Chapter 2. Powerband

Daun POV

.

"Itu rumah sakitnya... Tahan BoBoi ... eh ... Daun!"

'Aduh ... aduh ... sakiiitt.' Aku hanya bisa meringis kesakitan. Belum pernah sebelumnya kurasakan sakit yang begini parah. Sebetulnya sih rasa sakitnya sudah reda sejak dari tadi waktu di jalan menuju rumah sakit. Tapi kadang-kadang, posisi anak panah yang menembus dan tersangkut setengahnya di pergelangan tanganku ini sedikit tergeser. Sakitnya bukan main, seluruh badanku terasa lemas, padahal yang kena cuma tanganku saja. Bisa jadi aku merasa lemas karena semua otot badanku menegang menahan sakit yang berdenyut-denyut. Apalagi kalau secara tidak sengaja, anak panah yang mencuat itu tersenggol badanku sendiri. Mati-matian aku berusaha untuk tidak menjerit kesakitan. Kukatupkan kedua rahangku erat-erat menahan sakit yang masih berdenyut-denyut ini

"UGD, cepat!" Begitu perintah dokter jaga rumah sakit ketika melihat kondisi pergelangan tanganku. Aku sendiri bahkan hampir muntah ketika kain lap yang sudah berwarna merah yang dibelitkan BoBoiBoy pada luka itu dibuka. Darahku kembali mengucur ketika kain lap itu dilepaskan. Baru kali ini aku melihat seperti apa bentuk dan warna tulangku sendiri yang mencuat keluar karena anak panah robot sialan itu. Kali ini isi perutku benar-benar hendak tumpah  keluar ketika melihat seperti apa daging yang berwarna pink kemerahan dari belahan luka akibat anah panah Robot ABAM itu.

"Dokter ...." Aku memanggil dokter jaga yang sedang memeriksa luka tanganku. "Tanganku ...?" Tidak mampu aku bertanya seperti apa harapan tanganku untuk diselamatkan. 'Kumohon, jangan dipotong!' jeritku dalam hati. Aku bisa membayangkan seperti apa bentuk tanganku nanti kalau tidak bisa diselamatkan. 'Aku ngga mau jadi cacat!'

"Coba, Dik. Gerakan jarimu satu persatu," perintah dokter itu.

Kucoba menggerakan jari-jari tangan kananku. Aku sih bisa melihat jari-jariku bergerak seperti biasa, meskipun rasa sakit di pergelangan tanganku berdenyut-denyut seakan luka itu memiliki jantung sendiri. 'Tapi.. Kenapa jari tengahku ngga mau bergerak?'

"Sepertinya tendon ... urat kamu ada yang putus ... tapi sepertinya masih bisa kami perbaiki."

Keterangan dokter itu membuatku bernapas lebih lega. 'Minimal tanganku ngga perlu sampai dipotong.'

Kulihat dokter itu sedang berbicara dengan BoBoiBoy dan kakeknya. Yah, secara teknis, kakeknya BoBoiBoy berarti kakekku juga, kan? Apalagi aku ini bagian dari BoBoiBoy, bagian yang saat ini terpisah.

"Daun?" BoBoiBoy mendekati aku.

Aku menatap BoBoiBoy tanpa berkedip. "Ya? Jadi ... Bagaimana tangan Daun?"

"Sepertinya masih bisa diperbaiki-"

"Diperbaiki? Daun manusia, bukan robot ...," ucapku sebelum BoBoiBoy sempat menyelesaikan kata-katanya.

"Disembuhkan ...." Boboiboy meralat ucapannya. "Tendon-mu ada yang putus, untuk menyambungnya lagi, kamu harus dibius total."

'Eh? Aku mau dibius total? Maksudnya dibius tidur?' pikirku. Belum pernah aku merasakan apa rasanya dibius begitu. "Bius total? Jadi nanti Daun ngga sadar waktu dioperasi?"

"Ya, supaya seluruh otot-ototmu kendur dan tendonmu yang putus bisa disambung lagi." BoBoiBoy nampak terdiam sejenak. "Aku dan atuk sudah menandatangani surat persetujuan operasimu ini."

"Yah, mau bagaimana lagi, Daun ngga bisa tanda tangan 'kan?" Aku tersenyum saja.

