21. The Furious Giant
Empat hari menjelang tenggat.
Persiapan memakan waktu dua hari. Selama itu, kapal-kapal dipenuhi oleh suara dentingan besi, gemerincing rantai yang dilumasi, derak roda katapel-katapel yang digeser, dan riuh redam para penduduk. Prajurit Kohl yang tidak kebagian peran untuk mengurus katapel memilih untuk mengeraskan latihan bersama prajurit Dörs. Para perawat sudah bersiaga di masing-masing dek—siapa tahu kapal bakal melesat dengan guncangan keras lagi. Karung-karung Ekstrak Pohon pun memenuhi dek nahkoda dan dek dasar. Terakhir, tenda-tenda dirubuhkan dan kapal-kapal meluncur ke padang air. Andai katapel raksasa mereka gagal, kapal-kapal itu siap berlayar sekencang tiupan angin.
Ketika semua persiapan sudah beres, para prajurit siaga di dek-dek besar maupun kapal-kapal kecil. Sebagian cendekiawan Avankaya berjaga di pintu-pintu, menghalangi pandangan para penduduk yang penasaran. Mereka yang awam memilih untuk meringkuk di balik pintu kediaman masing-masing, memanjatkan doa sekuat mungkin kepada Tuhan.
Di bawah langit hijau kelabu pagi, hujan mengguyur Tellus cukup deras. Tak ada suara obrolan kecuali perintah-perintah Özker pada setiap barisan prajurit dan riuhnya gempuran hujan pada lantai kayu. Ia mengalungi sebuah terompet yang terbuat dari gading kusam.
Sang tetua lantas mendongak kepada Elias dan Nora. Keduanya berada di balkon dek tiga; di bawah naungan terpal yang dibuat dadakan oleh para prajurit semalam.
Itu sebuah isyarat yang sangat mudah dipahami semua orang, tetapi tak ada yang berani membuka mulut. Elias pun tak kunjung mengangguk. Ia meremas pagar dek hingga buku-buku jarinya memutih.
Jika ia mengangguk, maka perintahnya akan menggiring Götu Dev kemari.
Nenek moyang kedua suku itu bahkan tak mencoba menaklukkannya semenjak tiga ratusan tahun lalu, mengajari anak cucunya agar lari dan saling bertikai saja.
Nora takkan mengamini itu. Tidak dengan kedatangannya. Maka ia mendekati Elias, menangkup tangannya di atas jari sang pasha, dan tersenyum.
"Percayalah bahwa Tuhan takkan pernah kehabisan keajaiban, Elio."
Elias menelan ludah. "Aku tahu." Namun suaranya tidak utuh. Butuh jeda beberapa detik lagi hingga sang pria tuntas untuk menggenapkan keputusan. Begitu berat baginya untuk sekadar mengangguk.
Ini menyangkut hidup seribu dua ratusan orang.
Elias kemudian mengangkat tangan. Anggukan saja tidak cukup.
Özker merespons dengan anggukan tegas. Sang tetua berbalik, menghadap ke arah padang, dan mendekatkan pangkal terompet di mulutnya.
Suara berat menggaung membelah udara, menembus berlapis-lapis tirai hujan yang deras. Bulu kuduk Nora merinding mendengar tiruan suara Götu Dev itu. Di bawah jari-jarinya, tangan Elias meremas pagar dek dengan gugup.
Özker meniupnya beberapa kali dalam jeda berbeda, membuatnya seolah-olah sesosok Götu Dev tengah meraung untuk mencari perkelahian. Ketika sang tetua menjauhkan gading dari sisinya, suasana menghening seutuhnya. Bahkan suara gemericik hujan pada lantai kayu dek mendadak tersamarkan.
Dari balik perbukitan rendah di ujung wawasan pandang, raungan lain membalas. Panjang dan melengking.
Dan marah.
"Götu Dev!" Özker mengacungkan gading di genggaman. "Persiapkan diri kalian!"
Para prajurit yang bertugas menarik tali-tali tambang yang sudah diberi pelapis. Sejumlah prajurit yang lain mendorong batok-batok peledak untuk dimuat. Di belakang mereka, tiga cendekiawan Avankaya membawa obor api sambil dipayungi kain anyaman pohon oleh prajurit pendamping mereka.
"Bakar sumbu dalam perintahku!" seru Özker. Ia mondar-mandir dengan gelisah untuk mengawasi bergantian batok-batok yang dimuat dan sosok raksasa di seberang padang.
Götu Dev itu kembali meraung, kali ini disertai dengan hentakan kaki yang menggetarkan genangan air, dan kapal-kapal kecil mulai berguncang. Ia muncul di antara belahan perbukitan. Seketika melihatnya, para penduduk terkesiap. Itu adalah Götu Dev yang pertama kali menyerang mereka di lembah dahulu. Götu Dev yang ini tinggi—melampaui Götu Dev yang mereka serang pertama kali.
Elias tanpa sadar mengembuskan kegelisahan bersama napasnya, dan Nora mengenali betul penyebabnya. Bahkan Özker berulang kali menengok ke arah mereka, seolah-olah ada yang ingin sekali disampaikan.
Jika Götu Dev yang lebih pendek saja gagal mereka jatuhkan, maka bagaimana dengan ukuran tertingginya?
Elias tiba-tiba menegakkan tubuh. Ia menoleh kepada prajurit yang berjaga di belakangnya. "Sampaikan pada Erhan Pasha," katanya. "Kita laksanakan opsi rencana terbesar."
