mencari senja yang lain

"Duduklah Mei, ada yang akan kami bicarakan, " kata ibu lembut,  aku menurut tanpa banyak bicara,  hari ini adalah kesepuluh hari setelah kepergian bapak. Di ruang makan ada kak Ferdi,  pak Triman,  selain ibu. Pak Triman adalah orang kepercayaan bapak dalam menjalankan usaha mebel yang telah puluhan tahun dirintis oleh keluarga bapak.

"Begini Mei,  usaha mebel bapak harus tetap jalan,  karena usaha ini tidak mungkin berhenti karena bapak meninggal, pesanan yang terus mengalir,  ratusan karyawan yang harus tetap ibu gaji, jadi mulai besok kamu yang akan menggantikan bapak,  kakakmu Ferdi sudah menjalankan usaha bapak di kota lain sebagai cabang dari usaha ini,  tidak usah takut,  pak Triman akan mendampingimu, mengajarimu agar terbiasa dengan usaha ini,  ibu yakin kamu bisa,  mengenai kuliah S2 mu,  bisa kamu pindah ke kota ini,  ibu yakin gampang mengurus kepindahannya, " ibu berbicara panjang lebar,  aku hanya diam dan mengangguk tak ada alasan untuk menolak karena memang tak ada pilihan bagiku, kak Ferdi hanya menghela napas berat,  sejak bapak meninggal,  ia seolah masih enggan berbicara denganku,  sepertinya ia masih menyalahkanku sebagai penyebab bapak meninggal.

Ku lihat pak Triman tersenyum penuh sopan padaku,  lelaki tua ini sangat santun,  betul-betul mengabdikan dirinya pada keluargaku,  sejak ia muda.

"Iya ibu saya akan mulai belajar menjalankan usaha bapak, " sahutku pelan.
"Baiklah,  terima kasih Mei,  besok kamu akan dijemput anak pak Triman yang jadi sopir perusahaan, pak Triman akan menunggu di kantor, " kata ibu lagi. 

Kulihat pak Triman pamit dan semua melangkah ke kamar masing-masing, sayup ku dengar kak Ferdi pamit untuk kembali ke Semarang. Ia tak akan pamit padaku,  itu pasti.

***

Hari pertama ke datanganku di perusahaan bapak disambut oleh beberapa pegawai bapak,  bersalaman dan mulai beraktivitas seperti biasa,  pak Triman memperlihatkan beberapa ruangan di perusahaan bapak,  mulai dari gudang penyimpanan kayu,  bahan mentah,  juga barang yang sudah jadi berupa meja, kursi, dan beberapa perabotan rumah tangga,  dan ruangan bagian finishing serta ruang display yang sangat luas,  ah kemana saja aku selama ini,  ternyata bapak punya usaha cukup besar. Aku berusaha konsentrasi sambil sesekali bertanya jika aku tidak mengerti.

Sampai kemudian bagian pengadaan barang melaporkan bahwa besok ada perusahaan kayu yang bekerja sama dengan perusahaan bapak dan akan menawarkan kayu jenis baru,  tapi masih akan menunggu persetujuanku karena sebelum meninggal bapak sudah setuju untuk membeli kayu lagi sebagai bahan baku tapi belum memilih jenis kayunya. 

Jadi besok perwakilan perusahaan tersebut akan bertemu denga ku untuk membicarakan pemilihan kayu dan deal dengan perusahaan tersebut. Aku menoleh pada pak Triman. "Saya akan mendampingi Ibu, bertemu dengan Pak Ashoka, " ujar pak Triman,  seolah mengerti kebingunganku. Hari ini juga aku belajar banyak pada pak Triman jenis-jenis kayu yang bagus untuk mebel. Tak terasa hari sudah malam. Anak pak Triman masih menungguku. Ia yang akan jadi sopir kemanapun aku perlukan. Jam 22.30 aku baru sampai rumah,  lelah pasti, aku masuk kamar mengganti pakaian untuk segera mandi dan istirahat.

