22. The Burning Consequences
Kata Özker, penantian tiga ratusan tahun itu terbayar lunas oleh satu jam penuh kengerian lalu. Bagi Nora itu agak berlebihan, tetapi orang-orang setuju.
Sebelum membicarakan perayaan, kau mesti ingat kalau para manusia ini memiliki ketakutan besar. Mereka masih tak benar-benar percaya seutuhnya kalau berhasil menumbangkan satu Götu Dev. Maka, setelah arus air padang tenang, kapal-kapal kecil lain berlayar mendekat dalam jarak aman. Mereka membawa para prajurit pemanah Dörs. Panah-panah api diluncurkan. Tetap tak ada pergerakan setelah tiap panah menancap dan membakar petak-petak kulit sang raksasa.
Götu Dev itu benar-benar tewas.
Dan sebenarnya, alih-alih langsung mengadakan perayaan, para prajurit dan cendekiawan yang bertugas seketika tumbang. Mereka ambruk di dek, tetapi dengan tawa bahagia. Özker bahkan merosot pada pagar dek. Kedua kakinya gemetaran dan kegembiraan telah membuatnya lemas. Meski begitu ia tertawa—tawa yang begitu lantang dan puas.
Özker mengacungkan kepalan tangan. "Untuk Nyonya Agung!" serunya. "Untuk Elias Pasha!"
Nora tak bisa menahan tangisnya. Begitu pula Elias, yang menarik Nora agar bergegas turun. Di antara sahut-sahutan seruan yang mengagungkan mereka, Nora dan Elias menghambur kepada Özker. Mereka menyerbu sang tetua dengan pelukan erat. Özker terkekeh saat menepuk-nepuk punggung keduanya.
Tak lama kemudian Erhan dan Reyyan Dörs datang. Mereka berjingkat senang, dan menarik Elias untuk menari dalam lingkar kecil perayaan mereka. Nora menyaksikan ketiga pemimpin itu selaiknya anak-anak muda yang euforia akan keberhasilan rencana.
Benar. Ini memang menjadi cita-cita semua manusia yang diteror oleh keberadaan kaum raksasa. Apa pun yang terjadi hari ini adalah hasil dari ribuan rencana yang dirancang tiap-tiap otak, disatukan dan ditopang dengan gagasan Nora. Pada akhirnya, pengalaman dan kerja samalah yang menyempurnakan itu semua.
Jangkar-jangkar kapal induk kembali ditanam. Tenda-tenda didirikan lagi dan mereka yang terluka dirawat. Selebihnya adalah persiapan perayaan, dengan tradisi dan segala macam yang sudah kau kenal.
Perayaan memakan waktu dua hari, sebagaimana persiapan menghabiskan waktu yang sama. Namun kali ini hari berlalu tanpa disadari. Semua menari dan tertawa, bersantap dan bercengkerama tanpa terbayang-bayang Götu Dev. Para pemimpin mengadakan pertemuan-pertemuan untuk membicarakan masa depan. Kemenangan atas satu Götu Dev membuat mereka sangat optimis untuk membangun kota statis di sini, dan rencana membuat lebih banyak katapel raksasa ditetapkan. Bahkan Suku Dörs menyatakan keinginannya untuk singgah di kota ini pada musim tertentu, dan meminta disisihkan sedikit bagian dari kota untuk daerah mereka. Elias menyetujui dengan senang hati.
Namun, sepanjang pertemuan itu, Elias tak pernah melepaskan genggamannya dari tangan Nora.
Rapat baru selesai di awal jam istirahat malam. Pasangan Dörs pamit terlebih dahulu, diikuti para petinggi suku, dan Özker terakhir. Sang tetua sempat bercengkerama dan berjanji bakal membuat roti kacang hijau untuk Nora dan Elias. Itu camilan kesukaan Özker.
Nora menyetujuinya, tetapi Elias hanya menanggapi dengan senyum lemah. Padahal ini pertama kalinya Özker menyuguhkan sesuatu untuk sang pasha.
Elias kesulitan untuk menemukan senyumnya seiring dengan waktu berlalu. Tak peduli betapa Nora mencoba untuk melontarkan lelucon, sang pemimpin tak bersemangat untuk menanggapi. Nora pun menawarkan kesenangan satu kali lagi, tetapi Elias menampiknya.
"Aku tidak ingin malam berlalu dengan cepat, Nora."
Nora menyerah. Ia membiarkan Elias murung dengan genggaman tangan yang tak pernah lepas. Telapak tangan keduanya basah oleh keringat tetapi Elias tak peduli. Mereka memilih untuk terpekur di ruang kerja sang pemimpin, meresapi momen-momen di mana mereka pertama kali berpelukan.
Dan karena ada alasan satu lagi.
"Apa tak ada catatan mengapa para pendahuluku memilih untuk menetap di sini?" tanya Nora gelisah. "Sepertinya aku sudah pernah mencoba mencari, tetapi aku tak menemukannya."
"Memang tak ada," keluh Elias. "Aku pun tak tahu mengapa."
Namun Elias menghargai upaya Nora untuk tetap mencari, dan itulah alasan ia akhirnya mau melepaskan genggaman tangan. Mereka menggeledah ruang kerja sang pemimpin hingga berantakan. Elias tak keberatan. Apa pun—segalanya bakal ia lakukan agar Nora bisa tetap tinggal sebagaimana para manusia Bumi di sini.
Elias membuka kotak penyimpanan di bawah meja, lantas ia mengeluarkan sebuah buku yang familiar. "Mungkinkah ada jawabannya di sini?" ia bertanya dengan ragu. Nora merasakan darahnya berdesir saat mengenali buku itu.
