Part 18 - Terlupakan
Yuhuuuu, ada yang nyariin aku? Gk ada yah? Oke, bye!
Cek sound dulu ya. Ketik Aaaaa 👉
Spam nama Jihan di sini 👉
Spam nama Haikal 👉
Spam nama Niken 👉
Spam PEMERAN UTAMA di sini👉
Jangan lupa komentar yang panjang di setiap paragraf 😉
Happy reading ❤
Terima kasih untuk hubungan yang sangat singkat, namun membekas begitu dalam.
______
Sore semakin dalam. Jihan terpaku dalam keterdiaman sembari menatap dua bola mata Haikal yang berhasil menghanyutkannya. Ada banyak rasa yang ingin Jihan ungkapkan dalam kata.
"Maaf," lirih Jihan. Hanya itu yang mampu ia ucapkan.
Jihan coba berpikir dengan tenang. Masalah ini harus diselesaikan dengan benar.
"Delapan puluh juta bakal gue balikin secepatnya. Kasih gue waktu."
"Jangan buru-buru. Saya sedang tidak butuh uang itu," sahut Haikal. "Hanya satu syarat, kamu menuruti permintaan saya"
Jihan mengerang tertahan. Haikal sangat pandai memanfaatkan keadaan.
"Setelah dipikir-pikir, gue memang kekanakan melimpahkan semua kesalahan pada Niken. Bagaimanapun dia nggak tahu apa-apa," jelasnya.
Haikal diam mendengarkan.
"Lo benar. Semua bukan salah Niken. Mulai sekarang gue nggak akan pernah ungkit masalah ini lagi. Kita putus dengan cara baik-baik. Gue akan coba lupakan semua. Lagipula hubungan kita juga baru berjalan lima bulan. Nggak banyak yang bisa dikenang." Mata Jihan menerawang jauh.
"Saya tidak suka dengan cara berpikir kamu," debat Haikal.
Jihan menampilkan senyuman mengejek. Ini sudah menjadi versi dewasa dirinya, ini pemikiran yang paling baik menurutnya. Dan Haikal masih tetap tidak suka?
"Saya tidak suka dengan cara kamu memandang sebelah mata hubungan lima bulan kita. Karena itu berarti bagi saya," kata Haikal dengan tenang.
Perasaan Jihan semakin tidak karuan. Dia seperti berada dalam dua pilihan, percaya ucapan Haikal atau tidak. Entahlah, kadang Jihan merasa Haikal seperti sangat mencintainya. Tapi di satu waktu Jihan merasa Haikal sayang pada Niken.
"Pilihan untuk saling menjauh adalah hal tepat. Lebih baik sekarang kita jangan bahas sesuatu di luar urusan pekerjaan," balas Jihan.
Haikal balas berdecak.
Jihan merasakan ponselnya bergetar. Ada pesan masuk dari Dirga yang mengatakan bahwa dia sudah berada di area kantor.
Haikal dengan cepat menarik tangan Jihan saat perempuan itu beranjak pergi. "Mau ke mana?"
"Pulang."
"Sama laki-laki itu?" tanya Haikal remeh. Haikal genggam semakin erat pergelangan tangan Jihan. Seolah takut kehilangan.
"Haikal," lirih Jihan.
"Pulang sama saya, ya?" kata Haikal lembut. Sangat lembut. Bahkan tatapan mata laki-laki itu itu melembut.
Jihan lagi-lagi terpaku. Jantungnya berdebar dengan cepat. Telapak tangan Haikal terasa hangat di pergelangannya.
"Saya antar." Tangan Haikal bergerak perlahan, yang semula menggenggam pergelangan tangan Jihan kini ia mengenggam jemari tangan perempuan itu.
Jari-jari Haikal terselip di antara jemari Jihan. Membuat jatung Jihan semakin berdebar karenanya.
"Jangan berpikir yang macam-macam lagi," Haikal berujar dengan tenang. Senyumannya menghanyutkan.
Boleh Jihan pingsan sekarang?
"Kita pulang?" ajak Haikal.
Jihan menggeleng. Berada di dekat Haikal bukan hal yang baik untuk kesehatan jantungnya. "Dirga nungguin gue di bawah."
"Delapan puluh juta." Haikal mengingatkan.
Sial!
"Haikal!"
Pintu tiba-tiba terbuka, Niken hadir. Tak hanya sendiri, Niken datang bersama Ibu Haikal.
"Eh, ada Jihan. Maaf kalau kami ganggu," sesal Niken. Tidak sengaja matanya menangkap jemari Jihan dan Haikal yang bertautan.
"Bukannya sudah putus?" tanya Lily, Ibu Haikal.
Jihan menarik tangannya dari jangkauan Haikal. "Kami cuma teman, Tante," jelas Jihan pada Ibu Haikal.
"Teman tapi kenapa berdua-duaan?" balas Lily tepat sasaran.
"Tadi ada perlu sama Jihan." Haikal menjelaskan. "Niken, perut kamu sudah enakan?"
Tadi pagi Niken memang mengeluh asam lambungnya kambuh sebelum berangkat ke kampus. Haikal tahu karena kini mereka memang satu atap, di rumah orangtua Haikal tepatnya.
