Lost in Memories
Caraku menemukan mu di album memori itu
Aku menatap tingginya bangunan tempat ku berpijak, apartemen yang ku tempati, kota tempatku singgah semuanya terlihat begitu kecil dari atas sini. Dari ketinggian 700 meter Fukuoka seperti mainan bongkar pasang milik anak-anak.
Dingin menusuk kulit, mengigil ku semakin bergetar.
"Apa ini jalan terbaik?" Berkali-kali kutanyakan hal itu pada diriku sendiri.
"Apa jika aku melakukan ini tuhan akan membenci ku?" tanyaku lagi, tidak jangan pikirkan tuhan untuk saat ini.
Karna menilik semua yang ku alami sampai saat ini, mungkin ia telah menelantarkan ku setelah bermain-main dengan nasib ku.
Entah takdir macam apa yang ia berikan padaku hingga aku harus memikul takdir dunia ini dan keselamatan umat manusia.
Tahun 2016 yang lalu, entah bagaimana caranya aku tersadar di markas besar yang bertugas menjamin keselamatan umat manusia, Chaldea. Tanpa persiapan aku diberikan beban berat untuk di pikul, dengan membenarkan setiap persimpangan sejarah memungkinkan manusia bertahan hingga 100 tahun ke depan.
Benar beban itu kini telah ku laksanakan sebaik mungkin hingga masa depan manusia terjamin hingga seratus tahun kedepan, namun perjalanan panjang perjuangan ku saat itu tentu saja menghasilkan cerita dan cinta.
Takdir yang tuhan tuliskan untukku mempertemukan kami berdua sebagai servant dan master, sang raja dalam legenda Excalibur, Arthur Pendragon.
"Persetan dengan 100 tahun kedepan jika nyatanya hari-hariku telah mati tanpa dirinya" aku meringis menertawakan takdirku sendiri.
Aku tak perlu menunggu 100 tahun, aku takkan menunggu ajal menjemputku saat aku terbaring di ranjang hangat dikelilingi cicit-cicit ku, kisah ku akan ku akhiri sendiri disini.
.
.
.
"Senpai? Senpai? Apa kau mendengarku? Duh, senpai kenapa selalu tidur disini? Senpai nanti masuk angin loh" samar sebuah suara familiar terdengar gigih membangunkan ku , memaksa ku bangun dengan tangannya yang tak berhenti menepuk pipi ku, perasaan ini rasanya familiar sekali.
Perlahan aku membuka mata amethyst ku, sesekali berkedip membiasakan cahaya yang berombongan masuk.
"Ini dimana?" aku mengedarkan pandangan ku, ruangan ini bukan apartemen ku, namun rasanya juga ta asing.
"Senpai! Syukurlah kau sudah bangun, sekarang bergegaslah! Da VincVinci-san dan Arthur-san telah menunggu mu di ruang rayshift" ujarnya menarikku, tidak! Lebih tepatnya menyeretku yang masih belum sadar sepenuhnya.
"Mashu sebenarnya kita akan pergi kemana?"
"Eh? Mashu? Eh?"
"Ini dimana?"
"Kau siapa? Kau Mashu kan? Tapi bagaimana mungkin?" aku tak berhenti terkejut.
Bagaimana bisa aku kembali ke tempat ini? Ini Chaldea bukan? Aku yakin 100% bahwa tempat ini Chaldea, desain interiornya tak berubah seperti pertama kali aku datang ke tempat ini.
Kami sampai di ruang rayshift, Da Vinci-chan menyapa ku hangat selayaknya Da Vinci-chan yang ku kenal.
"Tidur nyenyak Maia?" aku hanya diam, melongo lalu mengangguk, mengiyakan apapun yang dikatakan Da Vinci padaku.
"Anu, Da Vinci-san, Maiya-senpai tak terlihat dalam kondisi baik, pagi ini kutemukan ia tergeletak di lorong lagi" ujar Mashu, aku melihat Da Vinci chan menghela nafas berat.
"Sudah kuduga, Arthur beginilah master mu tolong terima ia apa adanya yah" Da Vinci mengedip pada seorang pria di sampingnya.
