8. Kelaparan
Raka begitu senang karena Rena mau menerima lamarannya. Walau masih secara pribadi, tetapi wanita itu dengan senang memakai cincin pemberian pria pujaan hatinya, sambil mengangguk cepat. Raka, sang pengusaha yang sedang naik daun, menyukai Rena;sekretaris cantik dan juga seksi. Keduanya sering tampil bersama sejak enam bulan belakangan ini.
Raka pribadi yang tertutup, akhirnya tunduk pada pesona Rena yang cenderung agresif mendekatinya. Hubungan keduanya belum diketahui oleh Edwin;papa Raka, ataupun keluarga dari pihak Rena. Mereka masih berhubungan secara sembunyi-sembunyi.
Gadis itu masih duduk di pangkuannya dengan manja, sambil meletakkan kepala di pundak Raka. Memperhatikan kekasihnya yang sangat sibuk di depan laptop. Rena memainkan jari yang tersemat cincin mahal dan super bagus. Berkali-kali Rena mengangkat jari manisnya, dan tak hentinya takjub dengan cincin yang ia pakai.
"Kamu suka?" tanya Raka tanpa menoleh ke arah Rena.
Cup!
"Suka sekali." Rena mendaratkan kecupan tipis di bibir Raka.
"Kapan aku akan dikenalkan dengan Papa kamu?" tanya Rena, hingga membuat Raka menoleh ke arahnya. Lelaki itu tersenyum, lalu meraih paha Rena. Mengusapnya pelan masih dengan senyuman hangat.
"Minggu ini, kamu akan aku kenalkan pada Papa. Setelah itu, kamu wajib mengenalkanku pada orang tua kamu. Jika kita berniat serius, bukankah kedua keluarga harus saling kenal." Tentu saja Rena mengangguk dengan penuh semangat. Gadis itu memainkan bibirnya, lalu jemari nakalnya naik ke dada Taka yang bidang. Menyentuh kancing kemeja itu dengan perlahan dan menggoda.
"Kenapa? Aku sedang banyak pekerjaan. Jangan sekarang ya." Raka menahan tangan Rena. Wanita itu menyeringai, lalu menghentikan aksinya.
"Aku mau beli baju untuk hari Minggu nanti. Boleh gak ... kalau ...."
"Boleh sekali." Raka mengeluarkan dompet dari saku celana jeans-nya, lalu menarik sepuluh lembar uang merah dari dalamnya.
"Ini, cukupkan?" tanya Raka sembari menyentuh pipi Rena. Wanita itu mengangguk senang dengan menggenggam erat uang merah pemberian Raka.
Cup!
"Terima kasih, Sayang. Aku pergi dulu ya." Raka memperhatikan punggung Rena hingga hilang dari balik pintu ruangannya. Raka menghempaskan kasar punggungnya di sandaran kursi.
Senyum liciknya terbit. Menikah dengan Rena dan bisa bersenang-senang juga dengan Siwi, adalah petualangan menarik dalam hidupnya. Ia akan memastikan hal ini akan berlangsung lama, hingga air mata darah dan dua orang bernama Teja dan juga Ria bersujud di kakinya dan meminta maaf karena telah memenjarakan papanya.
["Halo, bagaimana kabar lu bro? Jangan lupa, mulai malam ini tugas lu meneror keluarga Teja. Pastikan dua orang itu kembali ke Jakarta secepatnya."]
["Siap, Bos. Jangan lupa transferannya."]
["Beresin dulu kerjaan lu, baru gue transfer."]
Raka menutup teleponnya. Matanya kembali fokus pada laptop. Satu showroom mobil lagi akan segera di Bali. Seorang investor asing mau menanam saham pada usahanya yang sedang naik daun. Tentu saja Raka tidak mau menolak. Lelaki itu tipe orang yang penuh obsesi. Dia akan melakukan cara apapun agar mimpinya terwujud dengan cepat.
****
Siwi membersihkan rumah besarnya. Menyapu lantai rumah yang sekarang tidak terlalu berdebu. Mengepelnya semampunya, karena hanya mengenakan kain lap dan dia harus berjongkok untuk mengepel ruangan itu. Melakukan pekerjaan rumah bukanlah hal sulit untuknya, apalagi di rumah, dia terbiasa melakukannya. Namun, sejak organ in**mnya sedikit terluka, Siwi tidak kuat menahan sakit terlalu lama saat berjongkok.
Selesai dengan ruang tamu, Siwi pindah membersihkan kamar. Ruangan tempatnya beristirahat sudah nampak lebih layak karena dia membersihkan dan menatanya dengan baik. Suara mobil mendekat, Siwi meletakkan sapu di sudut kamar, lalu dengan berjalan cepat mengintip dari jendela.
"Hei! Toloong!" Siwi berteriak keras saat mobil itu melewati rumahnya. Namun sayang, mobil itu tidak berhenti. Sudah sering seperti ini. Dalam sehari, ada satu atau dua mobil yang melewati jalan penuh pohon besar dan semak belukar ini, tetapi tidak ada yang mendengar teriakannya. Siwi kembali berjalan ke kamar. Ia naik ke atas ranjang, lalu meringkuk di atas kasur dingin itu.
"Lapar ya Allah," gumamnya dengan mata berkaca-kaca. Dua hari sudah Raka tidak datang menengoknya dan persediaan makanan juga sudah habis. Dia tidak tahu mau makan apa, karena untuk keluar mengambil daun di pohon depan rumahnya pun tidak bisa.
Akhirnya, Siwi tertidur dalam keadaan lapar. Ia tidak tahu sudah tidur berapa lama, sampai sentuhan tangan yang ia kenali, berada di pipinya.
Puk!
"Bangun!" Raka menepuk kasar pipi Siwi. Wanita itu tersentak dan langsung duduk sambil mengucek kedua matanya.
"Buatkan aku mi rebus!" titah Raka dengan dingin.
"Tidak ada makanan lagi. Semua habis. Aku sudah tidak makan dua hari. Apa kamu ke sini membawa makanan?" cecar Siwi dengan wajah lemas. Selain karena baru bangun tidur, dia juga lemas karena tidak makan dua hari. Hanya minum air putih saja untuk mengganjal rasa laparnya.
"Aku meninggalkan telur sepuluh butir dan mi instan lima bungkus untuk sepuluh hari dan sekarang kamu bilang habis? Kamu buang atau kamu makan semua makanan itu? Hah? Jangan rakus, Siwi ... kamu di sini bukan istri yang seenaknya menghabiskan makanan semau kamu. Kamu budak, ingat itu!"
"Argh! Mengesalkan saja! Matilah kamu kelaparan di sini!" Raka bangun dari duduknya dan berjalan dengan marah, keluar dari kamar. Siwi menyusul Raka.
"Tunggu, Raka! Aku lapar, jangan tinggalkan aku! Aku butuh makan. Raka! Jangan seperti ini!" tangan mungilnya hampir sampai meraih lengan Raka, tapi ...
Terlambat!
Blam!
Raka sudah menutup pintu rumah, lalu menguncinya dari luar. Lelaki itu pergi tanpa mempedulikan teriakan Siwi yang mengiba lapar.
"Raka, jangan tinggalkan aku. Aku lapar!" Siwi meremas perutnya yang kesakitan.
_Bersambung_
Versi lengkap bisa kalian download di google.play store ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top