6. Raka Tak Waras

Semakin kuat Siwi meronta, maka semakin kejam Raka menghujamnya dengan berjuta kepedihan dan luka. Suaranya hampir habis karena berteriak kesakitan sambil mengiba minta dilepaskan, tetapi Raka bagaikan raja iblis yang sedang menghukum budaknya dengan kejam. Lelaki itu sama sekali tidak merasa perlu mengasihani Siwi, karena wanita itu adalah istrinya. Semua yang ada pada wanita itu adalah haknya dan dia bebas memperlakukannya bagaimana pun. Peluh bercucuran dari dahi dan seluruh tubuh lelaki itu, tetapi dia tidak lelah untuk terus mengoyak kepedihan Siwi. Tidak juga usai entah sudah berapa lama. Siwi pun akhirnya pingsan karena sudah tidak kuat menahan lelah dan sakit.

“Cuih! Lemah!” Raka turun dari ranjang. Sebenarnya lelaki itu sudah mendapat kepuasannya, tetapi senjatanya tidak benar-benar bisa beristirahat. Jika papanya mempunyai masalah dengan senjata yang tidak bisa bangun, maka dia senjata yang tidak pernah bisa benar-benar tidur. 

Raka memakai kembali celana boxernya, lalu menyalakan rokok. Lelaki itu duduk di kursi kayu yang ada di dekat ranjang, lalu menikmati pemandangan sang istri yang pingsan karena kelelahan. Senyum liciknya terkembang, saat menyadari ada noda darah di atas kasur berwarna krem. 

“Wow … beruntung sekali gue dapat yang orisinal, pantesan rasanya berbeda,” gumam Raka dengan bangganya. Diambilnya ponsel, lalu dipotretnya beberapa pose Siwi yang masih diam tanpa busana. “Kita lihat, barangkali suatu saat foto ini berguna untuk mengembalikan semua harta papaku dulu,” gumamnya lagi sambil tertawa puas dalam hati. Selesai dengan satu batang rokoknya, Raka berjalan ke dapur dan menemukan nasi yang sudah matang, tetapi sudah dalam keadaan dingin. Habis bertempur dua jam tanpa henti, perutnya terasa lapar. Raka membuat telur ceplok, lalu melahapnya dengan nasi dingin. 

“Raka … saya haus,” rintih Siwi dengan begitu pedih. Suara wanita itu dapat ditangkap Raka dengan baik. Lekas Raka menuangkan bubuk ke dalam gelas berisi air, lalu mengaduknya dengan sendok. Setelah larut, Raka berjalan masuk ke kamar membawakan gelas tadi untuk Siwi.

“Wah, Tuan Putri sudah sadar. Haus ya? Ini minum!” Raka membantu Siwi untuk sedikit duduk, menahan punggung wanita itu dengan tangan kekarnya, lalu membiarkan Siwi minum dengan rakus, hingga air di dalam gelas habis. Raka tertawa tanpa suara di balik punggung wanita itu. saat melihat Siwi terengah-engah  begitu menghabiskan air. Melihat rambut panjang Siwi yang terurai sangat seksi, membuat nafsunya bangkit lagi. 

“Sudah kenyangkan? Ayo layani aku lagi,” bisiknya dengan begitu mengerikan. 

Sementara itu, di Jakarta, Teja dan Ria sedang kebingungan mencari anak mereka. Tidak ada satu pun kontak yang mereka dapat, bisa melacak keberadaan Raka atau Edwin. Yah, Ria dan Teja pergi ke lapas untuk meminta alamat Edwin, tetapi tidak diberikan oleh pihak lapas. Orang tua Siwi juga pergi ke rumah lama nenek dari Raka, namun sayang sekali, rumah itu sudah lama terjual dan si pemilik rumah tidak tahu ke mana pindahnya Raka dan juga neneknya. Aji pun sudah meminta teman yang dia kenal biasa melacak keberadaan orang hilang, tetapi tidak menemukan apapun. 

“Apa kita ke rumah sakit, Pa? Siapa tahu mereka kecelakaan, Pa. atau mungkin kita langsung ke kantor polisi untuk memberitakan orang hilang,” cecar Ria dengan begitu ketakutan. Mobil mereka sedang berhenti sejenak di sebuah SPBU di tengah kota Jakarta.

“Kalau Siwi kenapa-napa, pasti pihak rmah sakit sudah mengabari kita, Bun. Siwi membawa semua berkas data diri. Tidak, Papa yakin keduanya bukan ada di rumah sakit,” ujar Teja denga perasaan sama kalutnya.

“Ya sudah, kita lapor polisi saja, Pa. Ayo!” ujar Ria lagi sambil mengguncag tubuh suaminya dengan kuat. Air matanya merembes membasahi pipi. Wajahnya yang mulai menua, terlihat begitu khawatir akan nasib putrinya.

“Perasaan Bunda mengatakan, anak kita dalam keadaan buruk, Pa,” cicit Ria dengan tangan meremas lengan kemeja suaminya. 

“Bun, polisi tidak akan memproses berita kehilangan seperti ini, apalagi Siwi pergi bersama suaminya dalam keadaan pengantin baru. Kita bisa dikatakan orang tua norak. Mereka pasti tidak merespon aduan kita. Kita harus turub tangan sendiri mencari Siwi.”

Drt

Drt 

Ria mengeluarkan ponselnya yang bergetar dari dalam tas. Dipasangnnya kaca mata yang menggantung di leher, untuk melihat siapa yang menelepon mereka.

“Aji, Pa,” ujar Ria sambil menekan layar terima dan juga menyalakan loudspeaker.

“Halo, Ji, bagaimana? Apa ada info soal Siwi?”

“Bun, ada teman yang melihat Siwi dan Raka di Bandara Juanda Surabaya.”

“Aji, kamu pesankan tiket. Kamu dan Papa berangkat ke sana sore ini,” tukas Teja pada putranya.

Bersambung 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top