Epilogue


Tepat pada hari di mana Nora semestinya pulang ke bumi, Azeli muncul. Ia hadir sebagai kepulan asap di pojok ruang kamar, mengejutkan Nora dan Elias yang terlelap sendu di kasur.

Itu pertama kalinya pula Elias mampu melihat Azeli, dan sang pria nyaris kehilangan jantung saat menatap wajah berasap Azeli. Apalagi penjaga dimensi itu hadir dengan asap kelabu yang beriak-riak marah. Ia hadir dengan tangan terlipat.

Nora yang pertama kali memecahkan suasana canggung itu. "Jadi, um ... aku takkan pulang ke Bumi, kan?"

"Setelah kau membakar satu-satunya jawaban atas misteri seumur hidupmu? Kau harap." Azeli mendengus. Segumpal asap terempas ke udara dari wajahnya yang bergumul-gumul.

Elias akhirnya berhasil menemukan suaranya. "Kalau begitu ... apa engkau bisa menghapus sedikit ingatanku? Ingatan tentang isi buku yang sudah kubaca?"

"Tak perlu." Azeli mengibaskan tangan. "Manusia rentan kepayahan dengan banyak ingatan. Ingatan yang kaumiliki sekarang pun tak benar-benar persis mencerminkan isi buku—kau akan mengacaukan ingatan itu seiring dengan bertambahnya usia dan masalah baru yang kauhadapi."

Elias mengangguk ragu.

Nora buru-buru mengajukan pertanyaan, takut sang penjaga dimensi bakal hilang dan tak muncul lagi selamanya. Ia tak hanya memberi satu pertanyaan. Ia menanyakan banyak hal—tentang nasib keluarga von Dille dan semacam itu. Azeli menjawab sekadarnya. Meski Nora agak tidak puas dengan jawaban sang penjaga dimensi—seperti biasa—tetapi setidaknya ia lega.

Nora bukan satu-satunya yang memilih untuk bertahan di dunia barunya.

Azeli kemudian pamit, dengan janji bahwa ia takkan pernah muncul lagi, dan itu adalah pertanda bahwa urusannya dengan Nora sudah berakhir. Ada manusia lain yang ditakdirkan Tuhan untuk jatuh di Tellus, dan Azeli mesti mengurusnya. Tapi di mana manusia itu akan jatuh, Nora tak tahu. Azeli tak bercerita. Sang penjaga dimensi hanya memberikan doa keselamatan baginya dan lenyap.

Begitu saja.

Selamat sesaat Nora dan Elias tercenung. Nora diam karena merasa bakal merindukan sosok sang penjaga dimensi, sementara Elias cenderung karena tak percaya dengan pengalaman spiritual barusan.

Keheningan itu berakhir saat Elias menguap. Bagaimanapun mereka terjaga dengan tiba-tiba karena kehadiran Azeli. Elias bergeser ke tempat tidur, menghabiskan secawan air yang ada, dan mengambilkan secawan baru untuk Nora.

"Kau tahu," kata Elias saat Nora minum, "kalau kau masih penasaran dengan jawaban atas misteri hidupmu, aku bisa sedikit membantumu untuk itu. Aku tahu betapa menggelisahkan dirundung rasa penasaran yang tak terjawab."

Nora merasakan darahnya berdesir. "Apa maksudmu?"

"Maksudku," kata Elias dengan geli, "aku punya jawaban yang lebih bagus. Jawabanku sendiri. Karena sejujurnya, aku juga tak menyukai jawaban yang tertulis di situ. Aku tak ingin memercayainya, jadi kuputuskan untuk memercayai apa yang ingin kupercayai."

"Apa itu?"

Pria itu lantas duduk di kedua lututnya, menyejajarkan pandangannya dengan sang istri. "Kau bertanya-tanya mengapa kau tetap dibiarkan hidup setelah semua kebencian mereka. Percayalah, jawabannya tidak benar-benar berpusat pada kedua orang tuamu. Sebaliknya; kau bertahan hidup karena kehendak Tuhan."

Nora tak sanggup menahan diri untuk tidak tersenyum. "Oh? Bagaimana bisa?"

"Yah, bagaimana lagi kau bisa hadir di sini—di dunia lain yang melintasi dimensi berbeda—kalau bukan karena ketetapan-Nya?" bisik Elias dengan riang. "Dia membuatmu hadir di sini, di tengah kebencian yang diwariskan kedua orang tuamu selama ratusan tahun, agar kau bisa mengakhirinya. Kau bahkan melakukan lebih dari itu."

Nora tersipu-sipu. "Ah, tapi itu juga berkatmu ...."

"Dan satu lagi."

"Ya?"

"Karena kau adalah keajaibanku. Dan, tentu saja, juga keajaiban bagi kedua suku kami, tapi di atas itu semua—kau adalah keajaibanku."

Nora membuka mulut, tetapi tak ada suara yang keluar. Ia nyaris menyanggah, tetapi Elias memang benar.

Barangkali ini pula alasan mengapa ia tidak kunjung menikah di usia tiga puluh tahun. Karena, demi Tuhan, ternyata jodohnya tidak ada di Bumi, tapi di dimensi lain.

Sedikit konyol kalau memikirkannya seperti itu, tetapi begitulah kenyataannya. Dan ini bukan angan-angan, atau khayalan gadis pemimpi pada tuangan kisahnya. Ini nyata, senyata bibir Elias yang menciumnya dengan lembut, atau kehangatan genggamannya pada kedua tangan Nora.

Ia tersenyum di sela-sela kecupan sang pasha.

Baiklah. Ia menerima jawaban Elias. Walau ini bukan jawaban sesungguhnya, tetapi ia puas. Dan yang terpenting, ia takkan kembali ke Bumi lagi.

Ia sudah memiliki segalanya di sini.


--- end ---


========================================

Author note:

Hello to you, my dearest friend. I sincerely thank you for reading Peacemonger.

Peacemonger dimaksudkan menjadi sebuah novella/novelet ---apalah--- yang memang fast paced dan hanya memunculkan dua konflik. I finished writing this in December 2022 tanpa editing banyak, I'm leaving it as it is, karena bagiku ini adalah karya selingan di antara yang lain.

Still, I love Elio as dearly as Nora.


Your friend,

Andy.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top