Part 12 - Mesin foto copy

Kamu boleh dengannya, asal tidak bahagia.
_______

Jihan kembali ke meja yang ia tempati bersama Dirga. Niat untuk ke toilet Jihan urungkan, menjauh dari Haikal lebih penting. Ia tinggalkan laki-laki itu begitu saja.

"Cepat banget dari toiletnya," kata Dirga sambil membolak-balik buku menu.

Jihan tidak menyahut. Pikirannya masih tertinggal bersama Haikal.

"Mau pesan apa?" tanya Dirga.

"Apa saja," jawabnya singkat.

Perasaan Jihan semakin kalut saat melihat Haikal muncul. Sialnya lagi laki-laki itu menempati meja tepat di sisi Jihan dan Dirga. Gerak tubuh Haikal tampak santai, seolah tidak ada sesuatu yang salah telah terjadi.

"Kak Jihan mau pesan makanan yang pedes?" tawar Dirga.

"Dia lebih suka makanan yang manis-manis." Suara dari meja sebelah terdengar.

Yakinkan Jihan bahwa yang mengatakan itu bukan Haikal. 

Dirga yang tidak menyadari keadaan memasang wajah kalem. Ia tidak tahu apa-apa memang.

"Mau pesan nasi goreng super pedas?" tanya Dirga, lagi.

"Sudah saya katakan, dia tidak suka pedas!" Kali ini suara dari meja sebelah terdengar sebal.

Jihan meringis pelan. Dia lirik Haikal sekilas dengan pandangan tajam.

"Atau mau pesan ayam panggang?" tawar Dirga tanpa beban.

"Pesan rainbow cake saja. Itu favorit dia," kata Haikal entah pada siapa.

Dirga merasa aneh dengan orang yang ada di meja sebelah, duduk seorang diri tetapi sejak tadi bicara tidak jelas. Laki-laki muda itu tidak tahu bahwa secara tidak langsung Haikal membalas semua kata-katanya.

Kasihan ya, mana masih muda lagi, batih Dirga.

"Kak," Dirga memanggil Jihan dengan nada berbisik. Setelah mendapat perhatian Jihan dengan gerakan mata ia menunjuk-nunjuk ke arah Haikal.

Jihan menjadi was-was karena tingkah Haikal yang tidak jelas. Jangan sampai acara kencannya rusak gara-gara Haikal.

"Dia gila," kata Dirga dengan gerakan bibir tanpa suara.

Tawa Jihan hampir saja pecah.

"Dia bicara sendiri sejak tadi," lanjut Dirga. Kemudian dia menggerakkan tangannya ke depan kening, Dirga mengeluarkan jari telunjuknya, lalu dimiringkan.

Dan saat itu juga tawa nyaring Jihan pecah. Terdengar luwes dan tanpa beban, membuat sudut mata Jihan menyipit. Sudah berapa lama Jihan kehilangan tawanya?

"Dasar bocah." Haikal tiba-tiba bangun dari duduknya, gerakan Haikal yang terlalu cepat menarik perhatian beberapa orang.

Haikal tahu semua yang Dirga katakan pada Jihan. Termasuk mengatainya gila karena bicara sendiri.

Ck, Haikal tidak percaya ini! Dia dikatai oleh seorang bocah ingusan.

"Kasihan ya. Mana masih muda lagi." Dirga geleng-geleng kepala seraya menatap pintu kaca yang baru saja Haikal lalui.

Jihan menampilkan senyuman lebar. Dirga terlihat sangat polos sekarang.

"Kalau gue bilang, dia mantan gue. Lo percaya, nggak?" tanya Jihan iseng.

Seketika otak Dirga nge-blank. Matanya menyorot tak yakin pada Jihan. Menimang-nimang apa dia harus percaya atau tidak.

"Ya percaya-percaya aja, sih. Asal jangan balikan lagi."

*****

"Mana Jihan?!" teriak Haikal marah. Dia buka pintu ruangannya dengan kasar. Membuat suasana di divisi marketing yang semula kondusif berubah tegang.

Alvian yang semula asik mengetik di keyboard komputernya seketika mematung mendengar teriakan Haikal. Rasanya seperti mendengar nyanyian Mbak Kunti di siang bolong.

"Saya, Pak?" Jihan menyahut dengan tanggap.

Ini pagi yang cerah, cerah sekali sebelum Haikal mengacau tidak jelas. Jihan kembali kerutinitas wajibnya, bekerja. Kencan kemarin sore bersama si berondong berjalan cukup lancar. Bahkan Jihan diantar pulang hingga kos.

