3_ Syabian seperti rumus
^
^
^
^
^
^
^
_3_
Peluk Untuk Pelik
Matematika itu penuh rumus teka-teki, tapi aku tetap suka karena pasti ada jawabannya. Meski untuk menemukan jawabannya aku harus muter-muter dulu
–Laiba
Syabi, ternyata kita sudah sedewasa ini, ya, memilih untuk tidak saling memberi kabar hanya karena mencintai diri sendiri. Mencintai hati masing-masing agar tak terluka.
Oh, atau mungkin hanya aku yang menjaga hati diri sendiri, sedang kamu menjaga hati seseorang.
Hhh... alasan klise bukan ketika seseorang di hidup kita ngilang tanpa kabar adalah karena orang ke tiga.
Tapi aku tidak tahu hilangnya kamu perihal apa, apakah sama seperti alasan-alasan klise lainnya? Ada orang baru di hidup kamu?
Kita terlalu lama tak bertemu, bahkan tak bertukar sapa lewat sosmed, aku jarang melihat storymu.
Ah, Syabian, kenapa selalu kamu yang memenuhi hidupku? Sampai-sampai aku sendiri tak memiliki ruang di hidupku.
Katanya seseorang yang benar mencintaimu dia tidak akan menjanjikan apapun hanya untuk membuatmu merasa paling di spesialkan, tapi cukup dia membuktikan dan seolah bilang "aku di sini selalu ada untukmu".
Dan kata-kata itu aku kira hanya kamuflase untuk tidak percaya perihal mencintai, sayangnya kali ini aku benar-benar dibuat percaya.
Berapa janji dan berapa kesepakatan yang akhirnya kamu tinggal, Bi? Apakah berarti aku tidak benar-benar kamu cintai?
Hah, aku terlalu bodoh ya menafsir semuanya dengan cinta padahal kamu tidak pernah berkata "aku mencintaimau, Laiba" haha, bodoh.
Empat Tahun yang Lalu
"Bi."
"Hmmm."
Syabi selalu begitu jawabnya ketika dipanggil, nggak kayak leMineral yang ada manis-manisnya gitu. Pake kata apa atau ya, apa susahnya?
Pengen tak ajarin mangap biar kalo di panggil jawabnya gak cuma ham hem ham hem.
"Syabian," panggilku lagi. Kali ini dia tak menjawab, tapi menatapku dangan tanda tanya sambil mengangkat alisnya. Matanya itu loh, bulet tapi bukan bola.
"Kira-kira diantara kita siapa yang akan meninggalkan?"
Kini pertanyaanku serius. Tahu tempatlah, waktunya serius ya serius, nggak ya nggak, tapi kalau misal ketemu aku yang gak serius saat lagi serius, tolong dimaklumi itu berarti aku sedang khilaf. Eh? Hehe
Syabi lama jawabnya ih, dia masih mikir sambil natap langit. Emang langit bisa bantu jawab?
"Kalau aku bilang tidak ada yang boleh meninggalkan, apa kamu sepakat?"
Aku tersenyum simpul. Apa benar ini yang Syabi inginkan? Uwaahh... kebayang nggak sih kalimat Syabi bikin perut aku melayang, berasa diajak terbang kupu-kupu.
"Kamu serius?" Syabi mengangguk penuh yakin. Ah, laki-laki ini, bukan hanya rupanya yang gagah, tapi hatinya juga.
Rasanya aku ingin segera dewasa dan memilikinya seutuhnya. Tak lama terbesit sebuah ide di batok kepalaku yang nggak pinter-pinter banget ini, tapi bisalah kalau hanya mendampingin seorang dokter.
Iya, katanya Syabian ingin menjadi dokter, jadi nggak masalah sih kalau aku mendampinginya suatu saat, aku juga nggak jelek-jelek banget, masih bisa bersaing sama Puteri Indonesia. Wkwk.
"Aha, gimana kalau kita nikah aja? Yok gas ke KUA."
Saat itu yang kulihat dari Syabi adalah mata bulatnya yang melebar, telinganya memerah, dan sebelah tangannya menggaruk tengkuknya.
"A.. e..."
Dia ingin bicara tapi tatapan matanya berkeliaran. Hahah lucu sekali saat dia salah tingkah begini.
"Syabi kenapa? Kamu mau jawab iya?" tebakku meski aku tahu ini hanya bercanda.
Dan tahu reaksi Syabian bagaimana? Dia semakin salah tingkah bahkan untuk menatap mataku saja dia enggan.
Maka aku semakin mendekatkan diri, menatapnya lebih dekat, dan tentu saja membuat laki-laki berkulit putih ini semakin dibuat absurd.
"Jangan begitu, Laiba?"
"Begitu gimana hmm?"
Satu tangannya menutup mukaku dan mendorongnya perlahan. Aku yang digituin bukannya kesal tapi malah tertawa karena telapak tangannya yang dingin.
