18. The Risk Taken


Elias mengadakan pertemuan usai waktu sarapan. Para cendekiawan dan prajurit berpangkat tinggi telah berkumpul di ruangan saat Elias datang bersama Nora. Begitu pula Özker, yang duduk di seberang kursi pemimpin. Bahkan sang nahkoda akhirnya turun bergabung.

Ketika mereka melangkah masuk, para penghuni ruangan sontak berdiri. Tatapan yang mereka tujukan kepada Nora menajam. Nada sapaan mereka terhadap Pasha dan istrinya cukup datar.

Sang gadis nyaris menunduk, mengakui segala tuduhan itu dengan penuh penyesalan, tetapi Elias meremas tangannya. Ia tak boleh terpengaruh emosi apa pun di sini. Nora harus mempertahankan dagunya tetap terangkat.

Elias mempersilakan seisi ruangan untuk duduk.

"Persediaan obat menipis, Pasha," seorang cendekiawan berkata. "Namun membutuhkan waktu yang lama jika kita harus mengolahnya dari awal. Apalagi kru perawat kami terbatas—sebagian harus bekerja untuk mengurus korban-korban yang terluka."

"Seberapa banyak sisa stok obat yang kalian punya?"

Cendekiawan itu menyipitkan mata. "Jika kami menggunakannya seefektif mungkin, maka bisa bertahan sampai dua hari ke depan saja. Jika Anda menghendaki kru kami untuk menumbuk obat baru, maka butuh waktu tiga hari. Kami khawatir para korban tak bisa bertahan tanpa pengobatan konstan—apalagi mereka yang kehilangan tangan."

Bayang-bayang akan pria yang kehilangan kaki itu membuat perut Nora bergejolak memualkan. Padahal ia tidak sarapan kecuali tiga cawan air saja. Eliaslah yang menghabiskan porsi sarapannya.

Elias menambatkan pandangan pada sang nahkoda. "Kita cari kapal suku terdekat. Kita akan membeli stok obat mereka untuk sementara waktu." Usai sang nahkoda mengangguk, ia kembali berkata kepada cendekiawan tadi. "Tetap tumbuk obatnya. Kerahkan para remaja Avankaya yang sudah cukup mahir berkebun. Ini waktunya mereka untuk ikut mengolah bahan dasar obat-obatan."

Para cendekiawan saling bertukar tatap. "Masalahnya, Pasha ... mereka juga sudah membantu kami untuk merawat korban-korban yang lain. Mereka menemani para korban dengan luka ringan."

Mereka kekurangan kru. Di saat yang bersamaan, Nora seketika ingat dengan memori lama. Ia menoleh kepada Özker, yang sedari tadi hanya melipat tangan dan mendengarkan dengan saksama. Bibirnya yang terkatup rapat seolah menahan untuk mengucapkan sesuatu.

"Bukankah ... bukankah Kohl juga punya kru perawat?" Nora tak menyangka suaranya bakal gemetaran. Ketika seisi ruangan mengarahkan fokus kepadanya, gadis itu mendadak ingin sekali menyusut. "Benar begitu, Özker? Mereka yang merawatku saat pindah ke kapal Kohl dulu. Mereka amat cekatan."

Elias tampaknya sudah mengetahui itu, sebab pertanyaan yang keluar dari mulutnya membuat Nora agak terkejut. "Bolehkah, Özker?"

Elias tentu saja sudah memikirkannya. Namun, jika pemimpin tertinggi saja mesti meminta izin pada pemimpin lain di bawahnya, maka jelaslah penyebabnya.

Mengakurkan kedua suku ini tidak semudah mendorong mereka untuk membangun proyek bersama.

Perjalanan masih panjang.

Özker mendengus. "Biarkan perawat-perawat kami untuk mengurus para korban luka ringan. Kerahkan remaja kalian untuk mengurus obat atau apalah sesuai rencana Pasha."

Elias menghela napas lega. "Trims, Özker. Aku sangat berutang padamu," katanya. Kendati Özker mengangguk membenarkan, Nora merasakan kegelisahan di hati. Kenapa Elias mesti berutang kepada pemimpin lain?

Özker, merasa tak bisa menahan ucapannya lebih lama lagi, menyita perhatian seisi ruangan dengan lantang. "Alat tempur itu. Katapel raksasa." Dua kalimat yang berhasil memeluntir perut Nora. Satu sindiran lagi dan Nora akan memuntahkan asam yang menggerogoti lambungnya. "Kita mesti memperbaikinya. Aku menyadari bahwa masih ada engsel yang kendur, dan tali-tali lontar semestinya diberi lapisan. Banyak prajurit kami yang tangannya terluka. Tangan adalah salah satu aset terpenting seorang prajurit—kita bakal kepayahan dengan kekurangan ini."

Mendengar penuturan Özker membuat hati Nora mencelus. Ia bahkan tak tahu sejauh itu. Saat ia melakukan pengecekan terakhir kali kemarin, semua tampak baik-baik saja dan sempurna—semua sesuai apa yang ia ingat dari salah satu momen belajar bersama ayah angkatnya.

Pandangan Nora turun pada jemarinya yang saling menggaruk gelisah.

Ia kira ia lebih tahu daripada orang-orang di sini. Bahwa ialah yang membawa pengetahuan persenjataan kuno Bumi kepada orang-orang di Tellus. Bahwa ia yang lebih tahu apa yang terbaik bagi mereka—menantang tatapan-tatapan ketakutan mereka dengan ancaman Götu Dev.

Namun Götu Dev kemarin bisa menghindari peledak mereka, dan empat puluh orang menanggung akibatnya.

