20. The Point of No Return +
Note: (+) for a hint of adultery
- - -
Azeli, tolong, muncullah.
Namun tak pernah ada tanda-tanda kemunculan asap kelabu. Ia berharap bahwa kepulan asap di atas perapian, atau pembakaran saat para prajurit sedang menekuk besi, akan berubah menjadi Azeli.
Sayangnya itu tak pernah terwujud dan waktu terus berlalu.
Tujuh belas hari setelah Kapal Dörs berlabuh, katapel raksasa kedua dan ketiga sudah jadi. Ukurannya tidak sebesar yang pertama, tetapi justru karena itulah dua katapel bisa diselesaikan sekaligus. Dan menuruti anjuran Nora, Elias dan Özker sepakat untuk membangun kota di situ, tetapi setelah katapel-katapel mereka terbukti mampu menjatuhkan Götu Dev.
Pada uji coba ketiga katapel raksasa, mereka meluncurkan batok-batok yang lebih kecil dan tidak berisi. Uji coba itu berlangsung selama tiga hari, demi menentukan jarak lempar yang tepat, jika mereka ingin menghantam langsung kepala Götu Dev atau kedua kakinya.
Semua berjalan dengan lancar. Tak ada lagi yang memberatkan hati Nora, kecuali satu.
Elias.
Semenjak ciuman waktu itu, Elias mendadak bersinar. Seolah-olah Nora telah melepaskan belenggu yang menahan secuil sisa dari dirinya. Bahkan Özker mengakui itu. Sang tetua pernah menyinggung bahwa Elias "sama sekali berbeda dengan dirinya sebelum Nora datang".
Perut Nora mulas.
Itulah mengapa sang gadis frustrasi untuk mencari Azeli. Namun, tak peduli berapa banyak cermin yang ditatapnya, bayangan sang penjaga dimensi juga tak kunjung mampir.
Ayolah. Tinggal satu minggu. Yang benar saja. Apakah pernikahannya benar-benar harus berakhir? Ketika ia merasa bahwa cukup Elias yang menjadi pendampingnya seumur hidup? Bahwa ia benar-benar yakin takkan ada pria seperti Elias di Bumi?
Kalau kau bilang ada, tentu saja pasti ada, tapi apakah Nora akan menghabiskan sisa usianya untuk mencari Elias Bumi di seluruh dunia? Yang benar saja. Dan apakah Elias Bumi itu bakal menginginkannya sebesar Elias yang asli?
Saat Azeli menggeleng di cermin waktu itu, tepat beberapa saat sebelum pernikahannya, semestinya Nora mendengarkan. Atau tidak sama sekali. Dua kubu di dalam dirinya sama-sama memegang kuat perbedaan itu dan tak ada yang menengahi.
Acap kali memikirkan ini, Nora ingin meneteskan air mata lain.
Kalau dipikir-pikir, ia sering menangis semenjak tiba di Tellus, tetapi ia menghargai setiap tetesan itu. Tak ada air mata yang sia-sia sebab segalanya mendorong Nora untuk berada sejauh ini.
Sedikit lagi, dan ia bakal berhasil menyatukan dua suku warisan Joseph dan Melisa.
Apakah itu bakal cukup dalam satu minggu?
Nora banyak melamun pada penghujung minggu ketiga. Setibanya malam, ia pulang ke dek delapan dengan langkah gontai. Sebagai sesama istri pasha, Nora dan Naime meninjau banyak hal termasuk rencana pertukaran gadis-gadis demi memperluas pengetahuan. Namun Naime tak tahu kalau Nora bisa saja takkan pernah muncul lagi. Jika Nora sungguhan pergi, Naime mesti mengurus itu sendirian.
Semoga Elias tidak kewalahan dengan rencana-rencana baru.
Sial. Pelupuk Nora memberat saat memikirkan itu. Kemudian, saat ia membuka pintu dan mendapati Elias baru saja keluar dari kamar mandi, ia tersenyum. Senyumnya muncul begitu natural seolah-olah ia tak pernah bersedih.
Kehadiran Elias memang membuatnya begitu tenang.
"Kenapa kau baru pulang?" Elias menggosok rambutnya yang basah. Tampan. Bulir-bulir kecil menetes di pundaknya yang kukuh. "Apa Naime menyita waktumu?"
Nora terkekeh pelan. Elias menghampiri dan secara natural menaruh satu kecupan di pelipisnya.
Mereka benar-benar suami dan istri sekarang.
"Kami membuat banyak rencana, kau tahu?" Nora mendongak. Kalau dekat begini, Elias begitu menjulang di hadapannya. Jika menatap lurus, ia bakal memandang langsung ke dada pria itu dan Nora jadi malu. "Tampaknya kau akan kewalahan kalau nanti rencana-rencana itu sungguhan terwujud."
Nora memang tak pernah menyinggung lagi soal kepulangannya ke Bumi, tetapi ia mesti memperingatkan Elias.
Karena Azeli tak kunjung bisa ditemui.
"Nora." Sinar geli di mata Elias meredup. "Bukankah aku sudah bilang ...."
"Tapi, Elio—"
"Sepertinya kau tidak mengerti." Elias tersenyum kalut. Ia menarik Nora ke pelukannya, membuat gadis itu terdesak pada dadanya yang masih sedikit basah. Rona merah menyerbu wajah sang gadis. "Apalagi yang mesti kuperbuat agar kau mengerti perasaanku, Nora?"
