Part 22 - Sakit

Hai, hai aku balik lagi.

Cek sound dulu. Ketik Aaaaaaa👉

Spam PEMERAN UTAMA 👉

Spam nama Jihan 👉

Spam nama Haikal 👉

Spam nama Niken 👉

Jangan lupa komentar di setiap paragraf 😉

Happy reading ❤

Jangan seperti senja,
Datang, hilang dan kembali lagi.
_______

"Makanya Kak asupan gizi itu diperhatikan. Kan jadi kurang gizi gini."

Dirga mengomel sembari menyusun buah-buah yang ia bawa untuk Jihan di atas nakas. Ada apel, anggur, pisang bahkan nanas. Kemana pikiran Dirga saat membeli semua buah ini? Memangnya Jihan ingin buka toko buah?

Jihan mendengkus sebal. "Gue tipes, bukan kurang gizi!"

"Kalau meninggal gimana? Kan nggak lucu. Mana belum nikah lagi."

Lagi-lagi Jihan mendengkus. "Gue masih hidup!"

"Meninggal, terus masuk neraka. Hayoloh, gimana?" Dirga menakuti-nakuti.

"Gue masih hidup!" tegas Jihan dengan nada sebal.

"Ayo dimakan buburnya." Dirga menyodorkan satu sendok bubur buatan rumah sakit ke arah Jihan.

Jihan memasang wajah terluka. "Gue lagi patah hati."

"Lah, patah hati apa hubungannya sama makan?"

Jihan berdecak kesal. "Ck, masa lo nggak tahu! Gue nggak boleh makan banyak biar keliatan menyedihkan--"

"Makan!" Dirga memasukkan satu sendok besar ke dalam mulut Jihan yang sibuk mengoceh.

"Ngggak ada shopan-shopannya ya lo sama yangg lebwih twua." Mulut Jihan penuh dengan bubur.

Memang laknat berondong yang satu ini.

Ini adalah hari kedua Jihan dirawat. Dia tidak memberitahu orangtuanya di kampung. Jihan hanya mengandalkan Dirga dan teman-temannya.

Selama Jihan dirawat, Haikal sama sekali tidak pernah datang berkunjung. Rekan kerja Jihan kemarin datang menjenguk. Hari ini juga sepertinya mereka akan datang.

"Ayo, sekarang waktunya mandi sore," ujar Dirga selepas memberi makan Jihan. Dia persis seperti orangtua.

Jihan refleks merapatkan tangannya di depan dada.

"Suster yang mandiiin. Gue cuma bantu doa dari luar kamar mandi."

Barulah saat itu Jihan bernapas lega. Yang benar saja dia mau dimandiin sama Dirga! Habis harga dirinya yang tidak seberapa ini kalau benar terjadi.

"Wah, wah. Anak siapa ini?! Udah mandi sore. Udah cantik," goda Dirga. Jihan kembali duduk di ranjang pesakitan selepas mandi sore.

Jihan mendelik sebal, dia malu pada suster yang tadi membantunya mandi. Si suster tersenyum karena perkataan Dirga yang menyebalkan.

"Biar saya saja, Sus," kata Dirga saat si suster berniat mengeringkan rambut Jihan yang basah.

Jihan sendiri yang minta keramas walau sudah dilarang. Kata Jihan kepalanya sangat gatal. Beruntung selang infus Jihan sudah boleh dilepas sejak tadi siang, jika kondisi Jihan semakin baik besok pagi ia telah boleh pulang dari rumah sakit.

"Kalau begitu saya permisi." Si suster tidak tahan melihat semua ke-uwu-an ini.

Dirga berjalan ke arah Jihan, ia mengambil posisi di sisi Jihan yang kosong. Tangan Dirga terulur ke arah belakang kepala Jihan. Dengan sabar dia mengeringkan rambut Jihan yang setengah basah menggunakan handuk kecil.

Jantung Jihan berdesir hebat karenanya.

"Santai aja. Jangan gugup," ujar Dirga.

Sialan ini bocah, Jihan berdecak dalam hati.

Lalu berikutnya Dirga menyisir rambut Jihan. Kemudian entah dari mana Dirga dapat, laki-laki itu menuangkan bedak bayi ke telapak tangannya.

My baby. Begitu tulisan yang tertera pada produk.

Jihan memperhatikan Dirga mengusap kedua tangan.

Jangan bilang gue mau dibedakin, batin Jihan panik.

Benar saja, Dirga melumuri wajah Jihan dengan bedak bayi. Bukan hanya sedikit, tapi banyak.

Jihan jadi cemong layaknya bocah baru mandi sore.

"Nah, udah cantik." Dirga bangga pada dirinya yang berhasil merias Jihan.

"Sekarang waktunya tidur."  Dirga menuntun Jihan untuk berbaring di ranjang.

Jihan pasrah saja.

Dirga menarik selimut hingga sebatas perut. Dirga sedikit membungkuk. Ia tersenyum lembut pada Jihan. Mata keduanya saling beradu.

"Selamat istirahat," kata Dirga, tangannya bergerak mengusap puncak kepala Jihan.

Jihan tersenyum kalem. Ya kalem, tapi sangat tidak cocok dengan karakternya yang bar-bar.

Suasana mendadak berubah jadi canggung. Dirga segera menegakkan tubuhnya kembali. Dirga usap lehernya dengan kaku.

"Gue mau cari makan dulu!" Dirga kabur karena salah tingkah.

******

Jihan ditinggal seorang diri di ruangan rawat inap. Ruangan serba putih menciptakan rasa sepi yang dalam di hati Jihan. Sendirian membuat Jihan merasa sendu. Sakit hatinya terasa perih. Diam-diam Jihan menangis.