"Kenapa ketawa?"
"Aku boleh ketawa lebih keras gak?"
"Buat apa?"
"Boleh apa nggak? Perut aku sakit nahan ketawa."
"Ketawa aja."
Dan benar ketawaku lepas kala itu. Mataku yang merem karena tertawa kubuka sedikit untuk melihat Syabi yang ternyata sedang kebingungan.
"Kamu kenapa, sih?" Tanya Syabi saat tawaku sudah reda.
"Gapapa, lucu aja."
"Siapa?"
"Aku." Dan aku terbahak lagi karena melihat wajah Syabi yang lagi-lagi kebingungan mengangkat kedua alisnya.
Se-sepele itu aku sudah bisa tertawa lepas. Apakah karena hidup aku penuh drama dan kesepian?
Katanya orang-orang yang mudah tertawa dengan hal kecil, tandanya dia kesepian.
Ututu... bukankah di hidup aku sudah ada Syabi?
"Kamu lucu, Bi," sambungku. Kali ini dia tidak menanggapiku, justru mengalihkan wajahnya agar tak terlihat olehku.
"Ih telinga kamu merah, kenapa?" Syabi sedikit terperanjat dan menutup telinganya.
"Pulang, ah, kamu bukannya ngerjain tugas malah ngerjain aku."
Kami benar-benar pulang sore itu dengan Syabi yang tidak banyak bicara dalam perjalanan.
Sampai di rumah Syabi membuka kaca helmnya, dan tentu saja tausiyah pelajaran bersenandung dari bibir tipisnya.
"Jangan lupa kerjain PR-nya nggak usah scroll instagram, awas aja kalau onlen, pelajaran tadi juga di ulang, minggu depan ulangan, besok pagi juga ada kuis matematika."
Tuh, kan? Apa aku bilang? Syabi itu udah kayak mamah kalau udah ngeluarin jurus, bawelnya Maasyaa Allah.
"Laiba, dengar apa yang aku bilang?"
Tapi aku masih diam. Aku melangkah mendekatinya, menjulurkan wajahku agar lebih dekat menatapnya hingga membuatnya salah tingkah kemudian aku tertawa setelahnya.
"Iya bawel....," ucapku menekankan kata bawel dan menutup kaca gelapnya.
"Kuis matematika, ya?" Helm besar di depan aku bergerak ke atas ke bawah, kayak ulat polisi aja kalo lagi gerak-gerak. Haha.
Syabi membuka lagi kaca gelapnya dan bertanya, "kenapa?"
"Gak papa, suka aja."
Dan Syabi hanya terdiam tak ingin menanggapi, justru tangannya bergerak hendak menutup kaca helemnya lagi.
Dan sebelum kaca itu ditutup, aku ingin bilang sesuatu.
"Kamu tahu, Bi?" Syabi benar-benar urung menutup wajahnya dengan kaca, dan kedua alisnya naik seolah bertanya 'apa?'
"Kenapa aku suka matematika." Syabi menggeleng.
"Aku cuma mau bilang ini sekali sama kamu, dan gak akan aku ulang lagi." Jeda. Aku mencoba meraup oksigen lebih banyak, hatiku rasanya nggak siap.
"Heuft. Mungkin ini gak penting buat kamu, tapi ini penting banget buat aku dan cuma pengen kamu tahu."
"Jangan berbelit-belit, Laiba," gerutunya. Gagal deh drum yang dari tadi di jedor-jedor dalem dada gara-gara Syabi.
Maka yang ingin kuucapkan sepertinya harus kubelok dikit. Ah, Syabi gak asik.
"Kamu tahu, matematika itu seperti seseorang yang kehadirannya di hidup aku penting banget.
"Matematika itu penuh rumus teka-teki, tapi aku tetap suka karena pasti ada jawabannya. Meski untuk menemukan jawabannya aku harus muter-muter dulu."
Dengan tiba-tiba kututup kaca helm gelap milik Syabi dan mundur dengan cepat.
"Udah sana pulang, jangan lupa ke masjid solatnya," teriakku sambil berbalik.
Syabi hanya mengangguk sebagai jawaban dan menyalakan mesin motornya, lalu dia menghilang dari pandangan ditelan jalan.
Dipikir-pikir apa yang aku ucapkan tadi agak gak nyambung gitu ya, udah pasti Syabi kebingungan. Heuft.
Andai kak Bila tahu bahwa di Duniaku ada laki-laki selain papa yang begitu baik padaku. Rasanya aku tak ingin merubah fase di mana rasa bahagia yang aku tak pernah definisikan ini surut.
"Assalamualaikum, Mah."
"Laiba, bisa tidak kalau tidak teriak? Telinga nenek belum budek."
Aku kaget. Di sofa depan TiVi ada perempuan lanjut usia yang sedang duduk menatapku tajam, tapi aku tahu dibalik tatapan tajamnya itu ada sayang luar biasa untukku.
