10. Budak yang Dipasung
"Bangun Siwi! Hei, bangun! Sial! Menyusahkan saja!" umpat Raka sembari melepas ikatan tali di kedua tangan istrinya. Siwi lagi-lagi pingsan dengan keadaan sangat menyedihkan. Bagaikan mayit hidup. Tubuhnya kurus kering, rambutnya berantakan tidak pernah disisir. Aroma tubuhnya mau keringat, belum lagi aroma Pesing di kasur, karena Siwi terikat dan terpaksa buang air kecil di sana.
Dia bukanlah istri, melainkan budak yang dipasung. Dalam keadaan mungkin hampir mati, Raka sama sekali tetap tidak mengasihaninya. Lelaki itu memindahkan tubuh Siwi ke kursi kayu, lalu dia sibuk melepas kain alas kasur yang sangat berbau Pesing. Tubuh Siwi sama sekali tidak ia tutupi apapun. Lebih kepada, Raka sedikit jijik dengan penampilan Siwi yang kotor seperti gelandangan yang telanjang di jalanan.
"Kamu dan orang tuamu, bisanya menyusahkanku saja!" umpat Raka lagi dengan menahan napas.
Setelah beres dengan kasur. Raka kembali menggendong tubuh ringan Siwi kembali berbaring ke kasur, lalu ia tutupi kain sarung milik Siwi yang ia cari di dalam koper. Kakinya beranjak menuju dapur, lalu membuatkan teh untuk Siwi. Raka juga merebus satu butir telur untuk diberikan pada Siwi.
Drt
Drt
"Sayang, kamu di mana? Katanya mau ngajak aku lihat kebaya di butik?"
Pesan Rena membuat Raka menepuk keningnya. Ia lupa bahwa sore ini ada janji bersama Rena dan calon mertuanya untuk ke butik. Dengan tak sabar, Raka menghubungi Rena.
["Halo, Sayang. Sepertinya kita tidak jadi sore ini ya. Aku masih ada meeting untuk showroom baru di Bali. Sabtu saja bagaimana? Masih ada waktu'kan?"]
["Ish, kamu Ka. Tega banget batalin. Aku sama Mama udah rapi."]
["Please, Sayang, aku juga'kan kerja untuk masa depan kita. Tolong ngertiin aku ya. Aku janji, Sabtu ini tidak akan batal lagi. Bagaimana?"]
["Ya sudah kalau gitu."]
["Aku transfer uang untuk kamu makan malam sama Mama di mal saja ya."]
["Iya. Makasih, Sayang."]
Dengan jemari cekatan, Raka mentransfer uang lima ratus ribu pada Rena. Sangat mudah membujuk wanita agar tidak ngambek. Rabu lah mentransfer uang. Raka tersenyum senang. Setelah telur cukup matang, Raka pun mengupas kulitnya, lalu memotongnya menjadi dua bagian, dengan menggunakan sendok. Separuh dia taruh di piring kecil, separuh lagi dia simpan di dekat kompor.
Raka berjalan masuk ke dalam kamar dan mendapati Siwi yang masih pingsan.
"Hei! Bangun!"
Puk!
Puk!
Puk!
Raka menampar sedikit keras pipi istrinya, agar wanita itu membuka mata. Namun sayang, Siwi masih saja diam tidak berkutik. Raka menghela napas kasar, lalu meletakkan gelas teh dan piring telur rebus di atas meja. Lelaki itu pun meluruskan pinggang di atas kursi kayu.
Udara yang sejuk, membuat Raka akhirnya menutup mata. Dia mengantuk dan tertidur cukup pulas di kursi kayu. Lelaki itu menutup kedua matanya dengan lengan kanan. Hening beberapa saat.
Siwi membuka matanya perlahan. Rasa pusing dan nyeri pada perut dan juga bagian intimnya masih begitu terasa. Tubuhnya lemas bagai tak bertulang. Dengan pandangan samar, Siwi menatap sekeliling kamar. Mata itu berhenti pada Raka yang sudah tidur pulas dengan napas yang naik turun dengan teratur. Siwi mengalihkan pandangan. Ia melihat dirinya sendiri yang tertutup kain sarung.
"Ini kesempatan kamu, Siwi. Ayo, lari! Lari!" suara yang membisikinya membuat Siwi tersentak dan menoleh ke asal suara. Namun, tidak ada siapapun di sana. Dengan sisa tenaganya, Siwi turun dari ranjang dengan gerakan sangat pelan. Kain sarung yang tadinya menutupi bagian atas tubuhnya saja, kini ia pakai dengan betul. Ia gulung hingga memutar, lalu ia selipkan di dada depannya. Sebenarnya ia ingin mengambil baju di dalam koper, tetapi sayang sekali, koper itu tertutup. Jika ia menarik risleting koper, maka Raka pasti akan bangun.
Dengan kaki telanjangnya, Siwi berjalan mengendap-ngendap. Peluhnya bercucuran dengan sangat deras. Di dalam hatinya merapal doa, agar Tuhan membiarkan dia lepas kali ini. Dia harus lari dari Raka dan menjemput kebebasannya.
Siwi merasa Tuhan memberikan jalan padanya. Pintu kamar terbuka lebar. Siwi sempat melihat telur rebus di atas piring kecil. Ia menyambar makanan itu dengan hati-hati, lalu memasukkan semuanya ke dalam mulut. Ia harus punya tenaga untuk lari.
Kini pandangannya beralih pada pintu kamar yang menganga. Satu lagi harapannya, bahwa pintu di depan sana, tidak dikunci, ataupun kunci masih menggantung di sana, seperti sebelum-sebelumnya. Dengan langkah pelan, Siwi berjalan keluar kamar dengan kedua kaki gemetaran. Napasnya semakin tidak karuan, dengan peluh yang semakin deras.
Wanita itu harus berterima kasih pada Tuhan, karena kunci menggantung di pintu. Walau dari kejauhan, Siwi dapat melihat tiga anak kunci menggantung di sana.
Krek
Suara lantai dari kayu berbunyi saat diinjak oleh kakinya. Siwi tercekat, lalu menghentikan sejenak langkahnya. Ia sama sekali tidak berani menoleh ke belakang, karena begitu takut. Jangankan menoleh, bernapas pun ia sangat takut saat ini. Siwi memilih menahan napas sejenak. Pelan ia mulai melangkah lagi, sedikit demi sedikit, ketika dia mulai bisa mengatur detak jantung dan juga napasnya, hingga hampir menyentuh handle pintu.
"Ya Allah, selamatkan hamba," gumam Siwi dengan jemari sudah memegang handle pintu dan jemari satunya lagi berada di anak kunci.
Cklek
Cklek
Kreeek
Bugh
Krak
Krak
Krak
"Siwi! Berhenti!"
Apakah Siwi berhasil melarikan diri dari Raka?
****
Deg-degan nulisnya 🤣😂😂
Versi lengkap sudah tersedia dalam bentuk ebook di google play store
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top