedihkan memikirkan semua yang telah terjadi. "Saya memang menyedihkan. Saya memang perlu dikasihani."
Air mata Niken kembali jatuh. Cepat-cepat ia hapus.
"Mau saya hibur, Bu?" tawar Dirga.
Niken diam saja.
"Saya nyanyiin, mau?"
Kenapa Dirga ini hobi sekali menghibur orang dengan nyanyian? Tidak sadar diri dengan suaranya. Terakhir kali dia bernyanyi untuk Jihan berakhir mengenaskan.
Niken lagi-lagi diam. Air matanya terus jatuh. Membuat Dirga semakin bingumg.
Dirga tatap boneka ulat bulu yang ia bawa. "Buat, Ibu," katanya.
Niken kaget. "Buat saya?" tanyanya.
Dirga mengangguk.
"Ini sogokan? Tapi ini nggak cukup untuk nilai A dimata kuliah saya," canda Niken dengan sisa isakannya. Membuat suara Niken terdengar lucu.
Dirga tertawa. "Oh, jadi harus lebih mahal?"
Niken menggeleng dengan senyuman. Suasana hatinya mulai membaik.
"Saya terima, ya. Ini imut banget." Niken menatap gemas boneka ulat bulu itu.
"Sama-sama, Bu!" jawab Dirga semangat. Merasa senang dia telah berhasil membuat Niken kembali tersenyum.
Eh, lupa boneka itu buat Kak Jihan, ringis Dirga dalam jati.
Tbc
Niken emang jagonya menarik perhatian.
Satu kata untuk Niken 👉
Spam next di sini 👉
Spam ❤
Spam emot ulat bulu 🐛
1000 komen. 500 vote. Yok, bisa yok 😁😁
Jangan lupa share cerita ini ke teman-teman kalian biar kita bisa baper-baperan bareng 😉
Ig : Ami_Rahmi98
☡ Awas ada typo ☡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top