7. Mainan Semata

Raka sudah kembali memakai pakaian lengkap. Semalam, ia menginap di rumah tua di tengah hutan dan tanpa lelah menanamkan benih di rahim sang istri;Siwi. Pukul enam pagi, pria itu bangun dan bersiap untuk memulai usahanya. Sebuah pesan masuk ke ponselnya, Raka meletakkan rokok di atas asbak dan dengan mata alis berkedut membaca isi pesan itu. kembali diambilnya punting rokok yang tersisa setengah, lalu ia hisap dengan dalam. Asap mengepul di depan wajahnya. Raka berbalik melihat ke arah ranjang. Kaki tegapnya melangkah dengan pelan, lalu berhenti di dekat Siwi yang masih terlelap. Wanita itu begitu kelelahan setelah dipaksa melayani hasrat suaminya sejak pukul delapan malam, hingga pukul empat pagi. Jika ada yang melabelinya dengan kata boneka s*x, maka seperti itulah Siwi sekarang.

Huk!

Huk!

Siwi terbatuk-batuk saat menghirup asap rokok yang masuk ke dalam hidungnya. Dadanya menjadi sesak dan Siwi segera duduk, lalu menepuk-nepuk dadnya yang perih. “Kamu di sini bukan Tuan Putri, kenapa tidur tidak bangun-bangun? Apa kamu mau mati saja?” sinis Raka pada Siwi yang kini tengah berusaha menahan sakit di dadanya. Dengan rambut yang sangat berantakan, Siwi mengangkat wajah untuk melihat wajah suaminya. “Ada apa?” tanyanya dengan suara tercekat. Napasnya masih terasa sesak.

“Telepon orang tuamu, katakan kamu baik-baik saja dan mereka tidak perlu mencari kamu!” Raka melemparkan ponsel lain pada istrinya. Siwi yang sudah sepekan bermuram durja, tiba-tiba saja menghangat wajahnya, saat Raka mengatakan bahwa orang tuanya mungkin saat ini sedang berusaha mencarinya.

“Raka, jika kamu membenci keluargaku, kenapa tidak kamu ceraikan saja aku?” lirih Siwi dengan suara bergetar. Raka tertawa mengejek. Lelaki itu naik ke atas ranjang, lalu dengan pelan mengambil ujung rambut Siwi. Pertama-tama dengan mengelusnya lembut, lalu berubah dengan menjambak.

“Argh!” Siwi memekik kesakitan.

“Tidak semudah itu Siwi. Selama aku masih bernapas, maka selama itu pula keluargamu akan menerima pembalasan dariku. Papaku dipenjara karena impoten, maka aku akan membalasnya dengan membuat anak dari Maria dan Teja, menjadi budak ranjangku.” 

“Argh!” Raka melepas rambut Siwi dengan kasar. Hingga hampir saja terbentur punggung ranjang. 

“Lambat sekali! Aku bilang, telepon orang tuamu! Awas kalau sampai kamu mengatakan kita di mana dan kamu meminta pertolongan, maka video panas kita seminggu ini akan ditonton banyak orang.” Siwi tentu saja ketakutan dengan ancaman Raka. Dengan jemari gemetar, dia menekan nomor ponsel sang papa. Beberapa kali mencoba tidak juga tersambung. 

“Halo, assalamualaykum. Siapa ini?” Siwi mencoba menahan air mata dan suaranya agar tidak pecah. Sapaan lelaki paruh baya yang sangat ia cintai di seberang sana, terdengar lemah dan tak bersemangat. 

“Halo, siapa ini?”

“P-pa … ini Siwi. Papa apa ….”

“Siwi? Ya Allah, Nak. Kamu di mana? Papa dan Mas Aji mencari kamu ke mana-mana.”

“Siwi ada di hotel,Pa. Masih ….” Siwi melirik suaminya yang kini tengah melotot padanya.

“Bulan madu, Pa. Papa dan Bunda jangan khawatir ya, Siwi tidak apa-apa. Udah dulu ya, Pa. salam untuk Bunda dan Mas Aji.”

“Halo, Siwi! Halo!”

