Chapter 9

PEEK A BOO

Chapter 9

Ronde 6

Discalimer

Masashi Kishimoto

Story By

Lavendark

[Hinata Hyuuga, Sasuke Uchiha]

Genre

Romance, Drama, Slice of Life

.

.

.

Chapter ini dibuat atas request-an @Miss_Sherly Semoga puas dan sepadan dengan request-an ku ya.....

.

.

.

.

Enjoy Reading!

.

.

.

.

.

.

.

--- Ronde 6 ---

.

.

"Hinata-san, kupikir toko mu bisa naik pamor dan popular setelah ini!"

"kenapa begitu?" Hinata terkekeh geli.

Ayame terpekik girang sebentar, sampai dia melanjutkan lagi kata-katanya.

"Kau tidak akan percaya ini! pelanggan yang sedang main dengan Hime,.... Yang memesan lily putih! Dia wanita yang berasal dari keluarga tersohor" lagi, Hinata terkekeh, sedikit terhibur dengan nada Ayame yang seperti seorang fans kepada idolanya.

"Kau terlihat senang sekali...... memangnya siapa?"

.

.

"Ibunya Uchiha Sasuke!

....

......Uchiha Mikoto!"

DEG!

.

.

.

...

.

.

.

Sasuke menghempaskan punggungnya pada jok depan mobil dengan kasar. Sedikit mengusap wajahnya sebentar. Onyxnya menatap datar Gedung apartemen sahabat dobenya. Dia merasakan sebuah getaran aneh.

Tidak nyaman tapi dia merasa senang.

"Ada apa denganmu, Uchiha Sasuke?" tanya pada dirinya sendiri. Menatap kaca persegi panjang bagian atas. Buruk. Tadi malam, setalah mimpi basahnya dengan si janda penjual bunga, membuat Sasuke tak bisa tidur lagi.

Sialnya, masih ada dokumen yang menggunung sedang menunggu di kantornya.

Sasuke mencoba rileks, tanpa sadar hidung mancungnya berhasil mencium aroma asing.

Nyaman dan.... Enak?

Hidung Sasuke bergerilya, berhenti tepat pada jok sampingnya. Sepertinya harumnya memusat disana. Di jok yang beberapa saat lalu di duduki oleh si janda beranak satu.

Tunggu. Entah kenapa Sasuke merasa familiar dengan aromanya. Kapan dia pernah mencium aroma ini?

Tanpa disadari, Sasuke sudah asik menggesek-gesekan hidungnya pada joknya sendiri.

Tersadar dan langsung merutuk. Entah kenapa dia terlihat seperti om-om mesum.

"Ada yang aneh saat aku melihat janda itu" dia bergumam. " mungkinkah aku jatuh cinta padanya?" lanjutnya lagi.

Sasuke mendengus.

"Bodoh!" benar. ini gila. dia itu Sasuke Uchiha. Pria dengan kekayaan, ketampanan dan bakat alami yang termukjizatkan. Sangat gila saat dirinya justru tertarik pada janda di umurnya yang sudah mencapai kepala tiga ini. setidaknya Sasuke harus menikah dengan perempuan kasta tinggi, setelah itu cerai dan jadi duda agar derajatnya tak jauh beda dengan si janda penjual bunga.

Sasuke mengambil ponselnya, berusaha mengenyahkan pemikiran gilanya dengan mencari kesibukan. Sasuke akan mengirim pesan pada Karin untuk menyiapkan rapat besok. Hari ini entah kenapa dia malas untuk berangkat ke kantor. Biarlah dokumen dikerjakannya besok.

Jempolnya hampir menekan tanda hijau di ponselnya, namun terhenti saat onyx itu menangkap siluet seorang wanita yang keluar Gedung denga tergesa-gesa dan terlihat panik.

Bukankah itu si penjual bunga?

.

.

.

...

.

.

.

Hal yang pertama Hinata lihat saat tiba di depan tokonya adalah pria berambut putih berdiri dengan tenang disana. Didepannya terpakir mobil yang Hinata yakini sangat mahal. Setelah membayar taksinya, Hinata berlari kecil menuju tokonya.

Hinata mencoba mengabaikan lelaki tersebut.

Namun anehnya si pria malah membungkuk sopan padanya.

Eh? Apa Hinata sebelumnya pernah bertemu? Sepertinya tidak.

Hinata berfikir logis, mungkinkah pria ini supir dari Uchiha Mikoto?