"Masalahnya, Daun ...." BoBoiBoy menghela napas panjang. Raut mukanya terlihat berubah dan aku tahu bahwa akan ada berita susulan yang sepertinya tidak enak didengar. "Kita juga perlu persetujuanmu karena ... ada kemungkinan ...."

"Kemungkinan apa?" Bicaraku menjadi gemetaran. 'Mengapa berita buruk selalu datang paling akhir sih?'

"Kalau bius total ini, ada kemungkinan kamu ngga akan bangun lagi."

"Maksudmu ... Daun ... bisa mati?" Aku meneguk ludah. Kali ini aku benar-benar ketakutan, ingin sekali aku menjerit sejadi-jadinya.

"Itu kemungkinan terburuk... Atau bisa saja kamu koma."

.

.

.

Sebuah masker beraliran oksigen dipasang dimukaku. "Aduh ...." Secara reflek aku melirih dan meringis ketika sebuah jarum suntik dipasang di tangan kiriku. Yah, aku tidak takut disuntik, jadi jangan salah paham. Tapi tetap saja terasa sedikit sakit.

Tapi itu tidak seberapa dengan pikiranku yang aduk-adukan saat ini. Apalagi setelah mendengar kata-kata BoBoiBoy. 'Tidak... Aku belum mau mati! Lebih baik tanganku cacat daripada aku mati!' jeritku dalam hati.

Dari posisiku yang terbaring di atas meja operasi, aku hanya bisa melihat tetesan demi tetesan cairan infus mengalir masuk ke dalam tanganku. Tak berapa lama, datanglah seorang dokter yang menyuntikan obat melalui jalur selang infus tersebut.

"Nama adik siapa?" tanya dokter itu.

"Ah, aku ... Daun, BoBoiBoy Daun," jawabku dengan suara lembut.

"Kamu dan yang diluar itu kembar siam ya? Mirip sekali, bahkan sampai ke warna putih rambutmu itu," ujar si dokter sambil tersenyum.

"Iya, kami ... saudara kembar." Padahal sih aku masih bagian diri BoBoiBoy, tapi tidak mungkin aku jelaskan mengenai pecahan elemental kepada dokter ini.

"Bagaimana tanganmu bisa kena panah begitu? Siapapun yang mengenai tanganmu itu sangat tidak bertanggung jawab."

"Ya, Dok... Kecelakaan... Tapi..." Kenapa mataku terasa berat? Pengelihatanku mengabur dan dengan begitu saja aku tidak merasakan apa-apa lagi. Duniaku menjadi gelap total. 'Semoga aku bisa bangun lagi... Aku belum mau mati...'

.

.

.

Pusing rasanya ketika aku membuka kedua kelopak mataku. Kepalaku terasa berat dan berkunang-kunang. Aku mendapati diriku sudah berada di ruangan rawat inap, bukan lagi di kamar operasi yang menyeramkan dan penuh lampu sorot itu.

Badanku serasa melayang dan menolak untuk bergerak. Aku bahkan sempat berpikir apa aku diikat atau semacam itu. Untungnya sejalan dengan waktu, badanku dapat digerakkan kembali meskipun rasanya aneh. Otot-ototku seperti terlambat mengerjakan perintah dari otakku. Yang kurasakan itu pasti efek sisa dari obat bius yang digunakan waktu dokter itu membiusku dan mengoperasi tanganku.

"Daun ...."

Aku mendengar bisikan BoBoiBoy di sebelahku. Butuh perjuangan buatku untuk sekadar menolehkan kepalaku sendiri. Di sebelah kanan kulihat BoBoiBoy sedang duduk di sebuah kursi dan Fang sedang berdiri di sebelahnya.

"Bo-Boi-Boy ...." Bahkan aku masih sulit berbicara. Kedua bibirku terasa sangat berat untuk bergerak.

"Operasinya sukses." Bisa kulihat senyuman dan raut muka lega pada wajah BoBoiBoy. "Tendon-mu yang putus bisa disambung kembali, dan tulangmu yang patah sudah dipasang pen."

"Uh .... Pen?"

"Ya, semacam plat baja untuk menyambung tulangmu." Sahut Fang.

'Keren juga, tangan Daun ada besinya... Jadi mirip robot.'  Aku Melirik ke arah tangan kananku yang masih dibalut perban. Perlahan kucoba untuk menggerakan jariku satu-persatu. 'Telunjuk ... oke. Jari tengah ... oke, agak sakit kalau digerakkan sih. Jari manis ... oke. Jempol ... oke. Kelingking ... oke, eh tapi kenapa ngga ada rasanya?'

