Part 13 - 80 Juta
Hai, hai aku balik lagi 😚
Ada yang kangen Haikal?
Cek sound dulu, coba ketik AAAAAA 👉
Yang jomblo siapa? 👉
Kalian baca cerita ini jam berapa? 👉
Happy reading ❤
Jika semua perjuangan kamu sia-siakan,
Lalu apa yang harus aku katakan pada pengorbanan.
_____
"Gue duluan, Ji." Anita pamit meninggalkan ruangan divisi marketing, meninggalkan Jihan seorang diri.
Jihan yang semula fokus pada ponselnya menoleh, ia tersenyum sembari mengangguk. "Hati-hati di jalan. Kalau jatuh bangun sendiri," balasnya.
Setelah itu Jihan kembali fokus pada layar ponsel. Pesan dari ibunya di kampung menarik perhatian Jihan.
Ibu Negara ❤
Ayah kamu kena tipu bisnis investasi
80 juta lenyap nak
Kita harus bayar cicilan bank
Jihan menghela napas lelah. Biasanya nih kalau jalan cerita di novel jika terjadi masalah seperti ini maka Jihan akan dijual atau dijodohkan dengan orang kaya. Jihan tidak mau ya itu terjadi! Author tolong kerjasamanya.
80 juta? Jihan tidak punya tabungan sebanyak itu.
"Ginjal gue masih ada dua. Jual satu nggak masalah kali ya," kata Jihan pada dirinya sendiri.
"Belum pulang?"
Terdengar suara menyebalkan yang membuat telinga Jihan sakit. Suara dalam, renyah, serak dan ada nada lelah di sana. Baiklah, tidak semenyebalkan yang Jihan maksud. Karena suara Haikal selalu merdu menyentuh telinga Jihan. Ya, harus Jihan akui itu.
Kenapa tidak ada hal jelek dalam diri Haikal? Bahkan suaranya saja diam-diam Jihan suka. Haikal itu tampan, berwibawa dan kaya.
Kaya?
Tunggu dulu! Kaya? Dan saat ini Jihan butuh uang. Hm!
Oh ayolah, minta tolong pada Haikal adalah hal terakhir yang akan Jihan lakukan.
"Saya antar pulang," kata Haikal tanpa bisa dibantah.
"Tidak perlu, Pak. Saya bawa motor." Tolak Jihan sembari bergegas bangun dari duduknya.
"Motor kamu tinggalkan di sini saja." Haikal menatap tajam.
Jihan balas menatap Haikal dengan ragu. Dia bergelut dengan pikiran apakah harus meminta bantuan pada Haikal atau tidak.
Jihan butuh uang dan di hadapannya ada Haikal si orang kaya. Akan tetapi masalahnya tidak sesimpel ini, Jihan akan kehilangan harga dirinya jika ia meminjam uang pada Haikal.
Tapi orangtua Jihan jauh lebih penting dari pada sekedar harga diri.
"Saya antar kamu pulang, Jihan," ujar Haikal satu kali lagi.
"Iya!" sahut Jihan dengan cepat dan terlampau semangat. "Ayo, ayo!" Jihan berjalan mendahului Haikal.
Haikal yang pada awalnya memasang wajah cool tampak melongo karena tingkah Jihan yang semudah itu ia ajak pulang.
Nanti gue bakal coba bicara di jalan, batih Jihan yakin.
"Haikal, ayo pulang! Gue tinggal, nih!" seru Jihan.
Haikal mengikuti langkah Jihan tanpa suara.
"Dulu aja waktu pacaran jarang banget ngajak pulang bareng. Sekarang sok baik ngajak pulang bareng," sindir Jihan tepat pada sasaran.
Haikal menebalkan telinga mendengar semua ocehan Jihan.
Untuk sejenak Jihan terdiam. Kalau dia ingin minta batuan pada Haikal, tidak seharusnya Jihan memaki-maki laki-laki itu. Apa Jihan harus bersikap baik dan manis? Ah benar, bersikap baik dan manis!
"Haikal." Panggilan lembut Jihan sukses mendapat pelototan terkejud dari Haikal.
"Pasti ada maunya," cibir Haikal.
Jihan terkekeh. "Mau minta bantuan, boleh?"
"Bantuan apa?"
Haikal menekan tombol lift, kemudian mereka berdua memasuki ruangan berbentuk kotak kecil itu. Tak berapa lama Jihan dan Haikal sampai di lantai satu.
"Gini, gue--"
Eh salah, harus bersikap manis, batin Jihan.
"Maksudnya aku... mau pinjem uang," ungkap Jihan dalam satu tarikan napas.
Dan setelah itu Haikal terbatuk mendengar penuturan Jihan yang terdengar mengada-ada. Seorang Jihan meminjam uang? Detik berikutnya senyuman miring yang menyebalkan tercipta di wajah Haikal.