"Nenek?" Sapaku kaget. "Kapan dateng?" Tanyaku antusias dan segera berhambur memeluknya. Tentu saja tatapan tajam yang tadi hanya candaan.
Kata nenek, aku yang paling ramai di keluarga ini, jadi, kalau ada aku bakalan rame, kalau nggak ada bakalan sepi. Uhuy, sepenting itu hadirku. Kata nenek, sih. Hehe.
Kalau kata mamah, sih, aku kelewat bawel, sampe burung cinta yang orang-orang sebut Love Bird dikalahin.
Gak tahu ya, kenapa yang namanya mamah sama anak perempuannya kebanyakan nggak sefrekuensi, tapi yang paling mengerti.
Eh, balik lagi, aku masih di pelukan nenek yang hangat dan bau khas perempuan lanjut usia. Apa kelak bauku akan seperti ini ya?
Segera kugelengkan kepala, dan bilang pada diri, 'usia nggak ada yang tahu'.
"Nenek kapan dateng, ih? Kok nggak bilang-bilang Laiba, kan Laiba bisa jemput," gerutuku manja. Tentu saja aku adalah cucu nenek paling manja, kalau aku nggak manja, nenek kangen katanya.
"Tadi siang."
Dan larutlah sore itu hingga adzan menjelang malam yang mulai pekat. Aku sengaja meminta nenek untuk tidur bersamaku, agar rindu ini terlepas, beban ini terhempas.
"Nek?"
Nenek menatapku dengan sendu, netra yang terbungkus kulit keriput itu mulai menggenang.
Aku tahu nenek tidak merespon panggilanku, tapi aku tahu diamnya untuk menungguku agar bercerita.
"Tiap hari Laiba liat papa mamah tengkar, nek. Hhh, Laiba capek."
Nenek mengusap rambutku yang tak terbungkus kerudung dengan lembut, lengannya yang mulai keriput itu mengikuti.
"Andai Laiba sepintar kak Bila, udah pasti ngikut jejak kak Bila ambil kelas axel dan tinggal di asrama."
Lama sekali nenek tak menanggapi, atau bahkan memang tak ingin menanggapi, dia justru memintaku untuk tidur lebih cepat tapi aku tolak karena ingat bibir tipisnya Syabi yang bawel kalau udah menyangkut perihal tugas.
"Cucu nenek kenapa senyum-senyum sendiri? Kayak orang gila."
Tiba-tiba bayangan Syabian menghilang karena suara nenek. Ah, nenek gak asik ih, bikin Syabi pergi dari pikiranku. Lagian kenapa senyum Syabi manis banget sih, bawel pun dia manis, marah-marah manis. Aaa, bisa-bisa aku beneran kayak orang gila kata nenek.
"Ih nenek, masa cucu cantiknya disamain sama orang gila."
Gak ada tanggapan dari nenek, beliau hanya tersenyum lalu membiarkan waktu untuk bersamaku. Aku harus belajar seperti kata Syabi, besok sudah pasti dia bikin kuis secara pribadi.
Terkadang aku kesal pada Syabi yang nggak membiarkanku untuk bermalas-malasan, tapi aku juga bersyukur karenanya nilaiku tidak buruk. Seenggaknya mamah tidak terlalu kecewa sama anak gadisnya yang katanya nakal.
Setelah mengulang pelajaran, aku membaringkan tubuh di samping nenek, memeluk guling perlahan karena takut mengganggu tidur nenek
Tadi pas belajar mataku udah sepet banget, tapi kenapa pas meluk guling gk ada kantuk-kantuknya? Yang ada pikiran aku malah terbang ke masa depan, masa yang akan membawaku pada dunia yang hanya berisikan Syabi dan aku. Ah, bahagianya.
Pukul duapuluh dua lewat tigapuluh empat, tapi nataku juga belum di serang kantuk. Karena ini salah satu kebiasaanku yang tidurnya lebih larut kemudian besok akan bangun terlambat, maka kali ini aku tidak ingin kebiasaan ini berlanjut.
Kupaksakan mata ini terlelap sesudah membaca tiga jenis qulhu yang rasulullah anjurkan, kubawa bibir ini membacakan shalawat nabi agar berfaedah. Tapi, tak lama kemudian kasur bergerak. kubuka mata sedikit, dan ternyata nenek yang bangkit. Aku tebak beliau ke kamar mandi.
Usai dari luar, nenek tidak langsung membaringkan tubuhnya, justru beliau masih mengusap kepalaku seperti menina bobokkan anak kecil.
"Laiba, kelak kau harus jadi perempuan tangguh yang kuat berdiri diantara banyaknya badai. Harus bisa bersandar pada diri sendiri."
Apa maksud nenek? Kenapa? Kenapa harus bersandar pada diri sendiri?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top