5_ Eleminasi
Dunia ini fana. Apa-apa yang ada tidak untuk selamanya. Ada waktu di mana ia harus pergi, berlari, atau bahkan harus tereleminasi.
Dunia ini terlalu fana memang, dan aku tidak bisa menebaknya. Tuhan benar-benar merahasiakan takdir. Bahkan semesta pun enggan memberi bocoran.
Tuhan, kalau boleh ngeluh, Laiba ingin mengeluh, Laiba belum siap kehilangan nenek, dia satu-satunya yang ngerti semua tentang Laiba. Kalau nenek tidak ada, lalu siapa lagi?
Papa? Dia hanya menuntut untuk aku sempurna tanpa mau memahami apa yang aku mau.
Mama? Sama saja.
Tiba-tiba kursi panjang di taman ini tak hanya diduduki olehku. Bagian yang kosong terisi seseorang. Aku tahu siapa, maka dari itu aku tak perlu menoleh hanya untuk mencari tahu siapa orangnya. Aroma parfumnya saja sudah hapal siapa pemiliknya
"Gak papa, semua manusia akan meninggal, bukan?" Ucapnya dan menyodorkan sapu tangan coklat kayu bergambar sayap.
Aku mengangguk sambil mengusap bekas air yang menetes di pipi dengan sapu tangan yang Syabi ulurkan padaku.
Aku ingat perihal sapu tangan ini, Syabi pernah bercerit saat aku tanya kenapa bergambar sayap.
Kata Syabi, sayap itu sebagai penanda, sebagai pengingat bahwa dia punya mimpi yang tinggi. Sayap itu pula yang yang akan menegur Syabi kala ia lupa bahwa ia harus terbang tinggi.
"Kamu pesan di mana untuk sapu tangan bergambar ini?" Tanyaku kala itu.
Syabi hanya menggeleng. "Mama yang membuatkan."
Hanya itu cerita tentang mamanya. Setelahnya tak ada lagi tentang Syabi yang aku tahu kecuali yang tampak saja di hadapan mata. Seperti dia yang rajin, tampan, berkacamata, kaku, irit bicara.
Setiap kali aku menyinggung keluarganya, Syabi tak pernah mau buka mulut atau sekedar berkeluh kesah kepadaku.
"Syabi, kalau suatu saat kamu harus pergi, tolong, ya, beri tahu aku. Biar aku nggak kaget tiba-tiba ditinggal seperti ini," ucapku tiba-tiba tanpa menoleh padanya.
"Kematian siapa yang tahu, Ba?"
Aku serikit terhenyak karena panggilannya. Tapi sedikit kuabaikan.
"Setidaknya kamu tahu kapan mau pergi meski bukan kematian penyebabnya."
"Aku tidak akan pergi, Ba."
Seketika aku harus memutar kepala karena panggilan Syabi lagi yang tadinya hanya fokus menatap langit biru.
"Kok kamu manggilnya Ba si?"
"Kenapa?"
Kenapa dia bilang? What the?
"Nggak cantik, Bi."
"Yang penting orangnya, 'kan?"
Maksudnya? Orangnya yang cantik? Syabi kalau ngomong emang gak pernah komplit, selalu ngirit.
"Ha? Kenapa-kenapa? Yang penting orangnya kenapa?"
"Cantik."
Tentu saja meski sedang berkabung, hati ini tetap merespon kalau dia tidak baik-baik saja dibilang cantik. Saraf bekerja dengan cepat hingga tanpa sadar ujung bibirku tertarik.
"Syabi," panggilku setelah kurasa endorphin dalam tubuh menurunkan porsinya.
"Emm," sahutnya tanpa menoleh padaku. Kulihat netranya menatap langit yang tadi kutatap.
"Sebenarnya aku nggak ngerti sama kamu."
"Nggak ada yang minta."
"Ha? Maksudnya?"
"Gak ada yang minta kamu buat ngerti aku, Ba." Perlahan kepala yang mendongak itu turun dan berbelok ke arahku.
"Ih, Ba lagi, kan? Aku gak suka, Bi," gerutuku.
"Yang penting aku suka." Dengan santainya dia bilang begitu tanpa tahu ada kesalahpahaman yang mendobrak dalam dada.
"Ha? Suka manggil 'Ba'?"
"Suka kamu."
Seketika otakku rasanya oleng, no respon, hatiku juga rasanya abnormal.
"Coba diulang, Bi, aku gak denger."
"Ba itu panggilan spesial. Kalo kamu gak mau yaudah aku ganti 'La'."
***
Sepulang sekolah, seperti biasa, Syabi yang mengantarku pulang.
"Bi, kamu gak capek nganter aku pulang terusan?"
Tidak ada jawaban dari Syabi, entah karena dia tidak mendengar, aku tidak tahu.
"Kalau capek aku nggak papa kok nggak perlu kamu antar. Aku bisa pulang sendiri." Tetap masih bergeming, hanya semilir angin bercampur polusi nan panas di teriknya matahari yang tak pernah absen menyapa kami setiap hari.
Pagar rumah sudah terlihat. Tapi kali ini ada yang beda, papah seperti sedang menunggu kepulanganku di teras rumah.
Setelah aku turun, Syabi membuka kaca helmnya dan berkata, "sampai keujung dunia pun aku rela."
Tentu saja aku tersenyum mendengar jawabannya yang mungkin terdengar gombal. Tapi melihat wajahnya yang tanpa ekspresi, aku jadi tidak tahu ini gombal atau benar-benar jawaban dari dalam hatinya.
