4. Permainan Raka

Snack yang diantarkan pramugari padanya, teronggok begitu saja di atas meja kecil. Tampilan kwetiau goreng yang seharusnya menggugah seleranya, mendadak sama sekali tidak menarik. Siwi hanya menghela napas berkali-kali, lalu mengabaikan makanan itu. Siwi merogoh tas selempangnya, lalu mencari biscuit yang memang biasa selalu ia bawa di dalam tas. Dokter penyakit dalam pernah memperingatkannya agar selalu membawa camilan di delam tas, untuk menekan rasa lapar. Penyakit maag yang cukup berat, mengharuskan Siwi menuruti perintah dokter.

Siwi merobek pembungkus biskuit yang berselai nanas itu, lalu memasukkan makanan itu ke dalam  mulut. Mengunyahnya dengan tidak bersemangat. Sedangkan di sebelahnya, Raka tengah makan dengan lahap, bahkan lelaki itu dengan santainya memesan kembali minuman jus untuk dirinya sendiri. Ya, hanya untuk kepuasannya. Seakan Siwi tidak pernah ada di dekatnya dan seakan Siwi bukanlah siapa-siapa. Tak ada yang bisa ia lakukan selain pasrah dan menanti keajaiban dalam perjalanan rumah tangganya ke depan. Menikmati awan yang beriak begitu indahnya menghiasi langit, membuat wanita itu tersenyum tipis. Jika saat ini Tuhan sedang mengujimu, yakinlah ada waktunya juga Tuhan mengiburmu dengan cara yang lain.

Siwi dan Raka akhirnya sampai di sebuah rumah besar di tengah hutan. Ingat! Di tengah hutan. Tidak ada penduduk lainnya, hanya rumah besar yang nampak menakutkan di balik pagar ukir besi yang menjulang tinggi. Pohon-pohon berdaun lebat dengan aura mistis yang begitu kuat. Bukankah tenpat menyeramkan seperti ini memang akan banyak jin dan setannya. Lalu, apakah dia akan tinggal di sini? Apa yang direncanakan Raka sebetulnya?

“Ini rumah kita? Kenapa di tengah hutan? Apa Mas tinggal di sini?” Raka tidak langsung menjawab. Pria itu memberi kode pada sopir yang menjemputnya untuk keluar lebih dahulu. Mobil pun memutar lingkaran air pancur yang sudah tidak menyala lagi. Air tergenang dengan warna pekat dan sangat kotor. Kodok kecil, siput, dan daun-daun kering yang berguguran memenuhi pinggir kolam air mancur. Membuat Siwi menjadi ngeri dan jijik.

Raka membuka pintu, lalu masuk terlebih dahulu ke dalam rumah. Dengan langkah ragu-ragu, Siwi ikut masuk sambil menarik kopernya. Pandangannya menyapu rumah besar yang nampak bersih, tetapi sangat bau bangkai. Siwi memencet hidungnya dengan ibu jari dan jari telunjuk, karena tidak tahan dengan bau itu.

“Kamu tinggal di sini ya. Jika aku ingin, maka kamu akan aku kunjungi. Ada dapur di ujung sana. ada juga kamar mandi, ya … sepertinya belum sempat dibersihkan dan juga ada kamar cukup besar di ujung lorong. Kamu akan menjadi ratu di rumah ini tanpa ada yang mengganggu.”

“T-tapi, kamu ikut tinggal di sini’kan, Mas?” tanya Siwi dengan wajah ketakutan. Dia tidak mau ditinggalkan sendirian di sini. Tempat ini adalah rumah jin, Siwi dapat merasakan itu dari bau bunga kantil yang tiba-tiba mesuk ke dalam indera penciumannya.

“Kamu saja, bukan aku. Oke, selamat beristirahat.” 

Blam!

Ceklek

Ceklek

“Mas! Jangan tinggalkan saya di sini! Mas! Buka pintunya!” 

Dor!

Dor !

Siwi terus saja berteriak memanggil Raka, sambil menggedor keras pintu kayu tebal yang memenjarakan dirinya sendirian, tetapi lelaki itu tidak punya belas kasih sama sekali. Dia mengurung Siwi di dalam rumah menyeramkan yang mungkin akan membuat wanita itu bisa mati secara perlahan. Mobil meninggalkan rumah dan Siwi masih menjerit ketakutan di dalam sana. 

“Hiks … Papa, Bunda, Mas Aji ….” gumam  Siwi dengan tubuh sudah merosot di lantai sangat dingin. Matanya terbelalak, ketika sadar, ia harus memeinta pertolongan. Siwi kembali merogoh tas seempangnya untuk mencari ponsel. Ya, dia bisa menghubungi keluarganya dan meminta pertolongan atau bisa juga menghubungi polisi. Wajah Siwi memucat, sat benda yang ia cari tidak ada di dalam tas selempangnya. Bahkan dompetnya pun tidak ada. Hanya selembar uang seratus ribu yang ada di dalam sana. Siwi meremas rambutnya dengan kasar, pasti Raka yang mengambil isi tasnya. Kenapa dia bisa tidak sadar?

“Ya Allah, aku harus bagaimana?” Siwi kembali berdiri dengan sisa-sisa tenaganya. Langit mulai gelap dan Siwi kebingungan mencari stop kontak listrik untuk menyalakan lampu.  Sambil melangkah hati-hati dalam rumah besar menakutkan itu, tak satu pun stop kontak listrik yang berfungsi. Itu tandanya tidak aka nada lampu di rumah ini.

“Toloong! Toloong!” teriak Siwi semakin menjadi. Suaranya terdengar begitu menyedihkan menggema di dalam rumah, tersapu angin dingin yang semakin lama semakin menusuk tulang. 

Sementara itu, Ria gemetar, setelah menerima telepon dari salah seorang teman yang bisa dia percaya untuk memantau keadaan Siwi dari jauh. Dia memang tidak benar-benar yakin dengan ketulusan Raka. Pasti ada rencana jahat di balik kesediaannya menjadi suami Siwi.

“Pa, bangun!” suara Ria begitu terdengar ketakutan. Teja tersentak duduk. Pria paruh baya itu mengusap kedua mata sambil menoleh pada istrinya.

“Ada apa, Bun?” tanya Teja sambil mengusap punggung istrinya.

“Siwi, Pa. Siwi dan Raka tidak ada dalam daftar nama penumpang ke Samarinda.”

“Apa? Maksud Bunda, mereka ke mana?”

“Pa, sepertinya … Raka membawa Siwi kabur dari pengawasan kita.”

Bersambung


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top