BAB 7: TINA
Tina sedang makan di rumahnya, mendadak ada suara dentuman kencang di langit. Tina bingung, ada apa. Ia pun menuju ke belakang. Tidak ada apapun.
Tina kemudian berpikir, apakah ada orang yang iseng dengannya malam-malam seperti ini. Ia pun memutuskan untuk melanjutkan makan. Sampai ada sebuah berita di grup, katanya Rio meninggal dunia.
Meninggalnya Rio sudah jelas membuat terkejut Rio. Ketika diperiksa, tubuh Rio katanya mengandung racun ular dan juga mengandung cairan telur yang entah dapat dari mana.
Tina langsung ke rumah Rio. Cerita yang ia dengar, Wanda, teman ibunya menemukan Rio meninggal di rumahnya. Wanda juga bingung mengapa bisa Rio masuk ke dalam rumahnya sementara kunci ia yang pegang.
Entah mengapa semua orang berpikir hal-hal yang mistis, tetapi tidak dengan Tina. Tina tidak memikirkan hal-hal yang mengerikan tentang Rio.
"Mungkin sudah takdir Rio," ucapnya ketika melayat.
Kejadian kesurupan tempo hari juga tidak membuat ia berpikir kalau apa yang terjadi dengan Rio dan Bu Midah adalah sesuatu yang mistis. Ia tidak mau dihinggapi oleh pikiran yang tidak-tidak. Ia bukan penikmat cerita yang penuh takhayul.
Ketika melayat, ia tidak menemukan Rini dan Angkasa, tidak ada kabar apapun mungkin yang mereka dengar, pikirnya. Seharusnya mereka tahu dengan kondisi Rio yang sudah meninggal dunia, nyatanya ini pun tidak ada kabar. Ponsel mereka berdua mati mungkin.
Tina pulang dengan keadaan yang bisa dibilang sedih, namun ia mencoba mengkuatkan hati dengan meninggalnya teman sekelasnya. Ia mencoba berpikir postif.
Mendadak ketika sampai di rumah sudah ada ayahnya yang memasak. Entah mengapa tumben sekali ayahnya memasak makanan. Tina pun berjalan mendekati ayahnya.
"Bagaimana temanmu?"
"Bagaimana ayah? Dia meninggal. Rio meninggal.
"Keluarganya bagaimana?
"Sedih sekali, kasihan keluarganya, Tina kasihan melihat keluarga Rio."
"Kamu makan dulu. Ayah mau putar musik."
Ayah Tina memutar musik. Entah musik apa yang ia putarkan namun kepala Tina mendadak menjadi pusing. Ada sesuatu yang aneh yang tidak bisa dijelaskan Tina. Tina seperti susah untuk makan.
Ayah Tina keluar kamar dengan sebuah tudung hitam. Ayah Tina menari-nari di depan pemutar musik. Ia lepaskan segala beban di kepalanya dengan menari.
"Ayah kenapa menari?"
"Ayah ingin menari. Ayah sedang senang sekali. Hahaha!" tawanya keras.
Tina malah tambah bingung dengan sikap ayahnya, mengapa ia menari-nari seperti orang kesurupan. Tubuhnya seperti ada yang mengendalikan. Lebih tepatnya ayah Tina seperti orang yang sedanv kesurupan.
"Sembahlah setan Tina. Ya Setan Ya Setan."
Ayah Tina memeluk Tina, ia cumbui putrinya. Ia cium dan lumat bibirnya. Ia mengakak sejadi-jadinya.
"Ayah sudah gila! Tina ini anak ayah. Kok Ayah mesum sekali! Seperti gadun di hotel!" umpat Tina.
"Ayah. Ayahmu?!" Ayah Tin malah tertawa keras.
"Apa ini?!"
"Aku bukan ayahmu! Ayahmu sudah kuikat!" Dia sedang ada di kamarnya. Mulutnya berbusa penuh darah ketika aku menyamar menjadi tetangga sebelah. Aku cium dia!" tawa terdengar jelas, wajah ayah Tina berubah menjadi Arlin.
"Lo siapa?"
"Gue pacar Angkasa! Pertanyaanya ada urusan apa gue sama lo kan? Urusannya karena lo teman Martin, teman Rio, dan Rini!"
"Lo setan?"
"Hahaha! Gue manusia ular dan gue adalah lonte yang suka dipake sama Angkasa!" tawa Arlin keras.
"Suara lo berisik! Mau lo apa?!"
"Masih nanya? Gue tuh mau bunuh lo! Lo tahu nggak! Telur yang lo makan itu adalah telur beracun!" ucap Arlin.
Tina jatuh, tidak kuat menahan racun yang perlahan mulai keluar dari mulutnya. Tina berlari ke arah kamar. Di sana ia temukan ayahnya diikat dengan keadaan tanpa busana dipenuhi dengan ular-ular kecil. Ular-ular kecil itu berubah menjadi para wanita yang memeluk dan mencium jasad ayahnya.
Tina berlari ke kamar mandi, sebelum ia mati. Ia berdoa ketika masuk kamar mandi lalu meminum air keran.