"Kelingking Daun .... Ngga ada rasanya." Aku bisa melihat kelingkingku bergerak-gerak sesuai kemauanku tapi aku tidak bisa merasakan apa-apa dari jari yang terkecil itu.

"Memang ngga bisa sembuh sempurna, Daun. Sebagian syarafmu rusak. Mungkin itu sebabnya kelingkingmu terasa kebas."

"Ah ya sudah .... Yang penting jari Daun masih bisa bergerak semua," ujarku sambil menghela napas lega.

"Daun ...." BoBoiBoy nampak mengambil sesuatu dari saku celananya. "Kurasa aku tahu kenapa kamu ngga bisa bergabung kembali."

'Nah ini dia berita yang paling aku tunggu.'

"Kenapa?" tanyaku.

"Ini sebabnya."

Aku meneguk ludah ketika melihat sebuah powerband yang rusak dan penuh darah di tangan BoBoiBoy. Aku baru sadar kalau serangan Robot ABAM tadi mengenai pergelangan tangan kananku, yang artinya mengenai powerband yang berada disitu. "Lalu, bagaimana sekarang?"

"Entahlah ... aku juga masih belum faham. Ochobot masih mencari tahu .... Yah sementara ini, kamu belum bisa bergabung kembali."

"Jadi ada dua BoBoiBoy dong?"

"Ya, kita jadi ada dua orang." BoBoiBoy nampak tersenyum. "Tok Aba jadi punya dua cucu kembar."

Aku tersenyum mendengar komentar BoBoiBoy yang jelas sekali berusaha untuk membuatku tidak terlalu khawatir. 'Persis sekali dengan Angin,' pikirku. Yah, BoBoiBoy Angin memang yang paling pandai kalau disuruh mencairkan suasana yang sedang tegang.

"Fang?" Aku memanggil pemuda yang berdiri di sebelah BoBoiBoy.

"Ya, Daun?"

"Kamu kenapa disini? Daun kira kamu masih di Markas Tempur-A?" tanyaku. Fang memang tidak ikut dengan kami ke Bumi karena ia memilih untuk tetap berada di luar angkasa dan bergabung dengan Pasukan Tempur-A. Bukan berarti kami putus kontak samasekali. Komunikasi kami tetap terjaga apalagi melindungi bumi masih mejadi tugas BoBoiBoy, yang berarti tugasku juga sebagai pecahan elementalnya.

"Aku sedang cuti. Sejak kau mengalahkan ... maksudku sejak Solar mengalahkan Vargoba, praktis tidak ada musuh yang kuat lagi," jawab Fang sembari duduk di tepi ranjangku. "Robot ABAM tadi itu sudah kukalahkan. Mungkin nanti bisa kurubah programnya, siapa tahu bisa kita gunakan dia untuk kepentingan TAPOPS."

Aku menarik napas panjang. Berarti sudah dua kali terjadi kuasa elemenku tidak berguna melawan musuh, padahal aku ingin sekali bisa berguna. Kalaupun tidak bisa membasmi musuh seperti Petir, Cahaya, atau Api, minimal aku ingin sekali bisa banyak membantu seperti elemen-elemen yang lain. Satu-satunya kemenangan telak yang aku peroleh cuma melawan Kapten Separo, itupun bukan musuh yang terlalu berat. "BoBoiBoy ...," panggilku. "Maaf, Daun ngga bisa melawan Robot ABAM itu."

"Sudah, ngga usah terlalu dipikirkan. Yang penting kamu cepat sembuh dan bergabung kembali dengan elemenku yang lain," jawab BoBoiBoy sambil mengelus kepalaku dengan lembut.

"Daun ada permintaan..."

"Apa tuh?"

"Daun mohon, jangan berubah jadi BoBoiBoy Petir ya kalau kamu menemani Daun ...," pintaku dengan nada serius.

"Lho memang kenapa Petir?"

"Petir menyeramkan."

BoBoiBoy tertawa saja mendengar permintaanku. Padahal aku serius lho, kenapa diketawain? BoBoiBoy Petir itu adalah yang paling tipis urat sabarnya diantara kami semua. Yang paling tebal urat sabarnya mungkin antara Tanah atau aku sendiri.