Buku diari ibunya.
"Kau masih menyimpan itu?"
"Tentu saja. Ini barang paling berharga suku kami," kata Elias. "Ini menyimpan pengetahuan yang sudah kami salin pada begitu banyak perkamen. Ini juga satu-satunya barang yang masih tersisa dari Nyonya Melisa."
Elias kemudian membolak-balikkan halaman dengan ragu, sementara Nora mengawasinya dengan panas dingin.
Buku itu menyimpan jawaban dari misteri yang menghantui Nora. Buku yang akan menuntaskan misteri mengapa Joseph dan Melisa memilih untuk mempertahankan Nora hidup bahkan setelah delapan tahun kehidupan penuh kebencian dan penyesalan.
Namun kenyataannya, Nora sama sekali tidak siap untuk membuka buku itu. Sebab Elias sudah membacanya, dan ekspresi getir sang pria menyiratkan bahwa jawabannya bakal menghancurkan Nora berkeping-keping.
Bahkan hingga saat ini, Nora masih tidak siap. Ia tidak siap untuk membaca buku diari Melisa, dan—
Tunggu dulu.
"Buku itu ... akan menjadi penentu apakah aku bakal menetap di sini atau tidak."
Elias refleks menutup buku. Kedua matanya membeliak. "Apa?"
"Azeli bilang, aku tidak bisa kembali ke Bumi sampai aku menemukan jawaban atas misteri yang kucari," jawab Nora dengan gemetaran. Membayangkan berbagai kemungkinan, serta mendapati buku itu berada dalam jangkauan tangannya membuat Nora ketakutan.
Tidak berlebihan jika menyebut buku itu sebagai hidup matinya.
"Dan ... kalau aku membaca buku itu ... maka aku akan mendapat jawabannya." Nora menelan ludah. "Aku hanya perlu membaca buku itu dan aku bakal pulang ke Bumi."
Elias tanpa sadar meremas buku diari di genggaman. Ia menarik napas dengan tajam dan matanya melotot, tetapi amarah itu tidak ditujukan pada Nora.
Benda keramat yang dijaga beratus-ratus tahun itu adalah penentu apakah Nora bakal menghilang selamanya dari hidupnya atau tidak.
Cukup lama Elias bergeming di tempat. Nora sendiri tak berani berucap. Ia tahu kegamangan yang merundung sang pria. Buku diari Melisa adalah satu-satunya benda berharga suku, dan Avankaya mementingkan pengetahuan di atas segalanya.
"Jadi ...," suara sang pria terdengar begitu kacau, "kalau kau tidak membaca ini, atau mengetahui apa pun yang ada di dalam buku ini, maka kau tetap tinggal?"
Nora mengangguk ragu-ragu. "Ya, sebab aku tak mengetahui jawabannya. Dan aku tak bisa kembali ke Bumi selama belum menemukan jawabannya."
Elias tahu-tahu tersenyum. "Baiklah," katanya. "Apa pun itu."
Dalam sekejap mata, sang pasha melempar buku ke dalam perapian. Nora terkesiap. Ia refleks menghampiri, tetapi Elias mencegah. Ia menarik Nora ke dekapan.
"Elio!" seru Nora. "Itu barang berharga kalian!"
"Lantas apa kau mau kembali?" sentaknya. Kedua mata Elias berkaca-kaca saat menatap sang istri.
Nora terperangah. Ia sama sekali tidak menyangka dengan reaksi sang pasha. Ia tak pernah melihat Elias menangis. Tidak. Dan menatap kedua mata itu membuat dada Nora sangat nyeri. Ia pun tak mampu membendung air mata di pelupuknya.
Elias menekan dahi Nora dengan miliknya. "Aku tak mau mengambil risiko," bisik sang pria. "Meski aku tutup mulut, siapa saja bisa membaca itu dan mengatakannya kepadamu kelak. Aku tak mau kau menghilang dari hadapanku begitu saja. Tidak, Nora. Demi Tuhan, aku tak mau kau pergi, meski itu berarti aku harus menghilangkan pusaka suku kami. Dan ... oh, sial, persetan dengan benda pusaka itu. Aku tahu isinya dan sebenarnya tak ada yang benar-benar baik di sana. Aku tak mau mewariskan keburukan kepada rakyatku walau itu adalah peninggalan nenek moyang kami."
Nora terisak. Elias pun menangkup wajahnya, mengusap air mata yang bergulir satu per satu. "Lagi pula," tambah sang pasha, "kau sudah mengajarkannya padaku. Pada kami. Apa guna tradisi kalau yang kami pertahankan justru keburukannya? Bukan itu yang Tuhan kehendaki. Dan itulah mengapa Dia mengirimkanmu kepada kami—menyadarkan kami bahwa mewarisi kebencian pasangan suami istri yang bercerai itu tak ada gunanya. Kami tak bisa menghadapi Götu Dev dan ancaman lain kalau tetap mempertahankan itu. Dan aku paham. Aku yakin Özker juga sudah paham."
Walau ada sisipan kelegaan yang meluber di hatinya, tetapi rasa sakit dan nyeri di dadanya tetap tak bisa hilang, dan tangisannya terus mengalir.
Itu adalah tangisan atas misteri yang dipastikan takkan pernah terjawab seumur hidupnya.
Dan juga tangisan bahwa, kendati ini adalah pilihannya juga, ia tak lagi bisa bertemu dengan keluarga angkatnya.
Tetapi semua pilihan membutuhkan pengorbanan.
Inilah konsekuensinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top