Dengan basis sopan santun, Hinata kian menunduk dan ikut tersenyum. Mengabaikan jati diri sebenarnya dari pria itu.

Setelahnya, Hinata masuk ke tokonya.

Seperti biasa, saat pintu terbuka, suara lonceng akan berdenting. Harum bunga akan memanjakan hidung. Ayame akan menyapanya Dan celoteh putrinya akan menghangatkan telinganya. Hinata merasa matanya mulai iritasi, melihat pemandangan putrinya sedang bermain dengan neneknya membuat Hinata meringis dan mual.

Bagus. Apa lagi sekarang? Bagaimana cara Hinata untuk bersandiwara dengan baik?

Hinata mendekat, lalu membungkuk sopan.

"Kaachan!" Himeka menerjang kaki Hinata, dan Hinata hanya tersenyum sambil mengusap kepalanya.

"Apakah Mikoto-sama yang memesan bunga lily?" Hinata memulai percakapan, berusaha menjauh dari bahasan mengenai Himeka. Hinata berusaha mengabaikan kejadian memalukan tempo lalu di apartemen Sasuke.

Mikoto diam, lalu tak lama sedikit tersenyum kecil dan mengangguk. "apakah ini putrimu?" suaranya lembut, namun entah kenapa membuat Hinata menciut. Sial.

Kenapa harus tanya masalah putrinya sih?

Hinata tersenyum kikuk, lalu mengangguk kaku.

"Cantik" ucapannya ambigu. Hinata merasa kata cantik itu untuk putrinya, bukan dirinya. Jadilah Hinata juga menjawab dengan ambigu.

"Terimakasih" Hinata mengangkat Himeka. Menggendong putrinya yang sedang memuntir-muntirkan setangkai mawar. Tangannya sedikit mengusap pipi gembilnya yang tertempel remah-remah roti.

"Bibi juga cantik!" ujarnya dengan nada riang.

Hinata memang mengajarkan Himeka untuk selalu memuji orang lain. Hinata bersyukur karena Himeka menuruni sifat penurutnya. Jika sifanya seperti Uchiha.... Oh sial! Pasti akan sangat keras kepala dan arogan.

Kombinasi sempurna. Oh terimakasih Kami-sama.

Akhirnya, Hinata memilih duduk bergabung. Inginnya dia mengusir Mikoto pada saat itu juga, namun jika dilakukan demikian, justru hanya akan menimbulkan kecurigaan. Hinata memilih pasrah. Bersikap tenang adalah kunci utama untuk menang. Itulah yang diajarkan Ino padanya.

"Kau sungguh beruntung" perkataan Mikoto menyentak Hinata. Amethisnya menatap obsidian hitam di depannya. Mikoto lagi-lagi tersenyum kecil.

Apa maksudnya sungguh beruntung?

Apa yang direncanakan wanit tua ini? tanya Hinata dalam hati.

Yang Hinata ingat, semalam Mikoto berlaku sangat dingin padanya. Mengusirnya dan terlihat tak tertarik padanya. Tapi sekarang? Dia justru tersenyum kearahnya, Dan lagi... kedatangannya ke sini sangat mencurigakan. Secepat itukah Mikoto mendapatkan alamat tokonya?

"kenapa beruntung?" Hinata bertanya. Sedikit terusik saat Himeka mulai menggeliat minta turun dari pangkuan.

"Ayahnya pasti sangat mencintaimu, ya kan?" pandangan Mikoto teralihkan pada si kecil yang manis.

Hinata diam, berusaha mencerna ucapan Mikoto yang terdengar sangat ambigu. Hinata tau, perempuan sosialita ini adalah perempuan yang pintar dan tak mudah di bodohi.

Hinata berusaha terlihat tersipu, lalu memandang Mikoto dengan malu-malu. "Seperti itulah, suamiku memang mencintaiku" ujarnya, sambil menekankan kata suami di kalimatnya.

Lagi, Mikoto hanya tersenyum kecil kearahnya.

Sialan! Hinata benar-benar tak nyaman di senyumi seperti itu.

"pepatah mengatakan, kemiripan seorang anak, memperlihatkan seberapa besar cinta orang tuanya. Jika aku melihat putrimu, sudah pasti suamimu lebih mencitaimu dibanding dirimu pada dirinya" akhirnya Himeka turun dari pangkuanya, berlari kearah jajaran bunga tulip.