"Ehm." Ini bukan suara Syabi, tapi suara papa yang seolah memberi tanda pada kami.
"Siang, om," sapa Syabi kemudian dan turun menghampiri papa.
Aku di belakang mengikutinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan dua laki-laki beda generasi ini.
Syabi menyalami papa dengan santun, tapi papa membalasnya dingin. "Laiba masuk."
Tanpa menjawab aku mengikuti mau papa. Tapi hanya masuk sedikit melewati pintu. Aku berhenti di jendela dekat pintu. Ingin tahu apa yang akan dilakukan papa selanjutnya.
"Kamu siapa?" tanyanya dingin.
"Syabian, Om."
"Saya gak tanya nama, saya tanya kamu siapanya Laiba?"
"Temen, om."
"Bener?"
"Iya, om," suara Syabi tegas.
"Anak om gak boleh pacaran. Jangan coba-coba kamu ajak anak om pacaran. Dengar?"
"Baik, om."
Papa manggut-manggut. "Gak usah antar anak om lagi. Paham?"
Syabi diam. Tidak ada jawaban tegas seperti sebelum-sebelumnya.
"Kamu dengar tidak?" Bentak papa kemudian.
"Ke- kenapa, om?" Suara Syabi mulai ciut.
"Kamu masih tanya kenapa? Kalian bukan mahram, tidak boleh berduaan, apalagi boncengan, nempel-nempel kayak cecak sama dinding."
Dan aku bukan tidak tahu perihal ini, papa selalu mewanti-wanti aku tidak boleh pacaran, bukan tidak boleh berteman.
Kenapa rasanya sedih kalau besok Syabi tidak mengantarku pulang. Ah, papa gitu amat. Papa sendiri gak bisa jemput aku. Ingin protes tapi takut membuat keadaan semakin rumit.
Akhirnya Syabi pulang. Aku tidak dengar kelanjutan kalimat papa karena sibuk melamun.
Papa hendak berbalik badan dan aku segera berlari ke kamar agar tidak ketahuan kalau tadi menguping.
di dalam kamar, usai berganti pakaian, kurebahkan tubuh lelahku dan mencoba mengirim pesan kepada Syabi.
[ udah sampai rumah?]
[maafin papaku, ya. kamu gak perlu dengerin semua perkataannya.]
masih centang satu. mungkin belum sampai rumah. beberapa menit kemudian pintu diketuk, suara papa terdengar di luar.
"Laiba, papa mau ngomong."
aku bergegas dengan segera membuka pintu.
"Ikut papa ke ruang tamu," tegasnya dan berbalik. Aku pun mengekorinya.
"Papa udah bilang berapa kali, ha? kamu mau jadi anak pembangkang? papa larang kamu pacaran, deket sama laki-laki, itu demi kebaikan kamu. kamu anak gadis, harusnya lebih mudah ngasih pemahaman. kalo gini terus papa kirim kamu ke pesantren. mau?"
Aku tidak berani menatap papa. saat ancaman papa mulai keluar, yang kulakukan hanya menggeleng. entah kenapa aku begitu tidak suka sama pesantren, bagiku terlalu dikekang, tidak bebas, seperti di penjara.
"Laiba," suara papa melembut, membuatku berani mengangkat wajah dan menaptap wajah sendunya.
"Iya, Pa?"
"Kapan kamu mau jadi kayak kakak kamu yang penurut? papa cuma mau kamu jadi anak yang baik."
"Iya, Pa, maaf."
***
usai sidang di ruang tamu, aku kembali ke kamar, berniat mengerjakan tugas fisika tapi rasanya ngantuk sekali. aku tidak suka memaksakan diri terlalu keras, maka aku harus tidur sebentar. kuaktifkan alrm satu jam kemudian sambil mengecek pesan yang kukirim kepada Syabi. ternyata masih centang satu.
dan rasanya aku baru terlelap tapi harus terbangun karena suara berisik dari luar. Suara yang biasa aku dengar, suara yang tidak lagi bikin aku kaget, suara yang tak lagi bikin aku takut, dan suara yang tak lagi ingin aku tahu apa yang menjadi perdebatan.
Aku kembali mengecek hape, berharap ada balasan dari Syabi. Tapi nihil, tetap centang satu.
Heuft. Aku bertekad mengerjakan tugas, namun sebelum itu akan mengisi botol airku dulu.
"Itu akibatnya didikan kamu," suara papa membentak hingga terdengar sampai dapur.
"Aku kan kerja, mas," lirih mama.
"Siapa yang memintamu bekerja? Siapa?"
Rasanya aku teramat bosan mendengar perdebatan yang tidak pernah berubah. Papa yang menyalahkan mamah, tidak mau mengerti mamah, begitupun mamah yang keras kepala tidak mau mengikuti mau papa.
Aku segera kebali ke kamar agar telingaku tidak lagi mendengar perdebatan yang tak pernah selesai itu.
Hah, biasanya kalau sudah begini aku menelpon nenek, menceritakan kejadian siang tadi sampai perdebatan mama dan papa.
Nenek yang selalu menguatkan dan memintaku untuk selalu bersabar, memintaku untuk menjadikan semuanya pelajaran.
"Nek, Laiba rindu."
Kling.
Hapeku berbunyi tanda pesan masuk. Segera kuambil benda kotak itu yang terletak di atas kasur. Kuharap itu dari Syabi, jadi kebiasaan bercerita pada nenek bisa kulampiaskan pada Syabi.
[Lagi dimana?]
.
.
.
.
.
.
.
.
Komennya dong?
Siapa nih yg chat? Balasan syabi kah?
Senin, 16 Mei 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top