***
Kurasakan belaian lembut ibu, tapi aku tidak bangun,  sampai ibu mencium kepalaku dan menutup pintu kamar. Maafkan aku ibu...bisikku dalam hati, dan aku mulai menangis entah untuk apa,  untuk bapak ataukah untuk luka hati yang sampai sekarang belum sembuh, Dion, perlahan tiba-tiba aku menyebut namanya. Akankah ia mengingatku? entahlah dan tangisku mulai terdengar, menyesali mengapa aku mengalami semua ini. Senja,  kapan aku akan melihatmu lagi,  hanya senja yang mengerti kesedihan dan luka hati...aku hanya bisa menangis. Dan aku tertidur dengan sisa air mata.

***

Pagi jam 7 anak pak Triman menjemputku menuju kantor,  jam 07.30 kami memasuki pintu gerbang kantor,  aku langsung menuju ruanganku,  memanggil bu Ita sekretarisku,  apa saja yang akan aku lakukan hari ini,  hanya pertemuan dengan pak Asoka jam 9 dan setelah makan siang sekitar jam 13.00 ada undangan dari PT.  Artagraha, bapak menanamkam saham di perusahaan asuransi itu, aku ucapkan terima kasih, dan kembali mempelajari berkas-berkas perjanjian dengan UD. Halim,  perusahaan yang mengutus Pak Asoka hari ini,  jam0 8.30 bu Ita mengetuk pintu dan memberitahu bahwa Pak Asoka sudah berada di ruang meeting,  wah awal betul orang itu datang pikirku, aku memasuki ruang meeting ternyata di sana ada pak Triman dan satu orang lagi, mungkin dia..

"Ashoka, " ujarnya dengan suara berat, berdiri, sambil mengulurkan tangan.
"Mei...Meitri Dwiliani, " sahutku. Kami sama-sama tidak tersenyum. 

"Ini Pak Ashoka bu dari UD. Halim yang pernah saya ceritakan,  jadi hari ini ibu tinggal milih jenis kayunya,  pesan berapa kubik, nanti masalah administrasi dan keuangannya akan diselesaikan oleh bagian keuangan dan sekretaris ibu,"  aku hanya mengangguk.

"Ini bu Mei pak,  putri dari Pak Hadi alm, beliau yang menggantikan Pak Hadi, kulihat dia tersenyum samar pada pak Triman. Sebenarnya dia lumayan bisa dilihat,  kulitnya agak gelap,  dengan tubuh yang menjulang tinggi dan badan yang proporsional, cenderung kurang berotot,  namun wajahnya yang dingin membuatku malas berbasa basi. Setelah agak lama berdiskusi dengan pak Triman akhirnya aku memutuskan memilih kayu jati agar kualitas mebel kami tetap bagus, jumlah kubik pak Triman yang menentukan karena dia lebih tahu,  setelah semua selesai berikut surat-suratnya,  Pak Ashoka pamit,  bersalaman tanpa senyum dan berlalu dari hadapanku. Pertemuan jam 13.00 aku wakilkan pada pak Triman,  entah mengapa aku ingin ke pantai yang tidak jauh dari kotaku,  sekitar 30 menit sampai.

***

Sesampainya di pantai,  aku kunci mobil dan kulangkahkan kaki perlahan, setelah aku melepas sepatuku, aku duduk di tepi pantai dan kusandarkan badanku padan pohon kelapa. Perlahan semua cerita sedih,  menyakitkan kembali berulang bersamaan dengan ombak yang datang dan pergi,  kuhela napas berat dan panjang berulang-ulang. Air mataku mulai menggenangi mata,  kutahan agar tidak jatuh,  kutarik napas dalam-dalam aahhhh berhasil..kuhembuskan napas pelan dan pelan,  sesak rasanya...aku akan menunggu senja datang dan akan pergi setelah menikmati warnanya.

"Boleh saya temani bu? " terdengar suara yang sepertinya pernah aku dengar,  dan segera aku menoleh. 

"Eh Pak Ashoka,  iya mari silakan cari tempat duduk yang nyaman karena di sini semuanya pasir, " aku mencoba berbasa basi. Ia duduk agak menjauh,  sama-sama menatap ombak yang pergi dan datang. 

"Saya tidak mengira bu Mei yang duduk sendiri,  setelah agak dekat baru saya yakin, sudah lama di sini Bu? " tanyanya lagi setelah agak lama kami sama-sama berdiam diri.

