BAB 6: RIO
Kesurupan yang dialami Rio mengingatkannya kepada Martin. Ia bertanya-tanya apakah temannya disiksa setan sehingga ia tewas? Apakah setan ular yang membunuhnya?
Ia pun nekat, sepertinya ia harus menghampiri ibunya Martin. Sudah beberapa minggu berlalu, kini ia memutuskan untuk mencari tahu apa yang terjadi.
Rio mengetuk pintu rumah Martin. Ibunya Martin membuka pintu rumah, ibu temannya itu tersenyum kepada Rio. "Eh, Nak, masuk dulu." Ibu Martin mempersilahkan Rio masuk. Rio pun duduk di sofa dan mencoba bersantai.
Ibunya Martin menyediakan sebuah teh hangat untuk Rio. "Tante, maaf mau tanya. Bagaimana kronologi waktu Tante menemukan jasad Martin?"
Ibunya Martin menghela napas, ia mencoba menyiapkan jawaban.
"Tante sama Oom waktu itu menemukan tangannya terentang ke atas. Tante sama Oom hanya bisa menangis waktu itu karena benar-benar kami terkejut."
"Kami memanggil dokter dan ia memeriksa racun ular di busa Martin. Martin benar-benar meninggal. Tapi entah kenapa diikat tangannya."
"Maaf bukannya saya lancang, tapi kok saya ngerasa ular tersebut jadi-jadian."
"Apa kamu ini?! Tidak mungkin. Pasti ada lawan bisnis kami yang nggak suka dengan keluarga kami. Bapaknya Martin kan usaha macam-macam!" ucap ibunya Martin tersinggung.
"Soalnya begini Tante, tadi pagi ketika di sekolah saya kesurupan. Saya ngerasa tangannya saya memegang ular. Tidak hanya itu, Bu Midah, guru kami juga kesurupan. Mengerikan sekali."
"Kalau kesurupan mungkin kalian kurang berdoa. Tante jujur saja tidak percaya dengan cerita-cerita seperti itu. Itu hanya takhayul bagi Tante. Tidak ada manfaatnya memikirkan hal-hal gaib yang aneh." ucap ibunya Martin.
Karena perasaan Rio tidak enak, ia kemudian memutuskan pamit. Jujur ia bingung harus bagaimana meyakinkan ibunya Martin yang tidak percaya dengan hal gaib.
Rio menuju ke mobilnya. Ia tidak sadar kalau dari kejauhan, sesosok wanita sedang melihatnya dari jauh.
Rio menaiki mobil menuju ke sebuah restoran. Rio sangat lapar dan ingin sekali makan. Sudah lama ia tidak makan kentang. Ia harus mengisi perutnya dengan minuman juga. Ia memesan teh dingin dan es krim sebagai pelengkap.
Rio kemudian membawa makanan ke salah satu meja, ia terkejut melihat ada Rini di meja lain.
"Rini, sendiri aja? Angkasa ke mana?"
"Angkasa lagi di rumahnya mungkin. Kita nggak sempat ketemuan lagi semenjak pulang."
Rio merasa aneh namun ia tidak mempunyai urusan apapun tentang hubungan mereka berdua. Ia pun langsung meminta izin duduk di hadapan Rini.
Rini pun mempersilahkan Rio duduk. Rio langsung penasaran dengan pendapat Rini. "Rin, gue ngerasa kematian Martin itu aneh. Seram banget ada bisa ular sementara tangannya terentang diikat gitu. Menurut lo ini ada hubungan dengan kesurupannya gue ga? Apa ada teror di sekolah?"
Rini meminum minumannya, lalu ia mulai berbicara. "Menurut gue sih, ini janggal banget, tapi nggak mungkin kita cepat-cepat ambil kesimpulan. Bahaya banget buat kita. Ngeri. Bu Midah bisa marah kalau tahu."
"Masalahnya Bu Midah juga kesurupan. Gue aja kayak dicekik gitu rasanya terus nggak tahu apa-apalagi setelah acara kerasukan itu. Gue benar-benar dikendalikan penuh."
"Nasehat gue buat lo, Ri, lo mending diam dulu. Kalau perlu lo bicarain sama Angkasa juga. Sama Tina juga."
"Iya, gue takutnya Angkasa bisa marah kalau gue gerak sendiri. Oh ya, lo kok mukanya takut gitu?"
"Gue ngerasa seram juga sih tahu cerita itu. Pasti ibunya Martin sedih banget."
"Tadi gue baru ke rumahnya, ceritain soal pendapat gue ke ibunya. Ibunya marah sih."
"Ya jelas marah, setahu gue ibunya Martin itu logis banget. Nggak mungkin percaya dengan hal-hal seperti itu. Kami berdua tahu banget ibunya Martin seperti apa. Wajar kalau beliau teekejut banget dengan cerita lo."
"Gue jadi nggak enak, tapi bagaimana lagi. Memang itu yang gue rasakan."
"Ya sudah, yang penting lo hati-hati." ucap Rini.
Mereka pun makan bersama, sampai tak terasa hari sudah malam. Rio pun pamit karena ada keperluan.
Rio tidak pulang, ia ke rumah Wanda, teman ibunya. Mereka sudah pacaran diam-diam sejak lama. Mereka janjian mau ketemu di rumah Wanda. Rio sampai di rumah Wanda dengan wajah sumringah karena pemilik rumah sudah pulang dari kerja.
Rio masuk ke dalam rumah, ia memeluk Wabda ketika Wanda menyambutnya. Wanda sudah menyiapkan sirup untuk mereka berdua.