Baik Nora maupun prajurit itu membeliak kaget. Tetapi sang prajurit tak punya kesempatan untuk bertanya. Ia bergegas secepat kilat, sementara Nora menghendaki penjelasan.
"Kita tidak akan mencoba-coba lagi, Nora." Tegas Elias. Ketegangan merambat hingga alisnya yang bertaut. "Kita akan mengerahkan kemampuan kita semaksimal mungkin. Aku yakin Özker memikirkan hal yang sama."
Sang raksasa menyibak hujan dengan kehadirannya. Awan-awan kelabu yang bergelung-gelung pekat nyaris terserobot oleh kepalanya yang lonjong dan berlipat-lipat. Jari-jarinya yang panjang dan sekukuh pilar menggenggam.
Ia meraung lagi.
"Belum. Belum." Özker menggeram di bawah napas. Götu Dev itu belum mencapai garis batas yang telah ditandai oleh para prajurit pada hari-hari sebelumnya. Tiang-tiang fondasi yang ditancapkan pada sisi-sisi padang takkan terlihat oleh sang raksasa—ia takkan tahu apa yang menjebaknya.
Kemudian, usai menyadari bahwa pancingan tadi tidak berasal dari sesamanya melainkan seribuan manusia di bawah naungan pohon, sang raksasa mengerang.
Ia berlari. Langkahnya yang lebar memperpendek jarak mereka dalam sekejap.
Özker spontan berbalik. "TEMBAK!" ketakutan mewarnai suara pria tua yang tak pernah sekali pun gentar. Para cendekiawan pembawa obor berlari, membakar sumbu dengan tangan mereka yang gemetaran. Ketika mereka melempar obor itu sebagai tanda, para prajurit penarik tali melepaskan secara bersamaan. Batok-batok peledak pun melesat—riuh desingnya memecah derasnya hujan dan awan kelabu yang padat.
Sang raksasa, yang tak punya waktu untuk menghentikan langkah, terperangah melihat batok-batok sebesar kepalanya mendarat. Tangannya terangkat, tetapi sebelum jari-jari itu mampu memukul balik, batok-batok meledak terlebih dahulu. Bola api raksasa melahap wajahnya, memecah jari dan sekujur lengan. Pecahan batok melesak dan menancap pada kulitnya yang bergelambir.
Suara Elias menggelegar di antara ledakan. "SERANG!"
Kapal-kapal kecil para prajurit Kohl dan Dörs meluncur. Rantai-rantai bergemerincing di bawah air ketika kapal-kapal tersebut melintas dengan kecepatan tinggi. Serbuk emas Ekstrak Pohon bertebaran dari masing-masing ekor kapal.
Para prajurit di tiap kapal memanggul jangkar-jangkar sebesar dua kali tubuh mereka. Mereka menyerbu sang raksasa yang ambruk di kedua lutut. Genangan air padang beriak keras—gelombangnya membuat kapal-kapal itu terombang-ambing. Teriakan mereka terdengar bersahut-sahutan. Namun itu tidak bertahan lama. Para prajurit seketika melemparkan jangkar-jangkar ke kaki sang raksasa, mengitarinya dalam lingkar yang menjerat.
Ketika rantai-rantai ikut melilit tubuh Götu Dev itu, para awak kapal induk melepaskan kaitan. Begitu pula pengikat rantai-rantai pada kapal-kapal kecil.
"Cepat!" raung Özker. Tangannya mengayun-ayun. "Pergi! Pergi!"
Kapal-kapal para prajurit melesat dengan lebih banyak serbuk kristal bertebaran. Debu keemasan melapisi genangan air, memunculkan kilau yang beriak acap kali digempur tetesan hujan.
Ketika kapal-kapal tersebut sudah setengah perjalanan, Özker berbalik ke arah dek. "TEMBAK!"
Batok-batok peledak dilontarkan kembali. Tanpa memberi kesempatan bagi sang Götu Dev untuk melepaskan diri dari jeratan rantai dan tali-tali jangkar, tiga batok besar menghantam tubuhnya. Ledakan-ledakan beruntun memunculkan percikan hijau dan kuning, menerangi padang air selama sesaat sebelum kembali redup di bawah kegelapan awan kelabu.
Kapal-kapal prajurit tiba dengan posisi terombang-ambing, dan prajurit-prajurit di kapal induk bergegas untuk membantu mereka merapat. Tak boleh ada waktu terbuang. Mereka buru-buru berpindah ke kapal induk. Di balik kesibukan itu, para penonton menanti hasil. Asap berkilau masih mengepul pekat di posisi sang raksasa.
Mereka menyadari bahwa tak ada suara yang terdengar lagi, tetapi tak ada yang berani memastikan. Itu adalah kewenangan Özker. Dengan jantung berdegup dan hujan yang membasahi tubuh, sang tetua menantikan kepulan asap menipis oleh terjangan hujan.
Tak tampak ada pergerakan.
Namun Özker tak percaya semudah itu. Ia kembali meniup gading. Semestinya pancingan ini akan membuat Götu Dev marah.
Tetap tak ada respons. Sang raksasa bagaikan onggokan bukit tak bergerak yang hangus terbakar.
Barulah pada saat itu Özker berputar. Ia menghadap ke arah sembilan dek yang bertumpuk megah di hadapannya. Ia mengangkat kedua tangan. Kegembiraan meluap di wajahnya yang keras.
"KITA BERHASIL!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top