BAB 4: RITUAL
Suara duka di rumah Martin terdengar sangat jelas, Angkasa masuk ke dalam rumah Martin dengan wajah sendu. Rasanya baru tadi ia bertemu dengan Martin di sekolah. Kini Martin telah meninggal dunia.
Ibu Martin tampak tersedu-sedu. Jiwanya seperti meronta melihat jenazah putranya yang ditutupi dengan kain kafan. Martin tampak pucat.
"Martin, jangan tinggalkan ibu, Nak. Aduuh kenapa bisa ada ular di rumah kita. Kenapa ini terjadi. Tuhan, Engkau sangat berengsek! Kenap kau mengambil anakku!" umpatnya.
"Ibu, jangan berkata demikian." Suaminya memberi peringatan.
"Pokoknya jahat! Tuhan sudah jahat!" umpat ibunya Martin lagi.
Kakak-kakak Martin juga tidak menyangka adiknya meninggal dengan cara seperti ini. Ular tidak pernah ada di rumah ini. Tiba-tiba ada ular datang dengan teganya membunuh adik kesayangan mereka.
"Kenapa kejadiannya seperti ini?" tanya Angkasa. Ibunya Martin menggeleng, ia tidak juga bisa menjawab. Angkasa memandang wajah ibunya Martindengan wajah sedih. Sungguh mereka sedang dalam keadaan berduka.
Angkasa lalu keluar sebentar menelepon Rini. Ia meminta Rini agar segera ke rumah Martin.
"Rini, Martin meninggal! Cepat ke sini!" ucap Angkasa setengah berbisik.
"Kapan meninggal?!"
"Sudah, cepat ke sini. Jangan banyak tanya!"
"Oke, aku ke sana."
Angkasa kembali masuk, ia mendekati jenazah Martin. Wajahnya tampak biru, seperti digigit ular namun tidak ada yang tahu jenis ular apa yang menggigit Martin.
"Aduh, kenapa lo ninggalin kita sih Tin. Meninggal dalam keadaan begini." Angkasa mulai menangis melihat wajah Martin yang membiru.
"Maafkan Martin ya, Angkasa. Kasihan sekali anak ibu ini. Dia baik, nggak pernah aneh-aneh dan sekarang dia ninggalin kita semua."
"Jujur, saya bingung dengan keadaan ini. Apa maaf sebelumnya di komplek ini benar-benar bebas ular?"
"Demi Tuhan, Angkasa! Tidak ada satu pun ular di rumah kami. Di komplek pun tidak ada. Aduh tante bingung kenapa ada ular."
"Yaah, mungkin ini sudah takdirnya Tante. Aneh memang. Saya lihat juga kebunnya di rumah Tante rapi, tidak tinggi-tinggi.
"Anehnya kok bisa Angkasa tewas dengan keadaan terlentang ke atas."
"Terentang ke atas?"
"Seperti disiksa!
"Disiksa?"
Beberapa pelayat ada yang menguping, mereka langsung berbisik-bisik sendiri.
"Anaknya dibunuh?"
"Nggak tahu, apa sih, Nggak paham. Mungkin ibunya sinting, mana ada Martin begitu. Kecuali nih ya Bu, kalau Martin bunuh diri. Minum obat nyamuk." ucap ibu-ibu yamg sedang berbisik.
Angkasa mendengarnya tidak nyaman, ia menggaruk-garukan kepalanya. Ia menghampiri ibu-ibu yang sedang bergosip ria. Menegur mereka.
"Bisa nggak, nggak usah ngomong seperti itu di suasana duka seperti ini?"
"Ah kamu seperti nggak tahu ibunya Martin. Dia kan galak. Pasti teman kamu itu bunuh diri pake obat nyamuk."
"Sudah Bu! Anak saya baru meninggal sekarang bicara yang nggak-nggak. Kalau nggak ikhlas ngelayat anak saya. Jadiin anak saya bahan gosip! Mending kalian semua bubar saja!" Ibunya Martin tidak ikhlas dengan ucapan mereka. Gunjingan yang tidak berdasar mereka tega bicara seperti ini di saat meninggalnya anaknya.
Mendadak Rini datang ketika keributan terjadi. Angkasa memberi kode kepada Rini untuk masuk ke dalam. Sementara ibunya Martin masih berdebat dengan ibu-ibu.
"Ibu-ibu kenapa?"
"Biasa ngegosip. Udah nggak usah banyak tanya. Kamu berdoa buat Martin."
Angkasa keluar rumah, mrncoba menghubungi teman-temannya untuk datang ke rumah Martin. Mereka sontak terkejut dengan kabar itu. Kabar yang tidak diduga-diduga datang.
Beberapa dari mereka yang dekat dengan rumah Martin segera datang dan tiba dengan cepat.
Angkasa berbicara dengan beberapa teman, mereka mengobrol. "Kenapa tuh anak meninggalnya?"
"Digigit ular."
"Kenapa gitu ya? Ngeri juga ya. Digigit ular. Dia main di semak-semak apa gimana sih?" tanya Rio.
"Eh, teman lo meninggal, masih aja mikir jorok," timpal Tina.
"Iya, maaf," balas Rio.
