17. The Feared Turn
Langit riuh dengan bel yang terus berdenting. Para penduduk berhamburan dan kocar-kacir untuk bersembunyi lagi. Bahkan para prajurit Kohl refleks bergegas, tetapi Özker meneriaki mereka agar kembali. Batok peledak kedua dipasang pada alat, sementara pemuda-pemuda gagah itu menarik tali-tali pelontar dengan gugup. Seorang cendekiawan lain menyusul dengan obor baru.
Dari balik perbukitan, sesosok Götu Dev meraung marah. Dari caranya muncul, ia tampak sedang terlelap di balik bukit itu. Langkahnya tidak stabil saat berusaha mengejar. Ia sangat lambat dibanding dua Götu Dev yang pernah Nora lihat sebelumnya.
Tetap saja itu si raksasa.
"Elio." Nora menahan napas. Sang pasha menaruh jari-jarinya di pundak Nora, menekannya dengan kuat hingga Nora nyaris terhuyung-huyung. "Elio, tenanglah."
Elias refleks mengambil napas dalam-dalam. Ia menurunkan pandangan ke arah dek dasar. Özker pun sama tegangnya. Sang tetua mondar-mandir dengan gelisah sementara para prajurit menarik tali-tali pelontar dengan sekuat tenaga. Wajah mereka pucat dan keringat mengalir deras di pelipis mereka. Tangan mereka merah melepuh menahan beban dan serat-serat kasar tali.
Denting bel kembali berbunyi. Kru nahkoda berteriak lagi. "Pasha!" pekiknya. "Pasha!"
"Mereka membutuhkanmu, Elio." Nora mendorongnya. "Bergegaslah. Aku akan tetap di sini bersama Özker!"
Elias tak langsung beranjak. Ia menatap Nora dengan kekhawatiran besar, tetapi perannya sebagai sang pemimpin jauh lebih dibutuhkan. Pada akhirnya ia mengangguk. Jarinya meremas bahu Nora sebelum melompat ke dalam.
Nora berputar ketika Özker memanggil. "Nyonya!" ujarnya. "Berikan perintahmu!"
Jantung Nora berpacu keras. Perintahnya? Ia menyesal telah menyuruh Elias pergi sebelum memberikan perintah. Kendati dibesarkan oleh dua tentara, ia tidak dididik dengan kehidupan seperti itu. Özker dan Elias berbeda. Mereka bisa memahami ketakutan Joseph sekaligus keberanian Aefar tiap kali Nora menceritakannya. Mereka tahu kapan sebaiknya melepas. Mereka tahu—
Götu Dev itu kembali meraung. Sadar bahwa Kapal Anatolli tidak kunjung berlayar, si raksasa pun mengambil langkah lebar. Kendati ia lambat, langkah sebesar itu membuat jaraknya memendek dengan cepat, dan ia stabil.
Nora tergagap. "Tembak!" serunya. "Sekarang!"
Özker terkesiap. "Tunggu—"
Tetapi para prajurit itu tidak tahan lagi, dan Nyonya Agung telah bersuara. Mereka berteriak saat tali-tali pelontar lepas dari tangan mereka, menampakkan telapak-telapak tangan bersimbah darah. Batok peledak meluncur ke udara. Desingnya kembali memecah langit.
Sang raksasa melotot.
Karena langkahnya begitu berhati-hati dan mantap, ia bergeser ke samping. Batok itu mendarat tepat di sisi kakinya.
Hati Nora mencelus.
Meleset.
Batok meledak seketika membentur tanah. Gelombang air beriak keras. Asap membumbung dan pecahan batok menyebar ke segala arah. Götu Dev itu meraung saat sebagian pecahan menghunjam ke arahnya. Marah, sang raksasa melempar pecahan yang ditangkapnya ke arah kapal.
Anatolli bergoyang keras saat nahkoda memutar kemudinya sekuat tenaga. Posisi kapal yang miring membuat para penduduk jatuh terguling, saling menabrak pada satu sisi sementara kapal memutar haluan dengan tajam. Rantai yang mengikat kapal-kapal kecil bergemerincing keras.