Tut!

Tut!

Dengan gerak cepat, Raka merebut ponsel dari tangan Siwi dan mematikannya. Setelah ponselnya padam, Raka mengeluarkan kartu ponsel, lalu mematahkannya menjadi dua. Lelaki itu berjalan menuju jendela berteralis, lalu melemparkan patahan chip nomor ponsel ke semak-semak. Tanpa menoleh dan peduli pada Siwi, Raka berjalan keluar kamar, lalu terdenagr suara pintu ruamh terbuka, lalu tertutup kembali. Tak lupa suara anak kunci yang diputar dua kali oleh pemiliknya.

Tak ada yang bisa dilakukan Siwi, selain menangis sejadinya. Ia rindu rumah, ia rindu keluarganya, dan dia rindu dengan semua yang ia lalui sebelum menikah dengan Raka. Wanita itu tidak tahu akan sampai kapan, nasib ini membawanya selalu bersama Raka. Pria itu tak pernah menganggapnya istri. Pria itu menikahinya hanya karena ingin balas dendam saja pada kedua orang tuanya. Sungguh malang nasibnya.

Masih dengan kaki gemetar, Siwi turun dari ranjang. Kaki kanan ia letakkan pelan di atas lantai yang terbuat dari kayu jati. Disusul kaki kiri, menginjak lantai kayu tersebut. Namun tubuhnya terhuyung. Ia tidak memiliki tenaga, bahkan untuk ke kamar mandi. Perutnya sudah berteriak lapar minta diisi, sedangkan kedua kakinya tak sanggup untuk berjalan keluar kamar. Siwi mumutuskan kembali naik ke ranjang, lalu meringkuk kembali dengan menutupi tubuh polosnya dengan selimut. Sakit pada pangkal pahanya, membuat seluruh persendiannya bagai tersengat listrik. Sakit bukan kepalang. Belum lagi udara dingin di tengah hutan yang semalam baru diguyur hujan, membuat tulang persendiannya seakan mati rasa karena kedinginan.

Dia takkan sanggup berjalan ke kamar mandi, meski ia merangkak. Siwi akhirnya memutuskan untuk kembali memejamkan mata, sambil berdoa dalam hati, agar ia segera bangun dari mimpi buruknya bersama Raka.

Sementara itu, Raka baru saja sampai di showroom mobil miliknya. Wajahnya nampak segar dan penuh dengan semangat. Tentu saja, karena hasrat balas dendamnya terpenuhi, plus mendapat penyaluran setiap malam. “Cerah sekali wajah pacarku sehabis dari kuar kota. Sampai-sampai aku tidak ditelepon sama sekali,” rajuk seorang wanita cantik yang masuk ke dalam ruangan Raka dengan tiba-tiba. Dialah Rena;wanita yang sudah menjadi pacar Raka setahun belakangan ini. Seorang wanita yang bekerja sebagai sekretaris Raka.

“Sini!” Raka menepuk sebelah pahanya, agar Rena duduk di pangkuannya. Gadis itu berjalan dengan anggun dengan wajah malu-malu. raka hyang tak sabar dengan kerinduannya pada Rena, memutuskan berdiri, lalu meraih pinggang gadis itu dan mendaratkan ciuman panas di bibirnya. Untuk seper sekian detik, ciuman itu belum juga berakhir, sampai Rena hampir kehabisan napas.

“Huh … huh … aku merindukanmu, Sayang.” Raka terengah-engah. Keduanya sudah merengganggkan pelukan. Satu dua anak rambut yang berserakan di kening Rena. Disingkirkan oleh Raka, lalu dengan begitu lembutnya, lelaki itu mencium kening Rena.

“Aku punya sesuatu untukmu.” Raka mengeluarkan kotak beludru dari saku celananya. Mata rena berbinar sekeitka, tentu dengan detak jantung yang tidak beraturan.

“Apa ini, Raka?” tanya Rena berpura-pura tidak paham.

“Menikahlah denganku dan jadi ibu dari anak-anakku,” bisik Raka seraya memakaikan cincin berlian ke jari manis Rena.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top