Arlin yang di luar langsung berteriak. Arlin melihat Tina tidak mati namun berangsur-angsur pulih.
Arlin memutar otak, tidak ada jalan ia pun berlari, meninggalkan rumah Tina. Tina langsung berlari hendak menyelamatkab ayahnya namun telat ayahnya sudah tewas dipatuk ular.
***
Angkasa pulang ke rumah, ia baru saja sampai dan tak menyangka bila ada Rini yang berdiri di depannya.
"Eh, ngapain lo ke sini hah?! Jangan bilang lo mau ngewe sama gue! Nggak! Gue udah ngewe sama Arlin! Lo mending pergi deh!" usir Angkasa dengan kasar.
"Angkasa! Kenapa harus seperti ini terus?! Kamu jangan gila dong!" teriak Rini.
"Gila?! Aku nggak gila! Kamu yang gila! Kamu yang tidak mengerti aku! Maunya ngatur saja! Perempuan goblok kayak lo mana ngerti soal gue! Soal cinta! Ngelantur lo! Dasar lo ya!"
"Ini aku lagi abis baca grup, Rio meninggal!"
"Rio?! Rio meninggal? Yang benar lo? Jangan bercanda. Tapi biar saja, dia itu tukang halusinasi, buktinya dia suka kesurupan."
"Jangan begitu! Dia itu teman kita! Kamu kayaknya nggak peduli ya! Kayaknya kamu tuh selingkuh ya? Siapa itu tadi? Arlin?"
"Lo tuh banyak bicara ya! Selalu saja cerewet! Mana ada laki-laki yang mau betah sama lo?!" Angkasa menarik tangan Rini lalu menamparnya dengan keras.
"Dosa apa gue punya pacar kayak lo! Beloon! Lo beloon!" teriak Angkasa keras.
Rini menangis begitu tangan Angkasa menjambak rambut Rini. Rini berteriak sekencang-kencangnya. "Kenapa? Minta ampun? Baru begini lo nangis lo! Aduh goblok banget lo jadi orang!" Angkasa mendorong tubuh Rini ke tanah. "Gue pengsn minum! Lo pergi sana!" bentak Angkasa keras.
Rini menangis, lalu ponselnya pun berdering.
"Halo, Tina ada apa? Rio meninggal!"
"Bokap gue dibunuh ular. Manusia ular katanya pacar Angkasa. Arlin namanya!"
"Ular?"
" Dia yang bikin kekacauan dari kemarin. Dia yang sudah membunuh teman-teman kita!"
"Ya, Tuhan, kenapa bisa seperti ini?"
"Aduuh di mana sekarang Angkasa! Gue perlu ketemu. Di sini gue lagi ada sama tetangga. Jangan khawatir, mereka yang membantu pemakaman semuanya. Gue bisa ninggalin sementara waktu."
"Cepat ya, Angkasa sudah mulai menggila, takut gue dipukul lagi sama dia lagi."
"Apa? Dia mulai main tangan sama lo? Gila juga dia!"
"Yang penting lo cepat ya ke sini. Tolong sekali lo harus cepat."
"Gue akan segera cepat!"
Telepon pun ditutup, Rini masuk ke dalam rumah Angkasa. Angkasa sedang minum minuman keras. "Lo mau? Gratis buat lo nih!" Angkasa menawarkan kepada Rini. Rini menolak.
"Eh, ini anak belagu ya! Sok nolak!-nolak!" teriak Angkasa. "Ini minuman mahal! Lo ditawarin ini harus bersyukur! Bersyukurlah kepada setan! Setan berikan kita kehidupan! Wahai Setan Wahai setan!"
Petir menyambar, Angkasa menari-nari seperti orang kesurupan. Angkasa tertawa-tawa. Ia berkumur dengan minuman keras lalu menyemburkannya kepada Rini.
Rini kesal, wajahnya terkena minuman keras. "Buang Angkasa! Buang! Itu gak ada gunanya!"
Angkasa mulai muak, ia lempar botol minuman keras ke tembok. "Lo maunya apa sih?! Selalu saja bikin masalah sama gue! Gue nggak suka dengan sikap lo! Gue mau bersenang-senang?"
Angkasa menarik tubuh Rini ke dekapannya, ia mencium rambut Rini dengan penuh nafsu. Ia cium kepalanya, lalu ia paksa Rini mencium bibirnya.
Rini berontak, ia mencoba melepaskan diri. Ia tendang kursi. Ia ambil kursi dan ia lemparkan kepada Angkasa.
"Perempuan tak tahu terima kasih!" Angkasa mencium leher Rini dengan nafsu tak terkendali. Tangan Angkasa masuk ke dalam pakaian Rini. Ia memegang tubuh Rini, ketika ia meremas payudara Rini. Rini memukul kepala Angkasa.
"Sakit Angkasa!"
"Dasae bodoh!"
Suara langkah kaki terdengar jelas, Tina endadak muncul.
"Lo lakuin apa? Lakuin apa ke Rini?!" Tina mulai kesal.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top