2. Ketika Mengabaikan Nasihat Orang tua
Semua tamu yang sudah hadir sejak pagi, masih menunggu munculnya sang pengantin ke atas pelaminan. Tempat yang sudah disediakan untuk acara akad sekaligus pesta penerimaan doa restu dari dua ribu tamu yang diundang.
Balai Sudirman menjadi saksi, bahwa hingga siang, dan tamu mulai jengah, tetapi tetap tidak muncul sepasang pengantin yang seharusnya, sejak pukul sepuluh melakukan akad nikah. Pelaminan itu begitu cantik, hingga banyak tamu yang mengambil potret di sana. Sayang sekali, tidak ada mempelainya.
Dekorasi pelaminan yang dilakukan tiga hari sebelum acara, dengan hasil yang sangat memuaskan. Siwi, orang tua, serta adik-adiknya sempat berfoto bersama di pelaminan, sehari sebelum acara berlangsung.
Namun kini, pelaminan cantik itu tidak ada yang mengisinya. Tamu menjadi ramai kasak-kusuk, sedangkan sang pemilik hajat, masih belum menampakkan diri di depan umum.
"Saya bersedia menikahi Siwi. Apa yang Om dan Tante pikirkan? Apakah kalian punya pilihan lain? Heh, saya rasa tidak. Dua ribu orang di luar sana sudah berdesakan dan ramai membicarakan keluarga ini. Om Teja yang notabene chef yang cukup dekat dengan para petinggi negara dan juga artis, apa berani mengambil keputusan untuk membatalkan pernikahan? Awak media akan mencecar keluarga ini, mengangkat dan mengarang kabar buruk, sehingga citra Om Teja jatuh ke jurang. Saya akan bertanya sekali lagi, saya bersedia menikahi Siwi, apakah Om dan Tante merestui? Kalau iya, sekarang saya akan membawa Siwi keluar. Oh, tidak! Perbaiki dulu riasannya. Tamu akan mengira saya menikahi hantu," papar Raka panjang lebar. Tatapan cemoohnya, memperhatikan Teja, Ria, dan juga Siwi. Tak ada Aji di sana, tentu itu menguntungkannya, karena bisa saja Aji menjadi penghalang bagi rencananya.
Berkali-kali Teja menelan ludah. Pria paruh baya itu bingung, langkah apa yang harus segera ia ambil untuk kebaikan semuanya. Haruskah ia mempertaruhkan masa depan Siwi, agar tidak malu di mata orang lain? Teja menoleh pada istrinya;Ria menggelengkan kepala, sambil menahan tangis. Lalu Teka menoleh pada Siwi. Pengantin itu begitu sedih, terpukul, serta terluka. Siwi mengangkat wajahnya yang sudah amat berantakan. Teja tidak tega. Dia akan menyebabkan luka lain sang putri, jika nekat menikahkannya dengan Raka. Karena Teja tahu, bahwa Raka tidak pernah menyukai keluarganya.
"Terima kasih atas tawaran kamu, Raka. Maaf, tapi Om menolak."
"Jangan, Pa!" semua menoleh pada Siwi. Gadis itu bangun dari duduknya, lalu berjalan dengan sempoyongan menuju orang tuanya. Siwi mengambil punggung tangan Teja, lalu menciumnya.
"Selama ini, Siwi tidak pernah peduli dengan peringatan Papa yang mengatakan ... hiks ... Siwi tidak boleh berpacaran dengan Zamir. Sekarang, ucapan Papa terbukti, karena Zamir Papa akan dicemooh orang dan karir Papa bisa hancur. Tidak, Pa ...."
Dada gadis itu naik turun, kakinya sudah tak sanggup untuk berdiri, tetapi ia harus kuat. Ini adalah teguran Tuhan padanya, karena sudah tidak menuruti perintah orang tua. Siwi menoleh pada sang Bunda yang masih menanti lanjutan ucapannya. Gadis itu tersenyum, lalu mengangguk pelan. Meminta restu pada Bunda sambungnya yang selama ini sangat menyayanginya. Menuruti semua keinginannya, termasuk membujuk papanya agar menerima Zamir. Namun sekarang, Siwi merasa begitu berdosa pada kedua orang tuanya. Tidak mungkin ia tega menghancurkan wajah dua orang yang dia kasihi, di depan ribuan orang.
Ribuan kali sang Papa menasihati, tetapi ribuan kali dia dibantu oleh Bundanya, menyakinkan Teja, bahwa Zamir adalah lelaki baik dan pantas untuk dirinya. Lihatlah, apa yang terjadi ketika kita mengabaikan nasihat orang tua? Jalan ini takkan pernah lurus dan mulus.
"Ijinkan Siwi menerima tawaran Raka, Pa. Hanya dia yang bisa menyelamatkan wajah Papa dan Bunda."
Lima belas menit kemudian.
"Saya terima nikah dan kawinnya Siwi Pratami binti Hadirman Suteja dengan mas kawin seperangkat alat salat dan emas, dibayar tunai."
Bersambung
Versi ebook sudah tersedia di google play store ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top