Dirga ternyata orang yang menyenangkan, dia tipe laki-laki yang banyak bicara. Pandai membangun suasana baik walau dengan orang baru.

"Jihan kamu dengar saya?!"

Nah, ini nih orang yang tidak pandai membangun suasana baik. Haikal!

"Maaf, Pak. Bagaimana?"

Haikal menghela napas gusar. Entahlah, dia kesal sekali hari ini. Apa lagi melihat Jihan. Apalagi saat mengingat kejadian di kafe.

Kemarin sore Haikal tidak sengaja bertemu Jihan di kafe. Tadinya ia ingin makan setelah mengantar Niken pulang. Kafe yang sering ia datangi bersama Jihan menjadi pilihannya untuk mengisi perut, tetapi yang ia dapati di sana justru membuat selera makan Haikal hilang.

"Saya minta salinan kontrak dengan talent yang minggu lalu kamu kerjakan!" Haikal menekan setiap kata dalam kalimatnya.

"Sudah saya kirim lewat email, Pak. Sejak tadi," jawab Jihan mantap.

"Saya minta hard copy-nya!" omel Haikal.

Urat leher Jihan terasa tegang. Biasanya Haikal selalu meminta salinan kontrak di kirim lewat email. Sepertinya Haikal sengaja cari gara-gara dengan Jihan.

"Hard copy! Saya minta hard copy!" ulang Haikal berkali-kali.

Iya, iya gue tahu! Nggak perlu ngegas juga kali, dumel Jihan dalam hati.

Semua rekan kerja Jihan meringis melihat tingkah Haikal pagi ini. Memang susah kerja sama dengan mantan. Apalagi mantannya seperti Haikal.

"Saya copy sekarang file-nya, Pak," ujar Jihan dengan sisa kesabaran yang ia miliki.

"Iyalah sekarang! Kalau sampai besok kamu kerjakan, saya kasih SP kamu," hardiknya.

Jihan melongo tidak percaya. Laki-laki ini ada masalah apa, sih?

"Tunggu apa lagi? Kerjakan sekarang!" perintahnya.

"Baik, Pak." Jihan meraih file yang ada di atas meja dekat komputernya. Ia bergerak menuju mesin fotocopy yang ada di sudut kiri ruangan. "Nanti akan saya antar ke ruangan Bapak."

Jihan mengutak-atik mesin fotocopy. Fokusnya terbagi pada Haikal yang ternyata datang menghampiri. Kenapa Haikal tidak langsung masuk ke dalam ruangan saja? Apa kalimat Jihan kurang jelas saat mengatakan untuk mengantarkannya langsung ke ruangan Haikal?

Diam-diam seluruh pasangan mata memperhatikan keduanya.

"Saya tidak suka, ya!" Haikal setengah berbisik. Dia berdiri tepat di sisi kanan mesin, sementara Jihan berada di depan alat fotocopy.

"Saya tidak suka kamu membicarakan saya dengan orang lain," lanjut Haikal.

Jihan menekan angka 1 pada mesin fotocopy, itu artinya dia hanya butuh satu rangkap untuk setiap lembar.

"Saya juga tidak suka kamu membawa orang lain ke tempat yang sering kita kunjungi," kata Haikal lagi.

Jihan mati gaya. Antara gugup dan berdebar. Jihan merasa malu dan tidak tahu harus berbuat apa.

"Karena saya tidak suka berbagi kenangan dengan siapa pun. Kalau ingin buat kenangan baru, cari tempat lain saja!" ungkap Haikal dengan nada tajam.

Jihan meraih kertas yang telah selesai ia fotocopy.

"Perlu saya masukkan ke map, Pak?" tawar Jihan seraya menunjukkan salinan yang diminta Haikal.

Haikal raih kertas-kertas itu tanpa perasaan.

"Ada yang bisa saya bantu lagi, Pak?" Jihan coba mempertahankan rasa sopannya pada Haikal.

"Laki-laki pilihan kamu sangat buruk untuk menggantikan saya," Haikal berdecak, seolah mengejek Jihan.

Dengan sisa keberanian yang ada Jihan tatap Haikal secara terang-terangan. "Iya, iya terserah! Pilihan kamu untuk menggantikan saya memang bagus! Niken memang bagus!"

"Memang!" balas Haikal kesal. Ia tinggalkan Jihan yang tidak kalah kesal juga.

Tbc

Spam next di sini 👉

200 vote ya 😉 yok bisa, yok

📣 Awas ada typo 📣

Ig : ami_rahmi98

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top