Hinata mematung, berusaha melarikan matanya untuk memandang Himeka.

Jangan sampai kegugupannya terlihat!

Mikoto memandangnya lagi. Hinata menelan ludah. "benar bukan? Putrimu sangat mirip dengan ayahnya" Hinata mengikuti arah pandang Mikoto. Tatapan itu jatuh pada sebuah figura di meja kasir. Fotonya dan Utakata senpai.

Hinata tersenyum.

Untunglah Utakata memiliki kemiripan dengan Uchiha.

"Itu hanyalah sebuah pepatah. Kenyataannya cinta kami berdua, sama-sama tak bisa di ukur" jawab Hinata seadanya.

"ah... kau cukup romantis" balasnya. Hinata bersumpah, sejenak dirinya melihat Mikoto seperti menyeringai ke arahnya.

"Ah, sepertinya aku sudah terlalu lama disini" tangan ayu itu bergerak keatas, Mikoto menatap jam tangannya. "putrimu terlalu lucu untuk dilewatkan" Mikoto berdiri, Hinata ikut berdiri. "kalau begitu, aku akan kembali lagi untuk mengambil pesananku nanti" Hinata mengangguk, menyuruh Himeka mendekat kepadanya.

Himeka mendekat, lalu dengan segala yang telah diajarkan oleh Hinata,... Himeka membungkuk untuk mengucapkan selamat tinggal. Mikoto merasa gemas sendiri melihatnya.

Gadis penurut.

"Dia menggemaskan!" ujarnya, tanganya mengusap-usapkan rambut raven Himeka.

Lagi, Hinata hanya tersenyum canggung. Bersyukur dalam hati, karena wanita tua ini akan segera enyah dari tokonya.

Setelah sedikit berbasa basi mengucapkan ucapan pamit, akhirnya Mikoto keluar toko, dengan Himeka yang masih melambai-lambaikan tangannya lucu.

Hinata menggendong Himeka, lalu berjalan mendekat kearah Ayame yang sibuk dengan buku catatannya. Mencoba berdiskusi ulang tentang siapa saja yang sudah membeli bunganya.

.

.

.

"Nyonya, tidak jadi mengancamnya?" Kakashi yang sejak tadi berdiri di depan toko, memulai pembicaraan. Mereka berdua berjalan menuju mobil. Kakashi memang tak mendengar obrolan mereka, tapi melihat raut wajah nyonya-nya dan juga si penjual bunga yang santai, membuat Kakashi menyimpulkan jika memang taka da keseteruan diantara keduanya.

"Putrinya lucu. Aku tak tega jika harus marah-marah pada seorang ibu yang berjuang membesarkan anaknya sendirian" jawabannya membuat Kakashi mengernyit. Memang di pandang bagaimanapun, anak kecil yang tadi sibuk berceloteh bersama nyonya besarnya itu sangat menggemaskan.

Jika bisa dipesan, tentu Kakashi akan memesan satu yang seperti itu, lalu mewarnai rambutnya dengan warna putih.

"benarkah? Jadi nyonya merestui tuan muda dengannya?" tanya lagi, tangannya dengan sigap membukakan pintu untuk Mikoto.

Mikoto terkekeh sebentar. Lalu memandang Kakashi dengan geli.

"Sayang sekali dia seorang janda" jawaban yang ambigu.

Setelahnya Kakashi menghela nafas, hidup dalam keluarga terpandang memang sulit.

Segalanya sudah diatur.

"Putrinya mengingatkanku pada foto lamaku" ucapan itu membuat Kakashi mengernyit.

Benar juga. Dilihat darimanapun, gadis kecil itu seperti seorang Uchiha.

Mata onyx dan rambut raven yang khas. Hanya saja.... tentu mayoritas manusia dibumi juga memiliki mata dan rambut hitam. Jadi,... itu tidak mungkin.

"benarkah?" Kakashi bertanya dengana acuh.

Mikoto hanya mengangguk menjawabnya. "kuharap Itachi atau Sasuke bisa memberikanku cucu sepertinya" lanjutnya lagi. Mikoto masuk mobil, berusaha menyamankan dirinya di jok belakang.

Kakashi menutup pintunya dan menyusul masuk kedalam mobil. Dalam hati Kakashi, sedikit sedih saat sang nyonya besar sudah sangat mendamba seorang cucu yang lucu.

Saat mobil hitam itu meluncur, tak jauh darinya, tatapan onyx lain memandangnya dengan murka.