"Ar..... thur? Arthur katamu?" aku tak percaya ini, aku tak percaya pria yang berdiri di depan ku ini adalah Arthur.
Aku berdiri, sementara kedua kaki ku bergetar masih tak percaya kini ia ada di depanku, Arthur ku.
"Syukurlah...."
"Syukurlah...."
"Aku merindukanmu! Aku merindukan mu! Kumohon jangan tinggalkan aku, aku tak ingin berpisah dari mu" aku tak mengerti apa yang ku tangisi, ini bukan sifat ku sama sekali, aku bukan wanita yang suka memperbesar masalah.
"Master?" panggil Arthur, aku tak tau mengapa namun raut wajahnya kini jelas menunjukkan bahwa ia keberatan berada di pelukan ku.
"Apa yang kalian tunggu? Cepat pergi!" Da Vinci mendorongku dan mengaktifkan mesin rayshift, Mashu melambai padaku.
"Aku ingat hari ini" teriak ku sebelum mesin rayshift membawa tubuh kami berdua.
"Ughhh..." lenguhku, kepala ku sakit, tubuh ku menunjukkan penolakan pada sistem kerja mesin rayshift.
Perasaaan ini seperti saat aku pertama kalinya tiba di tempat ini.
Wajar saja, sudah 5 tahun lamanya aku tak lagi mengemban misi ini.
5 tahun lalu peradaban umat manusia di pastikan akan terus berjalan, misi ku selesai dan kami para master di kembalikan ke rumah masing-masing dengan sebuah imbalan tentunya.
Markas besar Chaldea sengaja di ditimbun longsor salju hingga dipastikan tak satupun jalan masuk atau fasilitas masih berfungsi, ini dilakukan demi menghindari kesalahan yang mungkin dilakukan manusia di masa depan.
Chaldea terkubur bersama kenanganku, para staff dan petinggi asosiasi sihir tak mengizinkan ku membawa apapun kecuali kenangan yang baru-baru ini juga mereka coba rebut dari ku.
"Master berpegangan lah padaku" aku mengganguk patuh, Arthur benar-benar mendekapku reflek tubuhnya seolah berkata "Aku akan melindungi mu dengan hidupku"
Ah.... apa ini mimpi? Aku tak igin bangun, tak ingin pergi bahkan jika kini kami tengah terjebak dalam waktu yang terus berulang aku ingin terus bersama Arthur.
Diujung terlihat cahaya menyilaukan, mengerumunikami berdua.
"Arthur itu jalan keluarnya" teriakku bahagia, jika benar aku kembali ke masa lalu lantas petualangan kami akan dimulai kembali.
Aku bisa memulai semua dari awal, bersih tanpa kesalahan, tentu saja akan ku selamatkan dokter Roman dan Da Vinci-chan sejak disini aku masih memiliki ingatan tentang mereka semua.
Takdir? Akan kuubah mereka semua.
BRAKKK....
"Fou, Fou..." aku mengedarkan pandanganku, ini bukan training ground yang Arthur dan aku tuju.
"Fou..." aku sedikit mengadah, menemukan iblis berbentuk tupai yang mungkin juga disebut anak anjing itu bermain di kepala ku.
"Fou? Apa yang kau lakukan disini?"
"Fou, Fou..." jawabnya, percuma.
Meskipun aku tau sejatinya Fou adalah catalpulg aku tetap tak bisa memahami ucapannya.
"Master! Ternyata kau disini apa yang kau lakukan di tempat ini dengan Fou? Makan malam menunggu kali ini servant Emiya yang berhasil kau panggil itu memasak sesuatu, tidakkah kau cium aroma harumnya yang sampai ke tempat ini?" Arthur menunduk, bibirnya menahan senyum ketika menemukan ku tergeletak kebingungan di tempat ini.
"Aku tau apa yang saat ini kau pikirkan Arthur" teriakku menolak bantuannya tuk berdiri.
"Apa? Aku bahkan tak mengatakan apapun" tawanya lolos, malu bercampur marah ku palingkan wajah ku tak ingin melihatnya yang kini sedang menertawakan ku.