"Omong-omong... Sampai kapan Daun dirawat disini?" Ya, aku tidak mau berlama-lama dirumah sakit begini. Suasananya mencekam bagiku. Belum lagi bau desinfektan yang kerap digunakan untuk membasuh lantai kamar. Mana jendela kamarku dirawat berseberangan dengan tanah kosong, tidak ada pemandangan yang menarik, hanya tanah, rumput dan pohon. Kalau malam hari pasti menyeramkan suasananya.

"Mungkin besok kamu sudah bisa pulang, Daun. Tapi ya tergantung dokternya," jawab BoBoiBoy.

"Ngga bisakah kamu berubah jadi Angin terus bawa Daun pergi dari sini? Daun ngga mau di rumah sakit!"

"Tanganmu itu belum sembuh, Daun .... Nanti kalau putus gimana?"

Aku meneguk ludah mendengar jawaban BoBoiBoy. "Pu-putus? Jangan nakut-nakutin Daun begitu dong!"

BoBoiBoy malah kembali tertawa. "Lukanya belum sembuh total. Sabar sedikit ya?" ujarnya sambil menatapku dengan lembut.

Sekarang aku mengerti kenapa BoBoiBoy sangat disukai teman-temannya. Ia adalah orang yang perhatian, sangat menyayangi dan ringan tangan. Siapapun yang minta bantuan padanya selalu ditolongnya. "Ya deh ... Daun tunggu keputusan dokter saja ...."

BoBoiBoy tersenyum mendengan jawabanku. "Oh ya, Daun, ini ada kenang-kenangan dari Robot ABAM," ujarnya sambil memperlihatkan sebuah anak panah yang sudah dipotong sebagian.

"Duh .... Melihatnya saja Daun jadi merinding." Memang benar, aku bisa merasakan bulu-bulu halus di tengkukku berdiri dan aku merasa ngilu ketika melihat anak panah yang tadinya sempat bersarang di pergelangan tanganku. "Buang saja deh .... Daripada nanti Daun jadi mimpi aneh ...."

"Ya sudah, nanti kubuang. Daun kutinggal sebentar ya? Aku mau pulang, ngambil baju ganti sama selimut buat nemenin kamu disini, oke?" BoBoiBoy berdiri dari kursinya dan beranjak keluar dari kamar tempat aku dirawat. "Biar Fang menemani kamu sebentar."

"Jangan lama-lama ya, BoBoiBoy ...," gumamku pelan. BoBoiBoy berhenti sejenak dan mengangguk ke arahku

"Tenang, aku akan menemani kamu sampai BoBoiBoy kembali," ujar Fang yang kini sudah duduk di kursi yang tadinya ditempati BoBoiBoy.

"Uh ... Fang ...." Entah kenapa sebuah ide melintas di kepalaku.

"Ya?"

Aku tersenyum dan tertawa kecil. "Bolehkah kamu nyanyikan lagu tidur yang dulu pernah kamu nyanyikan untuk BoBoiBoy? Daun mau dengar"

Fang nampak memutar bola matanya. "Ish ... jangan minta yang aneh-aneh deh ...." Mukanya nampak sedikit memerah.

"Yah ... Daun mau dengar," pintaku lagi. Kali ini kupasang muka cemberut terbaikku.

"Boleh, tapi ...." Aku tak sempat bereaksi ketika jari Fang sudah berada di atas tanganku yang masih dibalut perban. Jari tengahnya telihat hendak melesat dan ditahan dengan jempolnya. "Sentil sedikit ya?"

"JANGAN! Jangan disentil!" Aku menjerit dan sebisanya kulindungi tangan kananku yang hendak disentil oleh Fang. Lukanya saja pasti belum kering sudah mau disentil. Sakitnya pasti luar biasa, belum lagi aku pasti menjerit. Bisa-bisa seisi rumah sakit pada bangun semua.

"Nah, makanya jangan minta yang aneh-aneh."

Aku tidak tahu apakah aku harus suka atau tidak dengan senyuman yang mengulas di wajah temanku yang satu itu. Percuma rasanya bermanja-manja dengan Fang, lebih baik aku tidur saja sampai BoBoiBoy kembali

.

.

.

Bersambung.

-Author note: 

Sekalian ujicoba menulis dalam format first person POV. Boleh minta saran atau kritiknya atau ada kekurangan untuk bagian first person POV ini?.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top