5. Raka Mengambil Paksa Haknya

Dewasa


Raka kembali ke rumahnya di kawasan tengah Kota Surabaya tepat pukul tujuh malam. Lelalki itu membuka pintu dan langsung masuk tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu. Dia tidak sadar, bahwa ayahnya duduk di ruang dapur sambil memperhatikannya. Ya, Raka tinggal berdua saja dengan sang papa. Pria paruh baya yang baru empat tahun menghirup udara bebas, keluar dari penjara. Pria dewas bertubuh gemuk itu memperhatikan gerak-gerik anaknya yang nampka begitu senang. Sudah tiga hari Raka pergi tanpa kabar dan kembali ke rumah dengan wajah sumringah.

“Darimana saja kamu, Ka?” tanya Edwin pada putranya. Raka yang akan masuk ke dalam kamar menghentikan langkahnya, lalu menoleh pada Edwin.

“Ada urusan kantor, Pa. Raka masuk dulu,” ujar Raka tanpa mau banyak berbasa-basi. Begitulah Raka dalam kesehariannya. Lelaki yang jarang sekali bicara dan sekalinya berbicara, hanya menjawab yang penting saja. Raka lebih banyak tenggelam di dalam kamar, berkutat dengan laptop, atau ponselnya. Berbicara atau berdiskusi dengan Edwin pun sangat jarang, keduanya seakan berjarak. Ditambah lagi belasan tahun Raka tidak pernah menjenguk papanya di penjara. Sehingga keduanya bagai orang asing.

Edwin berjalan menuju ruang TV dan mengambil remot untuk menyalakannya. Tidak banyak yang bisa dilakukan pria aruh baya itu semenjak keluar dari penjara, selain menonton dan berolah raga. Atifitas yang saat dia muda, sangat malas untuk dilakukannya. Raka keluar dari kamar sambil membawa pakaian kotor, lalu menaruhnya di mesin cuci. Ditekannya tombol pada mesin penggiling cucian itu, setelah menuangkan sabun cair ke dalam wadah kecil yang ada di dalam mesin. Edwin masih terus memperhatikan putranya.

“Apa kamu tidak punya pacar?” tanya Edwin. Raka menoleh sekilas, lalu berjalan kea rah kulkas untuk mengambil minuman kaleng.

“Menurut Papa, orang tua mana yang mau menerima menantu anak dari mantan narapidana?”ekspresi Raka begitu santai dan tidak terlihat sama sekali ada beban, sedangkan Edwin sudah membeku di tempat duduknya tanpa bisa memberikan pembelaan. Raka begitu keras, ebtah sifat siapa yang menurun padanya. Bisa jadi ibunya;nenek Raka.

“Papa harap, kamu segera memiliki istri, agar semua pekerjaan rumah ada yang membantu. Paling tidak, ada yang mengurusmu,” sahut Edwin keluar dari tema pertanyaan Raka tadi. Lelaki itu ikut duduk di samping papanya dengan tangan masih menggenggam minuman kaleng. Wajahnya yang begitu segar, mempertegas ketampanan kakeknya yang diwariskan padanya. 

“Jika sudah tiba saatnya saya memiliki istri, maka saya akan menjadi suami yang baik. Bukan suami bajingan yang menyia-nyiakan anak dan istri karena egois.” Edwin kembali tidak bisa mengomentari perkataan Raka. Berkali-kali, bahkan ribuan kali Raka menyindir dirinya yang sudah sangat berdosa di masa lalu. Apakah Edwin harus marah dan kesal? Tidak, pria paruh baya itu sudah tidak memiliki tenaga yang cukup untuk berdebat dengan anaknya. 

Terasa jeda yang singkat, sebelum Raka berucap, “saya lapar, mau bikin mi rebus.”

“Papa masak sayur sop dan telur dadar. Masih ada di dalam lemari. Makanlah! Jangan dibiasakan kamu makan mi instan. Tidak baik bagi pejantanmu.” Raka memutar bola mata malasnya. Dia tidak punya pilihan lain, selain menurut. Raka makan dengan tenang di ruang dapur, sedangkan Edwin duduk di depan TV tetapi pikirannya entah ada di mana. Ayah dan anak yang benar-benar berjarak.

Sementara itu, di rumah besar yang sangat menakutkan. Siwi hanya bisa merenung dengan tatapan kosong. Langit semakin gelap dan suara-suara aneh muncul dari balik pohon-pohon besar di luar sana. Siwi terlalu takut untuk mencari tahu keadaan di luar sana. Dia tidak siap jika saat mengintip dari jenedela, malah muncul harimau, atau bisa juga singa yang tengah lapar. Duduk diam di dalam rumah gelap, masih lebih baik daripada harus menjadi santapan makan malam binatang buas. 

Paling tidak, Raka berbaik hati mengisi lemari di dapur dengan telur, beras, dan juga mi instan. Kompor juga masih menyala dan ada beberapa perabotan yang bisa dia gunakan untuk memasak. Siwi  harus berhemat, karena dia tidak pernah tahu, kapan suaminya itu akan datang mengunjunginya. Wanita baru saja menghabiskan dua butir telur rebus dan melahapnya tanpa nasi. Dia sudah tidak bertenaga, karena kelelahan memberiskan kamar mandi yang ada bangkai tikus serta kocoa di dalamnya. Belum lagi kamar yang sangat bau apek dan amis. Saat semua sudah rapi, Siwi pun naik ke atas ranjang yang tidak dilapisi seprei. Untung saja di dalam kopernya ada kain sarung yang bisa ia gunakan sebagai alas. Dia harus tidur cukup, sebelum menyongsong esok hari untuk mencari jalan keluar dari rumah itu.

Keesokan harinya, Siwi memulai aksi untuk keluar dari rumah itu. Pisau atau batu? Yah, dia membutuhkan dua alat itu untuk keluar dari rumah, tetapi dua benda itu tidak ada. Entah terbuat dari apa kaca rumah ini, saat Siwi berusaha memecahkannya, tangan wanita itu malah memar. Semua bagian rumah dia cari celahnya agar  bisa keluar dari sana, tetapi tidak ketemu. Hingga Siwi akhirnya kelelahan dan tertidur.

Matanya terbuka, saat merasakan hawa dingin di sekujur tubuh. Pandangannya samar-samar melihat sosok yang kini  begitu dekat di atasnya. “Raka?!” Siwi tersentak kaget, lalu berusaha bangun dari posisi berbaringnya. Oh, tidak! Siwi tidak sadar, saat kedua tangannya malah sudah terikat di kedua sisi ranjang.

“Mau melarikan diri? Huh?” sentak lelaki itu dengan sorot mata tidak bersahabat.

“Jangan seperti ini, Ka? Apa yang kamu lakukan?” Siwi semakin ketakutan, saat jemari Raka sudah melepas kancing bajunya satu per satu. Tubuhnya meronta ke sana-kemari, tetapi tetap tidak juga terlepas ikatan di tangannya.

“Lepaskan saya, Raka!” isak Siwi dengan wajah pucat pasi.

“Oke, saya akan dengan senang hati melepas bajumu. Biar semuanya lebih mudah.”

Srek!

“Tidak!”

Bersambung

Versi ebook sudah tersedia di google play store ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top