Nora mengerti. Dan ia juga mengerti kalau Elias akan menciumnya, tetapi ia takkan menolak itu. Ia benar-benar membutuhkan bibir Elias menekan miliknya, merenggut segala beban yang bertumpuk di punggungnya dengan setiap lumatan memabukkan.
Hanya malam ini saja.
Hanya malam ini saja, Nora benar-benar ingin merasakan kehangatan Elias memeluknya, tanpa memikirkan waktu, tanpa memikirkan apa pun.
Pria itu dengan mudah membuatnya puyeng tanpa alkohol. Cara Elias melumat bibirnya, mengabsen tiap jengkal dengan sesapan menggoda membuat Nora melenguh. Desahan demi desahan lolos dari mulutnya tanpa bisa terkendali. Wajahnya panas. Nora tahu itu. Tapi ia tak bisa berkutik, dan ia sangat senang dengan ketidakberdayaan ini. Ia sengaja membiarkan dirinya lemas di dada Elias. Jari-jari sang pria menggerayang punggungnya, menekan lebih dekat agar tak ada celah lagi di antara mereka.
"Bawa aku ke kamar, Elio," bisik Nora setengah merengek. Ia menyapukan jarinya menuruni dada Elias yang bidang, ke arah perutnya yang keras. Matanya berputar saat Elias mulai menyesap lehernya. "Jika ... jika ada satu hal lagi yang bisa kuajarkan padamu—"
"Tidak, Nora." Elias menggeram. Napasnya berat di leher gadis itu.
Nora berjuang keras mengumpulkan kata-kata saat Elias mengisap lehernya. "Akan kuajarkan kau sesuatu yang sangat hebat. Kau tak perlu mencatatnya. Kau akan mengingatnya."
Elias mendengus. Ia terdengar seperti baru saja menenggak sebotol penuh vodka. Kenyataannya ia dibuat linglung dengan aroma tubuh Nora. Ia tak bisa berhenti menghirupnya dalam-dalam. "Kau akan menyesal, Nora," keluhnya.
"Tidak ada yang kusesali, Elio." Nora mendorong pria itu agar menatapnya. Pandangan Elias sudah tidak fokus, dikaburkan oleh gejolak yang mengganggu sisi logisnya. "Kau masih suamiku. Lakukan apa yang semestinya kita lakukan."
Senyum Elias melenyap. Nora sudah mengatakannya, dan kata-kata gadis itu telah memantik percikan di dalam tubuh sang pria.
Tak ada yang bisa memadamkannya sekarang.
Elias spontan menggendong Nora dalam satu ayunan kuat. Gadis itu terkekeh geli saat Elias membawanya ke kamar.
Dan untuk pertama kalinya, desahan yang lolos dari mulut Nora bukanlah keluh kesah karena menghadapi persoalan dunia.
- - -
Enam hari menjelang tenggat.
Nora mendadak memberikan usulan, tepat setelah pertemuan untuk membahas kesiapan katapel raksasa. "Bagaimana kalau kita memancing Götu Dev untuk mendekat kemari?"
Ia tahu persis bahwa usulannya akan disambut pelototan seisi penghuni meja. Kecuali Elias, tetapi sang pemimpin tidak menatapnya.
Ia meremas tangan Nora di bawah meja. Bibirnya terkatup rapat.
"Nyonya?" Özker berusaha terdengar setenang mungkin di balik kesuramannya. "Mengapa kau ingin memancing raksasa ke tempat yang juga kauanjurkan sebagai titik pembangunan kota kita?"
Ujung bibir Nora berkedut pada penyebutan 'kita'.
"Lantas apakah kita akan menunggu saja hingga Götu Dev datang kemari?" kata Nora. "Walau memang keamananlah yang kita cari, tetapi kita tidak tahu apakah katapel itu benar-benar berfungsi semestinya ketika Götu Dev kelak menyerang."
Ayolah. Buktikan bahwa setidaknya kontribusi Nora benar-benar sukses sebelum ia pulang—
Fokusnya terpecah ketika genggaman Elias kian menguat. Jika Nora mengisyaratkan satu kali lagi bahwa semua ini mesti diburu-buru sebelum kepergiannya, tampaknya pria itu akan meremukkan jarinya hingga retak.
Bahu Elias menegang. Nora tahu itu dari ujung matanya.
Erhan Dörs bergumam. "Jika aku boleh mengutarakan pendapat, aku sebenarnya setuju dengan Nyonya Agung. Manfaatkan kesempatan itu selagi suku kami masih merapat di sini. Jika masih ada yang bisa kami bantu untuk memperbaiki pada katapel raksasa, kami akan menyediakan semampunya."
Özker mengamati Nora dan Erhan bergantian. Cukup mudah untuk mengubah keputusan sang tetua selama junjungannya berkata demikian. Pandangannya lantas bergeser kepada Elias, dan ia menyadari kegetiran di wajah Elias.
"Bagaimana denganmu, Pasha?"
Elias memaksakan senyum. "Tentu saja. Maksudku, mari bergegas. Kita harus bersiap-siap semaksimal mungkin."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top