.

.

.

...

.

.

.

"Apa yang kaasan lakukan?" Sasuke bertanya dengan nada yang terdengar kurang ajar ditelinga Mikoto. Sore ini, Mikoto sedang menikmati teh melatinya. Tiba-tiba putranya datang dan menodong dengan nada yang kurang mengenakan.

Entah kenapa, teh melatinya jadi terasa hambar.

"Meminum teh. Apalagi?" jawabnya santai. Kembali menegak tehnya dan bermanja-manja dengan tabloidnya.

"untuk apa kaasan mendatanginya?" Sasuke berusaha menyabarkan dirinya. Benar, kedatangan salah seorang keluarga Uchiha terkadang membuat dirinya risih. Bukan karena dirinya tidak menyayangi keluarganya, hanya saja,... berada di sekitar keluarganya, membuat Sasuke merasa terkekang.

"Mendatangi siapa?" Mikoto mempertahankan wajah innocennya, meski dirinya tau jika yang dimaksud sang putra adalah si penjual bunga. Mikoto merasa aneh, kenapa putranya menjadi bertele-tele seperti ini?

"Perempuan penjual bunga yang kemarin" Mikoto hanya mengangguk menanggapi ucapan Sasuke, dan itu membuat Sasuke kurang puas dengan reaksinya "apa kaasan mengancamnya?" Sasuke bertanya mendesak.

Mikoto berdiri, berjalan santai mendekat ke salah satu rangkaian bunga yang kemarin dibuat oleh Hinata. Tangan ayunya mengusap-usapkan kelopaknya, sedangkan matanya menatap air segar dalam vas nya.

"Entahlah" jawabnya tanpa minat.

"Kaasan, sudah kubilang... dia bukanlah siapa-siapa. Aku juga tak mengenalnya. Lagipula, dia adalah janda dengan satu orang anak. Aku sadar diriku adalah Uchiha---"

"apa yang ingin kau katakan, Sasuke?" perkataan Sasuke terpotong oleh Mikoto. Mikoto masih tak minat memandangnya, lebih tertarik pada rangkaian bunga yang sedang dirabanya.

"dia bukanlah tipe ku. Aku sama sekali tak tertarik padanya. Jadi,... cukup bermain-mainnya" Mikoto terkekeh mendengarnya. Sasuke jarang sekali bersikap membangkang padanya, hanya beberapa kali. Dan kali ini juga sama.

"kau ingin membodohi kaasanmu sendiri, Sasuke?" Mikoto memandangnya, dan Sasuke hanya menukikan alisnya "dilihat dari sisi manapun, kau sangat tertarik padanya"

"Apa?"

"Sejak kapan kau peduli dengan apa yang akan kaasan lakukan pada seorang perempuan?

Sejak kapan kau mau repot-repot bertengkar dengan kaasan hanya untuk seorang perempuan?

Sejak kapan kau mengkhawatiri seorang perempuan?

Putraku Sasuke akan masa bodo dengan nasib seorang gadis bila dia tak tertarik dengannya.

Jadi Sasuke, kenapa kau terlihat sangat membela dan menghawatirkannya?"

Sasuke diam membisu. Diberondong dengan banyak kalimat itu membuat Sasuke ikut bertanya pada dirinya sendiri.

Sejak kapan? Benar.

Sejak kapan dirinya menaruh eksistensi pada mahluk yang disebut wanita? Tidak pernah, kecuali pada kaasannya.

Sasuke mulai berfikir-fikir, kenapa dia seperti menjadi orang lain seperti ini? tiba-tiba menggigit leher, ikut membeli bunga, dan terakhir menciumi jok mobil. Bukankah itu aneh? Dan sekarang dia justru marah pada kaasannya hanya karena seorang wanita??? Sepertinya Sasuke juga tak mengerti kenapa dia seperti ini.

"Sasuke, dia seorang janda" ucapan Mikoto bagai setrum yang menyadarkannya.

Benar, penjual bunga itu sudah menikah. Hyuuga Hinata adalah seorang janda beranak satu.

Sasuke mengeratkan gengamannya, rahangnya mengeras. Entah kenapa dia merasa marah... marah pada dirinya sendiri. Dia membenci rasa aneh yang mulai menjalar pada dadanya.

"Ne, Sasuke? kau harus tau batas dan takdir seorang Uchiha" lanjut Mikoto lagi. Kedua onyx itu saling memandang intens.