"Dengar yah! Aku sedang tidak tidur sambil berjalan!" tawanya semakin mengeras, menggema di lorong Chaldea, kenapa ia tertawa? Apa aku terlihat konyol untuknya?
"Baik maafkan aku, ayo berdiri kita akan kehabisan jatah makan malam dan makanan penutup nya" tawarnya mencoba membujukku.
"..."
Lama tak mendapat jawaban dari ku Arthur duduk di depan ku, punggung nya menghalangi pandangan ku.
"Apa yang kau lakukan?"
"Mati bersama mu, jika kau tiada eksistensi ku juga tak berarti, tidak di perang yang kita perjuangkan ini ataupun bagiku sendiri, dan mantra perintah itu adalah bukti ikatan kita"
"A-a Aaaaaa, HAAAAA? Kau bodoh? Mana ada orang mati hanya karna melewatkan makan malam? " suara ku menciut.
"Gezzz... baik-baik! Aku pergi, ayo makan!" matanya berbinar namun tak lama kemudia ia mencegahku bangkit.
"Apa itu dilututmu? Darah? Apa kau terluka?" tanyanya bertubi-tubi.
"Sepertinya lecet habis terjatuh, lupa jatuh darimana ini bukan masalah besar. Ayo Arthur kita akan kehabisan-" aku bersih keras melangkah dan Arthur juga bersih keras mencegahku.
"Depan atau belakang?" ia memegang sebuah koin, kami sering melakukannya setiap berselisih untuk mencari jalan keluar yang di tentukan oleh keberuntungan atau bahkan mungkin takdir.
"Untuk apa?" tanyaku.
"Depan atau belakang?" Arthur mengulangi.
"Depan" jawabku, Arthur melempar koin di tangannya dan saat koin itu terjatuh di lantai mata koinnya menunjukkan sisi belakang koin.
"Aku kalah?" tanyaku masih tak mengerti apa tujuannya kali ini.
"Tidak, kau tak pernah kalah. Sayang sekali koin ini mengatakan aku harus menggendong mu di punggungku" ia tersenyum penuh kemenangan.
"Tunggu dulu!? Apa jika mata koin menunjukkan sisi depan apa itu artinya bridal st- styl"
"Benar sekali, sayang sekali bukan?"
"Tidak sama sekali!" teriakku.
Aku hanya bisa diam, rasanya baru saja aku mengenal Arthur dan kami membuat kontrak. Namun kini kami begitu dekat seolah dinding bernama kenyataan bahwa kami berbeda era tak lagi berlaku.
Surai pirangnya yang masih basah, dengan harum shampoo sama seperti yang kugunakan.
Ah... aku merindukan punggung Arthur. Sosok tegapnya yang tak pernah mengeluh setiap kali membawa ku yang berkali-kali terluka akibat kecerobohan ku sendiri.
"Arthur, berjanjilah padaku jangan pernah tinggalkan aku" tak sengaja kata itu terlontar begitu saja.
Mungkin luka pahit dimana aku dan Arthur tak lagi bersama itu membuatku ketakutan bahwa ini mimpi sementara luka itu kenyataan.
"Aku berjanji"
Kami sampai di pintu silver Chaldea, Arthur memutar gagang pintunya.
"Aku mencintaimu Maia" air mataku berderaian, menetes hingga membasahi piyamanya.
Pintu terbuka, dan cahaya yang sama menarikku pergi dari sisi Arthur. Aku menatap wajah Arthur yang berdiri mematung di depan pintu sambil terus meronta dan meneriaki namanya.
BRAKKK
"Arghhhh..." baru saja mulutku mengeluarkan darah, dan kali ini rasa sakit memenuhi setiap cela tubuhku.
"Dimana ini? Tempat apa ini? A- apa itu" aku menatap tak percaya sebuah pohon super besar tengah menggeliat, menyemburkan sinar laser yang membakar semuanya.
"Apa itu ciptaan tuhan? Lantas mengapa tuhan menciptakan monster seperti ini?" tatapku putus asa, tak sanggup berdiri setelah melihat kekacauan ini.