" Ya sekitar satu jam yang lalu, Bapak ada perlu apa di pantai ini?"tanyaku
Ia tidak segera menjawab, hanya hembusan napas berat yang aku dengar,  lalu ia menjawab

"Menikmati ombak dan menunggu senja,lalu untuk apa juga ibu di sini? "ia balik bertanya.
"Sama, "jawabku singkat. 

Lama kami tak saling berbicara,  hanya bunyi ombak dan siulan burung saat senja datang.
"Saya pamit pulang pak,  senja sudah mulai lewat, "aku pamit sambil menenteng sepatuku,  tiba-tiba.

"Aahhhh," jeritku tertahan karena rasa perih yang tak terkira,  dengan sigap pak Ashoka menangkap bahuku dan memapahku mencari gazebo yang tak jauh dari pantai. Kakiku berdarah tertusuk kerang,  cepat ia berlari ke mobilnya dan mengambil kotak obat. Ia mengambil rivanol untuk  mensterilkan kakiku, lalu memberi obat merah dan menutupnya dengan kasa.

"Aahh," pekiku tertahan.

"Agak perih memang,  tapi Ibu akan baik-baik saja, ibu saya antar pulang ya,  mobil Ibu biar saya titipkan pada teman saya,  itu warung warna biru yang menjual es kelapa muda,  biar besok saya akan menyuruh anak buah saya untuk mengambilnya, "katanya panjang lebar. Aku hanya mengangguk. Aku melihat pak Ashoka memberikan kunci mobilku,  dengan sopan ia membungkuk dan pamit.

"Maaf Bu,  untuk kedua kalinya Ibu saya papah ya,  agak sakit memang Bu,  tapi lukanya tidak dalam kok,  hanya akan lebih baik Ibu ke dokter," kemudian ia menawarkan tangannya padaku,  aku ragu lalu kupegang tangannya agar aku bisa bangun dari dudukku dan sambil menahan rasa perih aku berdiri, berjalan perlahan menuju mobilnya dan berusaha duduk dengan nyaman.

Sepanjang perjalanan aku dan dia diam,  tatapanku kosong ke depan,  aahhh ada saja gangguan saat aku akan menikmati senja yang lain,  menikmati rasa sakit sendiri tanpa ada gangguan. "Maaf jika saya telah mengganggu Ibu tadi,  mungkin Ibu ingin sendiri,  saya tadi hanya ingin memastikan apakah betul-betul Ibu Mei," sahutnya saat akan hampir sampai di rumahku. 

"Tidak apa-apa Pak,  saya yang harus berterima kasih,  seandainya tidak ada Bapak,  pasti saya bingung dengan kejadian seperti tadi, " sahutku pelan.

"Sudah sampai Bu,  mari saya papah lagi, maaf, "sahutnya dengan suara beratnya. Aku hanya mengangguk,  eh dari mana dia tahu rumahku. 

"Terima kasih Pak,  maaf sudah merepotkan Bapak, "sahutku tanpa menatap wajahnya.
"Permisi Bu,  saya pamit pulang, "ujarnya lagi. Aku hanya mengangguk pelan.

Ibu kaget melihat aku diantar pak Ashoka,  dengan berjalan tertatih, aku jelaskan dan ibu hanya menatapku sambil mengangguk.
"Ada-ada saja Mei, "kata ibu,  kesukaanmu pada pantai tak juga berhenti."

***

Setelah selesai mandi aku membersihkan kakiku lagi dan memberinya obat antiseptik. Kurerbahkan badanku dan aku mendengar notif masuk, siapa? pikirku karena rasanya sejak tak bersama Dion lagi notf pesan masuk tak lagi ada, ternyata nomor tanpa nama, aku buka, ah dari pak Ashoka, tahu dari mana dia nomorku?

Sekali lagi maaf bu Mei, tadi sudah mengganggu, gimana sudah enakan?

Terima kasih Pak, iya sudah lumayan

Selamat beristirahat bu Mei

Iya terima kasih

Aku menghela napas, bisa ramah juga ternyata dia, aku pikir dia tak bisa ramah melihat wajahnya saat awal beertemu yang sulit tersenyum bahkan cenderung dingin, berbeda dengan Dion yang wajahnya terlihat sabar dan mendamaikan ... ah Dion lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #novelet