Malam itu penuh dengan duka, hati Angkasa tidak bisa fokus, jiwanya menjerit karena Martin, temannya meninggal dunia. Mulai hari itu dan beberapa hari ke depan ia tidak punya pegangan, cintanya terhadap Rini juga sudah luntur. Suatu malam, ketika berjalan di tepi jalan sendirian, Angkasa terkejut karena mendadak ada Arlin di hadapannya. Wajahnya tampak sensual.
"Kamu ngapain di sini?"
"Aku, lagi berduka."
"Kenapa, Sayang?" tanya Arlin memegang tangan Angkasa yang sedang cemberut.
"Temanku meninggak, dia digigit ular," jawab Angkasa. "Aku punya perasaan ia juga dibunuh, kata ibunya ia ditemukan tewas dengan tangan ke atas."
"Heem, malangnya. Ayo, ikut bersama aku."
"Ke mana?"
Arlin tidak memberikan jawaban, ia tatap mata Angkasa, ia ciumi bibir Angkasa, ia mainkan lidahnya ke dalam lidah Angkasa. Ada minyak yang ia oleskan ke lidah Angkasa. Angkasa pun menurut lalu mengantarkan ia ke markas sekte di mana Arlin bernaung. Ketika mereka sampai di dalam markas, Angkasa dan Arlin pun turun dari mobil. Di sana sudah menunggu beberapa orang memakai tudung hitam. Mereka mengantarkan Angkasa dan Arlin ke ruang ritual.
"Sayang, kita lakukan ritual malam ini. Kamu akan menjadi pangeranku. Ingat, habis ini kamu harus membayarku."
"Iya," Angkasa membalas dengan senyuman.
Di ruang ritual duduk seseorang yang siap bermain piano. Piano pun dimainkan. Arlin dan Angkasa berhadapan. Arlin menari di hadapan Angkasa. Beberapa penyanyi paduan suara langsung bernyanyi.
Ya Iblis
Kami meminta uang
Kami butuh uang
Masuk ke dalam birahi
Birahi
Oo Birahi
Arlin menari di depan Angkasa dengan mulai berlenggak-lenggok sedikit, jaket yang ia pakai . Arlin memakai beha dan celana dalam bermotif ular, ia mulai mendesis. Angkasa juga ikut menari-nari. Keduanya saling menghantam diri mereka dengan tarian. DI tengah-tengah tarian, Angkasa melepas pakaiannya, mulai bagian atas kemudian bagian bawah. lalu ia jilati leher Arlin. Arlin menarik leher Angkasa dalam pelukannnya. Ia berdansa dengan Angkasa melalui tarian ular. Mereka saling berpelukan.
Angkasa menciumi bukit kembar Arlin yang ditutupi beha bermotif ular itu. Angkasa sungguh mabuk terhadap Arlin malam itu. "Arlin," panggilnya dalam desah, sementara para penyanyi paduan suara terus-menerus bernyanyi. Angkasa dan Arlin terus menarik. Arlin memegang pantat Angkasa, membuat ia rapat dengan tubuhnya. Angkasa menelan ludah lalu terus-menerus menciumi Arlin. Keduanya saling melumat.
Arlin pun melepas pelukan, ia menari tarian ular, lalu dirinya berubah bentuk menjadi ular derik. Angkasa mulai di ambang kesadarannya. Ia ambil ular yang ada di hadapannya, lalu ia mainkan. Angkasa yang tanpa busana itu memainkan ular derik. Bagi orang awam, akan sangat menakutkan memainkan ular jenis ini, namun tidak dengan Angkasa, ia menari dengan ular itu, menciuminya dengan mesra. Musik terus-menerus bermain dengan tempo yang sangat cepat. Angkasa terus menari hingga musik berhenti.
Arlin berubah menjadi manusia kembali. Ritual ditutup dengan pemberian cawan berisi darah oleh seorang anggota sekte, mereka berdua minum darah.
"Malam ini, kamu milik aku. Semua uang yang ada di dompet kamu adalah milikmu," ucap Arlin.
Angkasa mengangguk.
Arlin mendorong Angkasa ke sebuah ruangan, di sana sudah ada kasur yang sangat besar. Arlin mendorong Angkasa ke atas kasur, ia meliuk-liuk di atas Angkasa. Arlin berubah menjadi ular kembali. Angkasa memeluk tubuh Arlin yang menjadi ular. Keduanya memadu cinta. Di tengah-tengah percintaan Arlin berubah menjadi manusia kembali lalu memeluk Angkasa dengan manja. Sesekali mereka berciuman malam itu, berbagi kehangatan.
***
Rini benar-benar khawatir, Angkasa sudah tidak mau menemuinya beberapa hari ini. Diajak jalan tidak mau, diajak makan pun tidak lapar katanya. Rini mengerti Angkasa sedang berduka, namun tidak pernah ia sampai seperti ini, marah atau kecewa dengan keadaan. Angkasa benar-benar tidak bisa ia jangkau lagi. Sungguh dirinya seperti dicampakkan oleh Angkasa. Benar kata Angkasa, mungkin ia terlalu culun. Apakah ada wanita lain di hati Angkasa? Apakah ia sudah bosan dengan dirinya. Rini benar-benar tertekan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top