"Master..."
"Master..."
"Maia!" aku memalingkan pandanganku, menatap Arthur masih berdiri gagah di depanku meskipun luka nya tak kunjung menutup.
Kini aku mengingatnya, ini pertarungan terakhir kami. Misi terakhir hinga dunia dan umat manusia berhasil diselamatkan.
Biarpun tubuhku tak berhenti gemetaran seperti ini, misi ini akan sukses lalu para servant akan menghilang dengan berakhirnya tugas mereka.
Kesuksesan misi ini dikarenakan...
"Maia gunakan mantra terakhir mu untuk melepaskan Excalibur!"
"Aku tidak mau!"
"Apa yang? Kau bercanda?"
"Aku tidak mau! Daripada diguanakan untuk melepas Excalibur lebih baik kugunakan untuk membuatmu berhenti bertarung!" ancamku, kesuksesan misi ini adalah senjata pamungkas milik Arthur Excalibur.
Kita akan berpisah disini, aku tau itu. Aku tak menginginkan luka yang melubangi hati ku begitu besar. Aku takkan pernah menemukan yang seperti Arthur lagi, tidak akan pernah.
Slama ini aku, kami bertarung untuk masa depan seseorang yang tak kukenal. Dan mengorbankan semuanya demi masa depan yang masih berada di ambang, tak pasti dan fana.
Untuk kumpulan manusia yang tak pernah puas dan selalu mengulang kesalahan yang sama. Lantas untuk apa pengorbanan ini? Baik aku atau Arthur tak seharusnya kami berkorban, kenyataannya masa depan yang ku lihat adalah nyata.
Hidupku yang hampa tanpa Arthur adalah kutukan tanpa akhir yang harus kujalani.
"Dengan manttra terakhir ku perintahlan padamu untuk-"
Aku bungkam, tau-tau Arthur telah melompat mengecup bibirku, ia menghentikanku menggunakan mantra terakhirku.
"Apa yang kau takutkan, perjuangan mu berakhir disini Maia? Kau merindukan sakura dan musim semi bukan? Atau bunga matahari yang selalu tumbuh setiap tahunnya di pekarangan rumahmu, aku tau kau merindukannya"
"Perjuangan ku tidak berakhir sampai disini, kuhabiskan waktu ku untuk mencarimu di masa depan yang tak pasti itu, sengsara kudapati tak satupun petunjuk kudapatkan sementara hati ini terus bergejolak, rinduku membara namun tak tau harus ku lampiaskan pada siapa lantas masa depan seperti apa yang ku perjuangkan saat ini" aku bersih keras.
Tak ingin kalah dengan takdir mengerikan yang menunggu ku di masa depan itu, takdir tanpa Arthur. Ku pukul dadanya, meronta tak ingin berpisah disini.
"Kini aku berjuang untuk masa depan mu, hiduplah maka aku kan hidup bersama mu, tak peduli setinggi apapun dinding bernama takdir itu aku akan bersama mu Maia, jika nanti cawan meminta ku untuk melupakan kenangan yang kita berdua bentuk ini akan ku janjikan padamu satu hal. Hanya namamu yang takkan ku lupakan sebagai tambatan hati." Ia mengecup keningku, lalu menghapus air mataku dan mengangkat kembali pedang kebanggaannya, bertarung sebagai servant sekaligus kekasihku.
Aku pasrah, lagi aku mengalah dengan takdir ini. Dengan janji Arthur yang takkan pernah kulupakan. Hal yang nantinya akan menunjang kelangsungan hidupku.
14 Februari aku mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari coklat atau manisan manapun.
14 Februari takdir mempertemukan kami
14 Februari ia memberi hadiah terakhir berupa kemenangan manis dan perpisahan pahit untukku.
14 Februari kuberikan hadiah yang takkan pernah termakan waktu untuk dirinya.
Ikhlas dan janjiku tuk terus hidup dan bahagia.
Fin~
Akhir kata...
Doakan saia di rate up Arthur besok wkwkwk
Luv u all
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top