Menangisi Haikal yang begitu jahat.

Kapan luka ini akan sembuh? Setiap mengingat Haikal rasanya sesak sekali.

"Nangis lagi?" Dirga memasuki ruangan.

Jihan kira laki-laki itu sudah pulang. Hampir satu jam lebih Dirga pergi tadi.

"Nggak nangis!" elak Jihan galak, takut dibilang lemah.

"Sesak, bukan?" tebak Dirga.

Tangisan Jihan pada akhirnya pecah. Tak mau berhenti. "Sakit banget."

Kaki Dirga memasuki ruangan semakin dalam. Dirga berdiri di sisi kiri ranjang.

"Hati gue sakit banget. Ya Tuhan." Tangis Jihan semakin kuat.

Dirga usap puncak kepala Jihan. "It's okay, Kak. Luaskan saja semua."

"Dia lebih pilih perempuan itu daripada gue. Dia lebih pilih masa lalunya yang jelas-jelas udah pernah ninggalin dia," racau Jihan.

"Gue nggak pernah ninggalin dia, Dirga."

"Dirga," panggil Jihan parau. "Apa Haikal nggak sadar bukan cuma Niken yang butuh dia? Tapi gue juga. Bukan cuma Niken yang memiliki masa-masa sulit. Hidup gue juga sulit. Gue juga menyedihkan. Gue juga ingin dilindungi."

Air mata Jihan terus jatuh. "Gue juga perempuan. Kenapa hanya Niken yang ada di mata Haikal?"

Jihan mengenang saat Haikal berkelahi dengan Bams. Bahkan saat itu Jihan tetap datang pada Haikal untuk mengobati lukanya, walau Jihan tahu Haikal melakukan semua itu untuk Niken.

"Dia laki-laki yang paling gue benci! Gue benci dia!" Jihan menangis.

Jihan bersyukur Dirga yang ada di sisinya kini. Karena terkadang orang sedih tidak butuh dinasehati. Dia hanya butuh orang yang tepat untuk mendengarkan semua sedih dengan benar.

"Lima menit sepuluh detik dengan tangisan sia-sia. Udah cukup!" Dirga mengusap air mata di pipi Jihan.

"Siapa Haikal berani nyakitin, Kakak?! Siapa sih dia?! Penting banget buat ditangisin!"

Jihan masih saja menangis.

"Sayang boleh, tapi jangan jadi bodoh," nasehat Dirga halus, dia tidak ingin menyudutkan rasa cinta yang Jihan miliki.

"Mau gue hibur? Dinyanyiin?" tawar Dirga.

Dirga ambil ancang-ancang untuk bernyanyi. Dari ekspresinya saja kurang meyakinkan.

Dirga mulai bernyanyi. "Lelaki buaya darat."

"Huaaaaa, suaranya jelek banget!" jerit Jihan di antara tangisannya.

"Eh?" Dirga bingung. Bukannya anteng, tangisan Jihan justru semakin kuat.

Pintu ruang rawat Jihan yang setengah terbuka membuat semua keluh kesah Jihan terbawa angin hingga keluar. Di balik dinding luar ada Haikal yang berdiri kaku. Di tangannya ada satu keranjang buah untuk Jihan.

Haikal bersandar pada dinding dengan lemas.

"Jangan nangis dong! Tunggu sebentar, gue beliin permen." Dirga buru-buru keluar dari luar ruangan.

Kaki Dirga melangkah panik. Bagaimana tidak panik? Anak gadis orang menangis karena nyanyiannya.

Ketika keluar dari ruangan rawat inap Dirga kaget bertemu dengan seseorang yang tidak seharusnya berada di sini. Seorang laki-laki yang kalau Dirga tidak salah ingat adalah mantan Jihan yang pernah bertemu di kafe.

"Ada urusan apa?" tanya Dirga dengan wajah tanpa ekspresi.

Haikal memasang wajah yang tidak kalah dingin. "Urusan saya tidak harus kamu tahu!"

Haikal berniat masuk ke dalam kamar inap Jihan. Namun tangannya lebih dulu dicekal oleh Dirga.

Haikal berdesis sebal, bocah ini sangat menyebalkan.

"Jangan ganggu dia! Pergi dari sini!" Mata Dirga menyorot serius.

"Sudah saya bilang, bukan urusan kamu!"

"Itu jadi urusan saya sekarang. Karena Jihan adalah calon saya."

Perkataan Dirga membuat wajah Haikal berubah pias.

Calon? Calon presiden kali ah, kekeh Dirga dalam hati. Dia senang melihat wajah Haikal yang mendadak masam.

******

Kaki Niken melangkah ragu menelusuri lorong rumah sakit. Dia menyusul Haikal untuk menjenguk Jihan yang sedang sakit. Haikal tadi meminta izin padanya, entah atas dasar apa Niken mengatakan untuk menyusul selepas dia mengajar.

"Haikal," panggil Niken.

Haikal yang sedang berbincang dengan seorang laki-laki menoleh. Keduanya terlihat mengobrol dengan wajah emosi.

"Bu Niken?" kata orang yang berbincang dengan Haikal yang tak lain adalah Dirga.

"Dirga? Kamu ngapain di sini?" Dirga ini salah satu mahasiswa Niken di kampus.

Senyuman Dirga mengembang tanpa arti. Jadi dosennya ini yang membuat Jihan patah hati?

Tbc

Spam next di sini 👉

Spam ❤

Udah panjang bukan part ini? Udah dong 😉

500 vote. 1000 komen. Yok bisa yok.

Share cerita ini diberbagai sosial media kalian biar yang lainnya ikut baper-baperan bareng 😉

Ig : ami_rahmi98

🐾 Awas ada typo 🐾

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top