"Sayang, duduk dulu." ucap.Wanda. Wanita berambut hitam sebahu itu memberikan gelas kepada Rio. Rio pun tersenyum. Ia meminum sirup berwarna merah muda.
"Sayang, kamu gimana kabarnya?"
"Baik, ya sempat kerasukan di sekolah."
"Tapi nggak apa-apa kan?"
"Nggak apa-apa, tenang saja."
Ketika mereka berdua minum, Wanda sengaja memancing Rio. Ia siram lehernya dengan sirup yang ia genggam. Rio terkejut. Wanda langsung menatap Rio. Ia ambil gelas Rio. Ia buka pakaian basah yang ia pakai hingga tampak beha putih yang ia kenakan.
"Sayang, aku mau kamu." Wanda langsung mencium bibir Rio. Wanda mencengkeram pakaian Rio lalu melepasnya. Tenaga Wanda sangat kuat. Ia rasakan kulit tubuh Rio.Wanda tersenyum penuh dengan manja di hadapan Rio.
"Aku sudah menginginkanmu sejak dulu Wanda." Rio membalas ciuman Wanda lalu melumati buah dada Wanda yang tertutupi beha. Mereka saling berbagi napas, berciuman. Rio mendudukan Wanda di meja, sementara keduanya masih berciuman. Keduanya tenggelam dalam kemesraan, Wanda menikmati permainan Rio dan ia pegang pantat Rio ketika Rio menciumi leher dan bibirnya.
Mereka berciuman sampai Wanda mendesis. Ketika Wanda mendesis, mata Wanda berubah menjadi tajam, behanya yang putih berubah menjadi motif ular. Rio terkejut.
"Kamu?!"
"Kenapa? Kaget?! Aku bukan Wandamu. Aku Arlin, Wandamu masih di kantor. Aku yang bunuh Martin!" ucap Arlin.
Rio kaget bukan kepalang, Arlin mendesis, Arlin menaksa Rio berciuman dengannya menggunakan suara Wanda. Ia semprotkan racun ke bibir Rio ketika ia melumati bibir Rio. Tangannya ia masukkan ke dalam celana Rio. Ia pegang kemaluan remaja itu. Seketika kemaluan Rio sakit, membesar lalu menumpahkan cairan telur. Rio terbatuk. Ular-ular kecil keluar dari mulutnya.
"Kenapa, Sayang?"
Rio tidak tahan, ia lepaskan celananya, lalu ia terjatuh. Arlin memukul tubuh Rio dari belakang lalu menjilati lehernya. Ia pun berubah jadi ular dalam sekejap lalu mematuk leher Rio. Rio berteriak, busa dan darah keluar hingga ia tak bernyawa.
***
Angkasa tidur di kamarnya, lalu ada telepon berbunyi, itu adalah telepon dari Arlin. Angkasa langsung mengangkat.
"Ada apa Lin?"
"Aku kangen. Ayo datang ke sini. Aku kirim alamatnya."
"Oke, Lin."
Angkasa menutup teleponnya lalu menuju ke sebuah tempat, ternyata Angkasa diundang Arlin ke sebuah tempat, itu adalah danau yang penuh dengan darah. Ada beberapa penjaga bertudung hitam di sana. Ia disambut dengan meriah.
Arlin sudah siap melakukan ritual, wanita berpakaian beha motif ular itu memegang tangan Angkasa, seperti terhipnotis Angkasa masuk ke dalam danau berdarah. Mereka pun berenang di sana.
Arlin memandikan tubuh Angkasa dengan darah. Angkasa seperti melayang-layang. Arlin mencium bibir Angkasa. Mendadak ada hujan darah. Entah bagaimana Angkasa melihatnya dengan senang gembira. Ia merasa seperti anak kecil yang bertemu dengan hujan. Hujan-hujan itu melesat masuk ke dalam pori-porinya.
Arlin dan Angkasa teeus-menerus berenang hingga puncak malam bulan purnama. Arlin terus mengajak Angkasa berenang. Mereka bermesraan di kolam.
"Kamu harus tahu, aku lebih hebat dari kekasihmu."
Arlin dan Angkasa terus -menerus bercumbu. Arlin memeluk tubuh Angkasa yang berada di dalam air, menciumi bibir dan lehernya. Ia benar-benar ingin menguasai Angkasa. Angkasa harus ada di dalam kendalinya, tidak boleh ada yang mencintai Angkasa selain dirinya, namun di sisi lain ia hanya memanfaatkan remaja tersebut untuk meraup keuntungan. Arlin menciprat-cipratkan darah ke wajah Angkasa. Arlin melihat wajah Angkasa yang bermain-main dengan darah. Darah yang Arlin sediakan di kolam adalah darah-darah para bayi yang ia dapatkan dari sebuah posyandu. Posyandu tersebut ia hancurkan dengan kekuatannya. Setelah ritual mandi selesai, Arlin mempersilakan Angkasa untuk pulang, Angkasa pun pulang dengan keadaan pusing dan merasa dirinya tak terkendali.
Di sebuah rumah, Rini sedang melihat berita, ia lihat ada berita tentang posyandu yang hancur, di sana diceritakan posyandu tersebut terbakar. "Kasihan banget!" ucap Rini.
Rini tiba-tiba teringat Angkasa, ia menekan tombol telepon di ponselnya, ia mencoba menghubungi Angkasa namun tidak ada jawaban sama sekali, ia merasakan pikiran kenapa Angkasa sedang berselingkuh dengan perempuan lain, namun ia buang pikiran tersebut jauh-jauh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top