11. Berhasilkah Siwi?
Srak!
Srak!
Siwi terus berlari dengan kaki telanjangnya. Menyusuri jalanan hutan dalam gelap malam.
"Siwi! Matilah Kau dimakan harimau!" pekik Raka dengan suara menggelegar. Siwi pias, kakinya semakin cepat berlari meninggalkan rumah besar.
Bugh!
"Sst ... Aaargh!" Siwi terjatuh, lalu dengan cepat ia berdiri lagi dan berlari. Burung hutan berterbangan di atas kepala. Saling sahut makhluk hutan lainnya tak membuat Siwi urung, ataupun takut sama sekali. Ia terus berlari, walau kakinya menginjak duri.
Jauh dan semakin jauh. Matanya tidak bisa melihat apapun, karena keadaan sangat gelap. Tangannya terluka terkena ranting pohon yang tajam, karena meraba jalan di sisi kanan dan kirinya.
Brem!
Brem!
Suara mobil dari kejauhan, membuat Siwi ketakutan. Ia kelimpungan mencari tempat untuk bersembunyi. Pasti suara mobil itu adalah mobil Raka. Ia pun yakin, jalan yang kini ia lalui adalah jalan yang biasa dipakai Raka untuk sampai ke rumah besar itu.
Brem!
Suara itu semakin dekat. Siwi tidak tahu harus bersembunyi di mana. Matanya menangkap batang pohon yang sangat besar di depannya. Kepalanya mendongak, menatap daun rimbun bagaikan sarang di atas sana. Siwi bertekad, ia harus bersembunyi di atas pohon. Raka akan mudah menemukannya jika ia hanya bersembunyi di balik pepohonan.
Diangkatnya sedikit kain, lalu ia memanjat dahan demi dahan, untuk sampai ke atas sana. Jika tidak sampai ke ujung, paling tidak, dia bisa bersembunyi di dahan besar yang menutupi semua tubuhnya dari pandangan Raka. Tak lagi ia hiraukan darah yang mengalir dari kedua kaki, tangan, dan juga lengannya, yang terpenting saat ini ia bisa bersembunyi dari Raka dan keluar dari hutan besok pagi.
Siwi merasa bersyukur pernah tinggal di desa dan bermain di pinggir hutan bersama Aji dan juga teman di kampungnya, sehingga kemampuan memanjat pohonnya, tidak diragukan lagi, karena sedari kecil memang ia suka memanjat pohon.
Bersandar pada dahan besar nan kokoh. Ia mengatur napas yang terengah-engah sambil menyembunyikan tubuhnya di sana.
Brem!
Suara mobil itu mendekat, Siwi tercekat dan tak berani bernapas.
"Tuhan, jangan biarkan dia menemukanku. Aku mohon," rapalnya dalam kegelapan. Mobil melaju melewati pohon tempat ia bersembunyi saat ini. Bahu Siwi melemah. Raka sudah pergi dan paling tidak, dia selamat dari siksaan berikutnya. Siwi memejamkan mata saat merasa ada air bening yang mengapung di sana. Air yang siap tumpah membanjiri pipi yang tirus karena kurus.
Air yang jatuh, bukanlah air mata kesedihan, melainkan air mata penuh syukur, karena Tuhan memberikannya jalan untuk kabur dari suaminya. Ada sedikit celah dahan yang bisa ia duduki. Tidak takut ular atau binatang buas lainnya, Siwi malah memutuskan untuk memejamkan mata. Beristirahat sejenak, sebelum besok, saat matahari mulai naik, ia akan melanjutkan perjalanannya. Sepanjang malam ia berusaha untuk tetap terjaga walau dalam keadaan gelap dan benar-benar tak bisa melihat apapun. Ia harus terus seperti ini, sampai meyakinkan keadaan baik.
Brem!
Brem!
Suara mobil kembali ditangkap oleh indera pendengarannya. Siwi mengintip ke bawah dari balik dari besar tempat dia bersembunyi. Ada dua mobil yang datang dari arah berlawanan. Siwi tahu, mobil itu pasti orang suruhan Raka yang siap mencarinya sampai dapat.
Siwi menggelengkan kepala. Ia ketakutan, hingga napasnya sesak. Sebelum orang-orang itu berpencar mencarinya, Siwi memutuskan untuk turun dari pohon dengan cepat, lalu kembali berlari menjauh. Arah pandangnya semakin tak terlihat. Entah sudah berapa ribu dahan tajam yang tertancap di kakinya, hingga luka di sana-sini. Siwi semakin terseok dengan air mata yang semakin deras.
Wanita itu terus berlari, berharap ada jalan besar yang bisa ia temui dan ada orang yang berbaik hati menolongnya. Sama sekali ia tidak berani melirik ke belakang. Pandangannya benar- benar lurus ke depan.
Krak!
"Aaargh!" Entah dahan apa yang ia injak, hingga kakinya kembali merasakan pedih yang luar biasa. Ia harus bertahan, ia harus kuat.
"Tuhan, bantu aku," rapal Siwi dengan linangan air mata.
"Lebih baik aku dimakan hewan, daripada mati di tangan suamiku," gumamnya sambil terus menyeret kedua kakinya yang terluka.
Kakinya terus terseret-seret hingga tidak sadar, darah segar mengalir dari sana. Ia pun tidak peduli jika ia mati saat ditemukan orang lain. Mungkin itu lebih baik, karena rumah sakit pasti memberi tahu keluarganya, daripada mati di dalam rumah itu bersama Raka, maka bisa saja ia menjadi santapan binatang buas.