Tanpa mengatakan apapun, Sasuke memilih pergi dari sana, meninggalkan kaasannya yang memandangnya dengan raut tak terbaca.

"Sayang sekali, Sasuke"

.

.

.

...

.

.

.

"Maaf Haruno-san, aku tak bisa menerima tawaranmu" Hinata menyeruput tehnya, memandang Haruno Sakura dengan raut yang di buat merasa bersalah dan tak enak, meski kenyataannya Hinata tak merasakan demikian.

Dibanding merasa bersalah ataupun tak enak, Hinata lebih jijik dan kesal pada sifat seorang Haruno Sakura. Apa-apaan dia? Tiba-tiba menyeretnya ke kafe terdekat lalu menginginkannya untuk menjadi pendekor bunga di pernikahannya? Apa perempuan itu gila?

Hinata tak mau bertemu dengan Naruto yang berisik. Dan yang paling membuatnya anti adalah kenyataan jika Sakura dan Naruto adalah sahabat dari ayahnya Himeka. Orang yang paling Hinata hindari di hidupnya.

Meski Hinata cukup sedih dalam hati. Bayaran untuk menjadi pendekor bunga di acara besar sangat lumayan.

Oh rezeki nya yang malang.

"Kenapa?" Sakura memandang Hinata tak mengerti, ada raut sedih disana. "bukankah kau menawarkan jasa tersebut? Aku membacanya di kartu namamu" Hinata diam, berusaha mencari jawaban yang logis.

"Dalam waktu tiga bulan ke depan, aku sudah menerima banyak pesanan. Toko ku sudah tutup jasa untuk beberapa waktu ke depan" Ujarnya berbohong. Hinata agak risih saat melihat Sakura justru menyipit curiga.

"ah begitukah? Eum, ngomong-ngomong panggil aku dengan nama Sakura" Hinata mengangkat alisnya? Namun tetap mengangguk agar semua tak berjalan bertele-tele.

"oh ayolah... aku suka dengan karangan bungamu, pernikahanku sebentar lagi....." Sakura memohon padanya, dan Hinata sungguh tak peduli.

Siapa peduli?

"sebagai perempuan yang sudah pernah menikah, seharusnya kau juga tau kan bagaimana pentingnya arti pernikahan untuk perempuan" lanjutnya lagi.

Ah benar juga, Sakura tau jika dirinya adalah seorang janda. Hinata tidak terkejut, pasti pria pirang kaya bermulut ember itulah akarnya. Terlihat sekali. Seorang seperti Naruto tak mungkin bisa menjaga rahasia dengan baik.

"ya aku mengerti, namun aku tetap tak bisa, Sakura-san" Hinata kekeh. Jangan sampai dia terlibat lagi dengan Uchiha Sasuke lebih jauh dari ini. jujur saja, selama berada di apartemen Naruto, Hinata merasa jika Sasuke selalu curi pandang padanya.

Entah apa maksudnya, namun Hinata takut jika Sasuke mulai menyadari jati dirinya.

"kumohon.... Batalkan salah satu pesananmu ya??? Lalukan itu demi temanmu ini" nadanya dibuat mengemis, dan Hinata hanya menatapnya terkejut.

Teman katanya? Jangan gila! darimana asal usul hubungan itu ada???

Seingatnya dia hanya membuat buket bunga pesanan calon suami perempuan di depannya ini? jadi... kenapa dia sekarang seenaknya mengklaim bahwa mereka berteman?

"Haaah.... Sakura-san, meski kau adalah temanku, namun aku tetap tak bisa melakukannya" Hinata pasrah, terserahlah perempuan pinky ini mengklaimnya sebagai temannya, toh dalam waktu sebulan dua bulan, Hinata akan pergi ke amerika untuk menyusul Ino. Toko bunga akan ia percayakan pada Ayame. "maaf Sakura-san, toko kami memiliki prinsip yang tinggi dalam profesionalitas. Kami tak memandang teman ataupun sejenisnya" lanjutnya lagi. semenjak berteman dengan Ino, Hinata menjelma menjadi perempuan yang pandai berkelit dan bersandiwara

"Yang memesan duluan, adalah yang menjadi prioritas untuk ku" ucapannya dibuat lantang dan tegas. "jadi Sakura-san, maaf... meski kita berteman, aku tetap akan memprioritaskan pelanggan yang sudah memesan jauh sebelum dirimu" Hinata tersenyum dalam hati. Tak menyangka jika dia bisa pintar bicara seperti ini. ah andai dia kuliah... dia akan mengambil jurusan hukum dan menjadi pengacara. Meraup banyak uang dan membela kebenaran.