Nora tak mengerti mengapa ia berada di ruangan ini. Apakah ini, secara tak langsung, adalah momen ia diadili? Momen ketika ia kembali diingatkan bahwa upayanya untuk mendamaikan kedua pihak kembali menemukan kegagalan? Sebagaimana upayanya menyatukan seluruh von Dille selama bertahun-tahun yang tak kunjung berhasil?

Lamunan Nora buyar ketika seorang cendekiawan membenarkan ucapan Özker. "Dan pelumas. Kita membutuhkan pelumas."

Elias menahan napas. "Kuharap kapal yang bisa kautemukan bisa membawa itu semua." Ia menatap sang nahkoda. "Tolong lakukan itu sekarang."

Sang nahkoda meninggalkan ruangan dengan cepat.

"Apakah para prajuritmu sudah dirawat, Özker?" pertanyaan sang pasha dijawab dengan anggukan. "Jika mereka membutuhkan istirahat, berikanlah. Jika mereka sudah cukup prima, kuharap mereka bisa membantu untuk berjaga di kapal induk saja. Biar para penjaga yang turun untuk melakukan pekerjaan."

Nora mengernyit. Ia menyadari ada ketidakberesan lain.

Rapat terus berjalan setelah itu. Inti permasalahan adalah kurangnya segala sesuatu. Mereka tak punya pilihan selain memang berlabuh dan berharap hujan takkan turun sederas badai, dan ada kapal suku yang sedang lewat dalam jangkauan satu hari. Ketika rapat dibubarkan, Elias tak langsung beranjak. Ia sedang menulis sesuatu di perkamen, sesuatu semacam surat permintaan kepada kepala suku lain. Nora otomatis tertahan bersamanya.

Rupanya Özker juga. Sang tetua bertahan di kursi sementara satu per satu meninggalkan ruangan.

Nora menunduk. Tak ada lagi alasan baginya untuk menahan dagunya terangkat.

"Apa kau baik-baik saja, Nyonya?"

Nora terperangah. Ia menatap Özker dengan tatapan nanar.

Sang tetua melanjutkan. Kegelisahan berkelebat di wajahnya. "Aku melihatmu jatuh kemarin. Aku tak bisa melakukan apa pun karena aku mesti melakukan hal yang lain. Tapi, apa kau baik-baik saja?"

Nora mengangguk ragu. Kenapa Özker justru menanyakan keadaannya? "Özker, tapi aku—tapi ini kesalahanku. Seharusnya kemarin aku tidak melangkahimu—"

"Nora." Elias memperingatkan di bawah napasnya.

Özker terdiam. Tangannya mengepal di atas meja. "Tidak, Nyonya. Itu kesalahan kami. Para prajuritku tahu bahwa seharusnya akulah yang mereka dengarkan. Tetapi mereka juga tidak mampu menahan beban alat itu. Ini bukan kesalahan siapa-siapa." Ia menggeram. "Kita hanya membutuhkan lebih banyak orang untuk menarik beban itu."

Kelegaan membanjir di dada Nora, dan tampaknya itu sangat jelas, sebab ekspresi Özker melunak saat menatapnya. Nora pun tak mampu menahan dirinya untuk terisak. Elias, yang baru saja selesai membubuhkan cap tangan, berputar dan menarik gadis itu ke pelukan.

Özker memandang mereka dengan saksama. Di sela-sela tangisnya Nora melihat sang tetua akhirnya beranjak.

"Aku akan memberikan pengarahan kepada anak-anakku," ujarnya sebelum menutup pintu.

Selama sesaat ruangan hening selain isakan pelan Nora.

"Hei, cukuplah," Elias berbisik. Ia mendorong Nora dengan lembut untuk menatapnya. Jarinya yang kasar mengusap pipi gadis itu. "Kau tidak bersalah apa-apa. Özker sudah mengatakannya."

Nora menyeka hidung. "Aku ... aku akan membantu untuk mengumpulkan getah saja. Aku tidak kuat mencium bau darah lagi."

Ketika Elias menempelkan dahi mereka, sang gadis merasakan wajahnya bersemu. Apa yang pria ini lakukan? Tak ada orang-orang yang mesti mereka pameri kemesraan. Meski begitu Nora tak menarik diri.

Ia ingin tetap seperti ini. Kalau bisa.

"Lakukan apa pun yang kau sanggup. Jangan paksakan diri. Mengerti?" pertanyaan Elias dibalas dengan anggukan lagi, kendati lebih malu-malu. Pria itu tersenyum. "Aku akan mondar-mandir lagi hari ini. Sampai jumpa nanti malam."

Elias kemudian menarik diri untuk membereskan perkamen. Sementara itu Nora berpikir untuk kembali ke kediaman sejenak, sekadar membenahi diri sebelum turun dari kapal.

Sebelum Elias berpisah dengan dirinya, Nora berkata lagi. "Um, Elio? Aku menyadari sesuatu."

"Ya?"

"Di saat seperti ini ... jangan sebut prajurit Kohl sebagai milik Özker. Bukankah mereka juga milikmu?" Nora berusaha menyunggingkan senyum terbaiknya. Saat Elias menatap dengan tertegun, gadis itu menambahkan dengan pelan. "Semua adalah milikmu, Elio. Semua berada dalam kendalimu. Dan saat-saat ini ... meski menyakitkan, mesti kuakui bahwa bisa menjadi kesempatan terbesarmu untuk membuat mereka berbaur lebih dekat lagi."

Tatapan Elias melunak. "Kau benar," ujarnya. "Terima kasih sudah mengingatkanku. Apalah aku tanpamu, Nora?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top