"T-tolong," lirihnya dengan napas terengah-engah. Sorot matanya seperti menangkap jalanan besar beraspal. Kakinya semakin semangat, saat sayup-sayup suara azan bergema di udara. Yah, mungkin ini azan Subuh. Pikir gadis itu.
Senyumnya seketika terbit, diantara rasa sakit di kedua kaki yang luar biasa. Benar sekali, jalanan beraspal itu semakin dekat dengan jangkauannya.
Suara derit gerobak didorong dari kejauhan, membuat Siwi menoleh ke kiri. Kaki yang terluka itu terpaksa ia seret untuk menghampiri si pendorong gerobak.
"Pak, t-tolong!" pekik Siwi mempertegas suaranya. Gerobak berhenti di depannya dan ...
Brugh!
"Eh, ya Allah ... siapa ini? Pingsan!" Lelaki tua itu menengok ke kanan dan ke kiri. Tidak ada siapapun. Apakah wanita ini korban perkosaan? Si lelaki tua memperhatikan Siwi dengan iba, lalu dengan susah payah menaikkannya ke dalam gerobak. Ia putar gerobak, untuk kembali ke rumah. Rencana mengambil puing bangunan tidak jadi, sang kakek memilih membantu wanita yang ia temui untuk dia bawa ke rumah dan diobati.
Raka menggedor pintu rumah saat adzan subuh. Edwin yang juga baru saja bangun, melompat turun lalu membukakan pintu rumah untuk anaknya.
"Kamu mabuk, Ka? Darimana saja?" Edwin memperhatikan anaknya dari ujung kaki hingga ujung rambut.
Brak!
Raka menghempaskan tubuhnya di kursi tamu yang terbuat dari kayu.
"Haus ...haus!" dengan kasar lelaki itu menggosok tenggorokannya. Edwin berlari ke dapur, lalu menuangkan air di gelas, lalu kembali lagi ke depan untuk memberikannya pada Raka.
"Ini, minumlah!" Raka meneguknya hingga tandas. Lalu memberikan gelas kosong itu pada papanya.
"Wanita itu selalu menyusahkan dan wanita memang selalu menyusahkan! Pantas saja aku tidak ada Ibu, karena memang wanita itu sangat menyusahkan!" oceh Raka sebelum beranjak dengan sempoyongan masuk ke dalam kamarnya.
"Uek!"
"Uek!"
"Uek!"
Raka muntah di depan pintu kamar. Tanpa peduli dengan makanan yang keluar dari perutnya, Raka berjalan menuju ranjang, dan menghantamkan tubuhnya di sana. Edwin hanya bisa menggelengkan kepala melihat sikap anaknya. Dengan sabar ia membersihkan muntahan Raka sambil menutup mulut. Jika dia bajingan yang hampir saja membunuh dua wanita karena kelakuannya, tetapi untuk mabuk minuman keras, ia tidak pernah. Mencium baunya saja sudah membuatnya sakit kepala.
Edwin pergi ke dapur setelah semua bersih. Membuatkan teh manis hangat untuk Raka, lalu ia letakkan di meja kecil samping ranjang besar anaknya. Pria paruh baya itu pun pergi meninggalkan kamar anaknya untuk menunaikan salat subuh.
****
Di sebuah gubuk kecil. Siwi tengah diobati. Gadis itu masih tidak sadarkan diri. Wajahnya, tangannya, dan kakinya sudah dibersihkan dengan air, lalu diberi ramuan dedaunan yang sudah dihaluskan, sebelum ditempel pada luka gadis itu.
Siwi membuka mata perlahan, sambil merasakan sakit di sekujur tubuhnya, terutama di kedua kakinya. Matanya perpendar memastikan dia ada di mana kini.
"Eh, Neng sudah sadar. Ayo minum dulu," suara tua bergetar sang kakek membuat Siwi akhirnya bernapas lega. Akhirnya ia selamat dari Raka.
"Apa yang terjadi padamu, Neng? Kalau Kakek tidak menemukanmu, pasti ular besar atau harimau sudah memangsamu?" tanya kakek tua itu sembari menyendokkan teh ke dalam mulut Siwi yang nampak bengkak. Dengan gemetar, Siwi menelan air yang sudah sangat lama ia ingin rasakan. Teh manis hangat, tetapi tidak terlalu manis.
"Kek, terima kasih," ujar Siwi sambil tersenyum.
"Panggil saja Kakek Usman." Kakek itu meletakkan gelas teh ke atas meja, lalu mengupas pisang rebus untuk Siwi.
"Ini, makanlah! Biar saya suapi," ujar Kek Usman sembari menyendokkan potongan kecil pisang rebus ke dalam mulut Siwi.
"Ceritanya nanti saja, karena kamu butuh tenaga. Kasian bayi kamu, kalau kamu kelaparan." Siwi melotot tak percaya. Ia menghentikan kunyahan, lalu menoleh pada Kek Usman.
"H-hamil, Kek?" tanya Siwi dengan tidak percaya.
"Iya. Kamu hamil, hamil muda."
_Bersambung_
Udah bisa bernapas lega? Yuks, baca keseruan Siwi dan Raka versi lengkap di ebook google play store. Beli yang orisinal ya, jangan yang bajakan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top