"Nanti sebelum pulang kita mampir ke apotek dulu untuk beli obat asam lambung. Niken masih kelihatan pucat, harusnya tadi pagi nggak perlu berangkat ke kampus untuk ngajar," kata Lily cemas.
"Maaf Tante aku ngerepotin." Niken memasang wajah menyesal.
Lily mengusap bahu Niken dengan lembut. "Jangan sungkan."
Selain cemburu pada kedekatan Niken dan Haikal, kini Jihan juga cemburu pada kedekatan Niken dan Ibu Haikal. Keakraban yang sangat sempurna.
"Sebaiknya kita ke dokter saja. Niken makin pucat aja," ungkap Lily khawatir.
Niken tidak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang kesakitan. Ya, perut Niken sedang tidak baik-baik saja saat ini. Nyeri sekali.
"Nggak perlu sampai ke dokter, Tante."
"Kita ke dokter!" sela Haikal dengan nada tegas tak terbantahkan. "Saya yang antar dan memastikan kamu ke dokter."
"Haikal." Niken memelas manja.
"Jangan dibantah!" tegas Haikal.
Jihan yang menyaksikan drama asam lambung ini hanya dapat mendengkus.
Haikal mengalihkan pandangannya pada Jihan. Cih, Jihan tahu arti tatapan itu. Haikal tidak dapat memenuhi janjinya untuk mengantar Jihan pulang.
"Haikal," rintih Niken kesakitan. Dia meremas perutnya kuat dengan posisi setengah membungkuk.
"Ya Tuhan." Ibu Haikal panik.
Dengan sigap Haikal mendekati Niken. Merangkul perempuan itu untuk memberi kekuatan. "Kamu harus segera diobati. Jangan keras kepala, Niken! Kita ke dokter sekarang juga! Saya tidak terima penolakan. Bagaimana pun keadaannya kesehatan adalah nomor satu. Sudah berapa kali saya katakan?! Jangan terlambat makan walau tidak selera. Jangan pikirkan Bams!"
Jihan tercengang mendengar omelan panjang Haikal. Laki-laki itu tidak pernah bersikap seperti itu padanya.
"Ayo!" Haikal memapah Niken meninggalkan ruangan. Diikuti Lily yang berjalan tergesah-gesah.
Tidak ada yang mengingat Jihan di sini.
"Haikal," panggil Jihan pelan yang dijawab hembusan angin.
Kamu janji mau anter aku pulang, lanjutnya dalam hati.
*****
Mobil milik Haikal membelah jalanan ibu kota yang padat malam ini. Gedung-gedung tinggi sepanjang jalan memanjakan mata, ibu kota dan segala peliknya selalu punya daya tarik tersendiri.
Suasana hening di dalam mobil. Ibu Haikal yang duduk di kursi belakang sudah terlelap sejak lima menit mobil Haikal meninggalkan rumah sakit tempat Niken diperiksa. Sementara Niken duduk di sisi Haikal. Perempuan itu sudah tampak lebih baik setelah meminum obat dan diperiksa.
"Haikal," suara Niken mengudara.
Haikal bergumam sebagai balasan. Fokusnya masih tertuju pada jalanan yang padat. Mobil melaju dengan pelan.
"Menurut kamu Jihan itu seperti apa?" tanya Niken.
Haikal melirik Niken sekilas. Pertanyaan yang tiba-tiba.
"Dia baik," jawab Haikal singkat.
"Baik? Itu saja? Apa yang kamu lihat darinya yang nggak ada dalam diriku?"
"Kalian jelas beda." Haikal menjawab dengan tenang.
"Haikal," panggil Niken lembut. "Aku tahu setiap orang itu akan berubah pada waktunya. Tapi dalam hidup ini, aku selalu minta sama Tuhan agar kamu tidak pernah berubah."
Haikal diam mendengarkan.
"Agar kamu tetap jadi Haikal yang selalu ada buat aku."
"Tetap jadi Haikal yang jadikan aku prioritas."
"Tetap jadi Haikal yang akan selalu aku cari dalam situasi apa pun."
"Kamu sudah seperti rumah bagi aku, Haikal."
"Karena sejauh apa pun aku melangkah, aku akan selulu pulang ke kamu."
Niken menutup kalimat-kalimatnya dengan senyuman senduh. Niken tulus mengatakannya.
"Saya tidak akan berubah." Singkat, tetapi mengahanyutkan. Haikal memang sangat pandai membuat perempuan terbuai.
Tbc
Part ini aku persembahkan buat phobiauwuu yang udah rajin komen. Kamu luar biasyaaaa ❤
Spam next di sini 👉
Spam ❤
Komen part sebelumnya pecah banget 😲 aku sukaaa 😍
500 vote. 1000 komen. Bisa gk ya? Yuk, bisa yuk
Jangan lupa tag aku di instagram yang mana bagian favorit kamu dari cerita ini 😉 share PEMERAN UTAMA ke teman-teman kamu supaya kita baper-baperan bareng 😙
Ig : ami_rahmi98
❤ awas ada typo ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top