Pecahan batok itu membentur pagar kapal. Jeritan memenuhi udara. Bunyi derak mengerikan pecah dari katapel raksasa.
Nora ikut terpeleset, tetapi tangannya sempat berpegangan erat dengan pagar dek. Di belakangnya, seorang prajurit menghampiri.
"Nyonya!" prajurit tersebut membantu Nora berdiri, tetapi kapal bergoyang-goyang keras seiring dengan gelombang air yang bergelung tinggi. Sang Götu Dev menendang kakinya, menciprati air ke kapal yang jatuh sederas badai dadakan. Para cendekiawan Avankaya yang terjebak di dek terbirit-birit. Namun dek yang basah membuat kaki mereka terpeleset.
Dan kejadian demi kejadian melindas.
Di sela-sela celah pagar dek, Nora menyaksikan pemandangan horor di dek dasar. Tiga—tidak, empat orang terjepit di bawah katapel, dan darah merembes di lengan kaus mereka. Dua orang terkapar di sisi pagar dek, saling berpelukan di bawah pecahan batok yang menyasar tubuh mereka. Sejumlah orang bahkan telah tercebur ke padang, dan kini mereka berteriak meminta tolong.
Napas Nora memburu.
Tidak. Tidak. Ini tidak seharusnya terjadi! Gadis itu menjerit saat pecahan batok lain kembali mendarat di dek. Seseorang terpental keluar.
"Hentikan kapalnya!" seseorang histeris. "Anakku tercebur!"
Özker tahu-tahu berlari dari arah dek. Ia terjun ke air. "Naik ke kapal!" bentaknya. Ia meraih dua anak di dekatnya, lantas menghalau para penduduk lain yang tergopoh-gopoh menuju kapal kecil terdekat.
"Cepat!" desak yang lain. "Dia mengejar!"
Götu Dev itu kini melangkah dengan tertatih-tatih. Kendati tidak tepat mengenai kakinya, ternyata ledakan itu masih menimbulkan luka yang cukup serius. Darah hitam menggenang pada air di sekeliling kaki sang raksasa. Rasa sakit membuatnya meraung setiap kali menapak maju.
Usai memastikan bahwa tak ada lagi yang tertinggal, rombongan kapal melaju pesat. Jejak debu keemasan bertebaran di langit.
- - -
Menurut laporan seorang prajurit, total ada sebelas orang meninggal. 29 terluka. Selain tergencet pecahan batok atau terjepit di katapel raksasa, penyebabnya karena tertindih oleh desakan di dalam dek.
Segalanya kacau.
Kapal baru berlabuh setelah empat jam berlayar. Sepanjang waktu, proses evakuasi berjalan dengan carut-marut. Nora tak pikir panjang lagi untuk bergabung ke ruang perawatan di dek tiga. Aroma kematian tercium pekat saat Nora masuk. Rintihan tangis anggota keluarga yang ditinggalkan berbaur dengan erang kesakitan para pemuda. Dua orang kehilangan tangannya. Seseorang kehilangan empat potong jari. Seseorang tengah tak sadarkan diri—ia terancam mati karena kakinya terpaksa digergaji. Belum lagi para penduduk awam yang tergencet. Mereka terkapar lemas di hamparan karpet dan hanya beralaskan bantal.
Nora menangis melihat itu.
Ini semua salahnya.
Özker hanya menghendakinya untuk memberi izin. Masalah kapan sebaiknya batok dilontarkan adalah urusan sang tetua. Nora tidak benar-benar berwenang atas itu.
Satu patah kata dan ia menyebabkan timbunan kekacauan ini. Nora pun sejujurnya sangat malu untuk hadir di ruangan itu. Walau orang-orang menatapnya dengan penuh harapan, Nora tak sanggup menanggung kenyataan yang hanya ia dan sejumlah orang ketahui. Para penduduk awam itu juga tak berani untuk menyalahinya—jika Nora bisa disalahkan, sebab katapel raksasa itu sejak awal sudah membuat mereka ketar-ketir.