"Mau pinjam berapa?" tanya Haikal dengan alis terangkat.
Jihan mencibir pelan melihat gaya Haikal. Sudah merasa seperti di atas angin, eh?
"Aku--"
"Jangan bicara!" potong Haikal. "Kita butuh ruang yang lebih privat untuk membicarakan ini. Ini sesuatu yang langkah."
Ah, rasanya Jihan ingin menenggelamkam diri saja. Habis sudah harga diri Jihan.
"Kita bicara di jalan, di mobil," saran Jihan dengan senyuman setengah dan wajah memerah karena malu.
Haikal tidak mungkin melewatkan hal langkah ini. Dulu selama pacaran lima bulan dengannya Jihan tidak pernah mau menerima sesuatu secara cuma-cuma. Jihan itu harga dirinya mahal.
"Jangan di mobil. Kita butuh tempat khusus untuk bicara tentang utang-piutang," ujar Haikal songong.
"Belum apa-apa gue udah diledekin," Jihan mengomel kesal. "Buka pintu mobilnya!" pintah Jihan begitu mereka sampai di sisi mobil Haikal.
Keduanya kini duduk bersisihan di dalam mobil. Haikal tersenyum tidak jelas, senyuman yang sejak tadi coba ia tahan tapi tetap merekah.
"Aku cuma--"
"Tunggu sebentar." Untuk kesekian kalinya Haikal memotong ucapan Jihan. Kali ini penyebabnya adalah ponsel milik Haikal bergetar, ada panggilan masuk dari Niken.
Jihan yang melihat nama Niken tertera pada layar ponsel Haikal hanya dapat tersenyum kecut.
"Ya?" tanya Haikal begitu sambungan telepon terhubung.
"Haikal, maaf lagi-lagi aku ngerepotin kamu. Tolong datang ke apartemenku sekarang. Tolong."
Perasaan Jihan tidak enak, tatapan mata serba salah yang Haikal berikan membuat Jihan kecil hati. Akankah ia ditinggal begitu saja oleh Haikal lalu laki-laki itu berlari ke arah Niken?
Tak berapa lama Haikal mengakhiri panggilan telepon dengan Niken.
"Jihan, kamu mau ikut bersamaku ke tempat Niken?"
Jihan mengangguk.
*****
"Haikal." Niken menenggelamkan diri dalam dekapan Haikal begitu ia membukan pintu untuk laki-laki itu. Niken menangis sedih.
"Kenapa ini?" tanya Haikal. Matanya menyapu ruang tamu, ada dua lelaki berbadan besar di sana dan ada Kakak laki-laki Niken.
Niken mengurai pelukannya dengan Haikal, ia mendongak sedikit dan menatap Haikal dengan sendu. "Maaf ngerepotin kamu lagi."
"Bams buat masalah? Aku bantu selesaikan." Haikal melangkah masuk. "Jihan, ayo masuk."
Saat nama Jihan disebut sorot mata sembab milik Niken semakin redup. Jihan mencul dengan wajah serba salah.
"Maaf, harusnya aku nggak di sini. Tapi--" Jihan berusaha menjelaskan.
"Nggak masalah, Jihan," kata Niken lembut. Ia tersenyum penuh pengertian sekaligus penuh duka.
Suasana ruang tamu milik Niken terasa mencekam. Kedatangan dua pria berbadan besar adalah untuk menagih utang Bams yang jumlahnya tidak sedikit. Sebelum Haikal datang tadi secara terang-terangan Bams meminta apartemen milik Niken untuk menutupi sebagian utangnya.
"Berapa jumlah utang Bams?" tanya Haikal tenang.
"500 juta," jawab salah satu pria berbadan besar dengan kulit coklat.
"Jika ditutupi dengan unit apartemen ini maka sisanya tinggal 80 juta lagi," lanjut pria berbadan besar lainnya.
"Sisanya saya bantu lunaskan!" kata Haikal tanpa berpikir dua kali.
Jihan yang sejak tadi menjadi pendengar hanya dapat menghela napas. Di sisinya ada Niken yang terus saja menangis. Sementra Bams memasang wajah tidak mau tahu.
Jihan sama sekali tidak peduli dengan tangisan Niken. Yang ada dibenaknya adalah bagaimana cara mendapatkan uang 80 juta.
Haikal sudah meminjamkan 80 juta untuk Niken. Lalu bagaimana 80 juta untuk Jihan?
"Hari ini juga tempat ini harus dikosongkan!" pintah si lintah darat.
Tangis Niken pecah. "Ya Tuhan, aku harus tinggal di mana?" racaunya.
"Kemasi barangmu, Niken! Kamu tinggal dengan saya," kata Haikal tanpa beban.
Apa?! pekik Jihan dalam hati.
Tbc
Spam next di sini 👉
200 vote untuk part berikutnya
500 komen muehehehe
✡ Awas ada typo ✡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top