Sakura mencebik kesal. Otaknya mulai tumpul, tak menyangka jika perempuan berambut indigo ini sangat keras kepala. Mau bagaimanapun Sakura sangat tau jika si perempuan ini berbohong perihal pesanan yang menumpuk. Perempuan ini hanya sedang menghindarinya. Entah apa alasannya.

"Eum.... Ah! Bagaimana jika aku membayar lebih" ini penawaran terakhir Sakura.

Hinata diam. membayar lebih? Ah apa si perempuan pink ini sedang berusaha menyuapnya? Hinata rasanya ingin tertawa saja. bukankah sudah Hinata bilang? Dia akan menghindari segala hal yang berhubungan dengan Sasuke. Hinata tak tertarik dengan suap menyuap.

"maaf Sakura-san ak—"

"aku akan bayar sepulu kali lipat dari harga sebenarnya" Sakura memotong perkataan Hinata dengan lantang.

"Setuju!" Hinata menjawabnya tanpa berfikir ulang.

Oh ayolaaah..... sepuluh kali lipat??? Apa Hinata bisa mengabaikan itu? tentu tidak bisa! Uang itu lebih dari lumayan. Hinata bisa memakainya untuk memperbagus panti asuhan dan juga menabung untuk Pendidikan Himeka.

Masalah Uchiha Sasuke, bisa dipikirkan nanti. Toh Hinata bisa menyuruh Ayame untuk memegang kendali.

Sedangkan Sakura tersenyum menang, masa bodo dengan uang yang akan dikeluarkannya, toh yang bertanggung jawab terhadap biaya pernikahan adalah Naruto. Dia anak orang kaya.... Sekaya keluarga Uchiha. Yang paling penting, Sakura tak ingin melewatkan tontonan Uchiha Sasuke yang sedang kasmaran.

.

.

.

...

.

.

.

Mikoto duduk di balkon dengan santai. Dia masih berada di apartemen Sasuke. keinginannya untuk pulang ke Tokyo sudah hilang entah kemana. Persetan dengan suaminya yang mulai uring-uringan karena merindukannya. Mikoto masih ingin memantau Sasuke-nya. Dia tak mau jika putranya itu mulai berulah lagi. Tentu sebagai seorang ibu, Mikoto tak mau putranya ditendang dari keluarga dan menggembel di luar.

Terlebih ada beberapa hal yang mengganjal dalam otaknya.

Mikoto mengambil ponselnya, lalu mengubungi bawahan kepercayaannya -Kakashi. Menekan tombol dan nada sambung langsung menyapa telinganya.

Tak butuh waktu lama hingga orang diseberang mengangkat panggilannya.

"Halo, Nyonya"

"Halo Kakashi. Kau dimana?" Mikoto berusaha menyamankan posisi duduknya.

"saya dikantor tuan muda Sasuke" jawabnya.

"Kakashi, aku tau jika kau bekerja untuk suamiku. Tapi kau tak lupakan, siapa yang membawamu untuk bekerja di keluarga Uchiha?"

"ya Nyonya, andalah yang membawa saya"

"Kalau begitu, bisakah aku percaya padamu? kau tau, aku membenci penghianat" ujarnya, mata onyxnya memandang plastik putih kecil yang berada di atas mejanya.

"Tentu, Nyonya"

"aku ingin kau mencari lebih teliti dan spesifik tentang Hyuuga Hinata. Dan aku ingin kau pastikan, tentang rumah asalnya, tanggal kepindahannya dan sebagainya"

"Baik Nyonya"

"Rahasiakan penyelidikanku dari siapapun, termasuk Fugaku" Kakashi membalas menyanggupi, Membuat Mikoto tersenyum puas.

Lalu tangan putih Mikoto bergerak mengambil plastik kecil transparan yang sedari tadi dipandanginya. Mengangkatnya hingga sejajar dengan wajahnya. "Dan satu lagi Kakashi" mata onyxnya memandang intens helaian rambut hitam yang berada di dalam plastik itu.

.

.

.

"Aku ingin kau lakukan sebuah Tes DNA"

.

.

.

TBC

.

.

Semoga bisa mengobati rasa penasaran kalian.

.

.

Signature,

Lavendark (17 April 2019)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top