Namun Nora tak mau berpasrah pada tuduhan semacam itu. Ia berkutat untuk menahan gejolak amarah pada dirinya sendiri dan membantu muda-mudi Avankaya untuk mengobati. Masalah juga tidak berhenti sampai di sana. Ketika malam berganti menjadi pagi, stok obat-obatan menipis. Pria yang kakinya digergaji itu juga akhirnya meninggal dunia.
Kata gadis Avankaya yang berbisik pada Nora, pria itu baru saja memiliki anak berumur tiga bulan bersama istrinya. Sang istri kini memenuhi ruangan dengan isak tangisnya di pukul empat pagi. Nora sendiri terpuruk di pojok ruangan. Hatinya tersayat. Matanya bengkak akibat berulang kali menangis, dan berulang kali pula ia mesti mengusapnya cepat-cepat karena bergegas mengobati yang lain.
Ia ingin sekali menghampiri wanita itu, memeluknya erat-erat dan meminta maaf, tetapi ia tak bisa bergerak. Tubuhnya dilumpuhkan oleh rasa bersalah besar, dan bahunya bergetar saat memikirkan itu.
Andai saja ia tidak terselip mengucapkan satu perintah yang bukan wewenangnya.
Samar-samar, cemoohan abangnya Ehrlich kembali terdengar. Sudah kubilang, bukankah seharusnya kau tidak ikut campur? Lihatlah apa yang terjadi.
Kemudian Elias muncul. Kehadirannya bagai berkas-berkas sinar mentari yang menembus awan gelap di sekujur langit. Saat melihat Elias, Nora refleks duduk tegak. Sang pasha pun telah menambatkan pandangan kepadanya, tetapi perhatiannya teralih. Istri yang malang tadi berlari dan jatuh tersungkur di depannya.
"Pasha," wanita itu terisak, "Pasha, apa yang mesti kulakukan sekarang? Anakku ... anak kami ...."
Elias membantu wanita itu berdiri. "Kami akan memenuhi kebutuhanmu dan anakmu selalu, saudariku." Ia menepuk bahunya dengan lembut. "Tegarlah. Kau bisa. Kami bersamamu."
Wanita tersebut tersedu-sedu di lantai, bercampur ucapan terima kasih yang terpatah-patah. Seorang gadis perawat Avankaya merangsek untuk membantunya berdiri.
Usai menyapukan pandangan ke sekeliling ruangan, Elias menghampiri Nora. Ia tak lagi mengulurkan tangan kendati Nora mengharapkannya. Sang pria langsung merangkul bahunya dan menggiringnya keluar. Baru pada saat itulah Nora merasa kakinya sangat lemas. Ia sempat tersandung beberapa kali saat menyamakan langkah Elias yang lebar.
"Elio," bisiknya frustrasi. Namun sang pria tak mengatakan apa pun, selain mempererat cengkeramannya. Nora merasa tubuhnya separuh terangkat—terdesak pada himpitan dada Elias dan lengannya yang kukuh.
Ketika mereka mencapai lift yang kosong, barulah Elias melonggarkan pelukan. Ia menangkup wajah Nora dengan kedua tangannya yang hangat.
Air mata menggenang sekali lagi di pelupuk Nora yang perih. Elias bahkan belum mengatakan apa pun, tetapi menerima tatapan teduh sang pria membuatnya terguncang.
"Elio." Suaranya gemetar. "Ini salahku."
Keterkejutan berkelebat di mata Elias. Ia spontan menarik Nora mendekat, menekan kepalanya agar bersandar. Kehangatan yang menguap dari pria itu melibas dingin yang membungkus Nora, menyesakinya sekejam tuduhan di dalam benaknya.
"Jangan katakan itu," bisik Elias penuh penyesalan. "Kecelakaan bisa saja terjadi kapan saja, termasuk percobaan pertama seperti tadi."
Nora menelan ludah. "Tapi tak ada yang mengharap keluarganya menjadi korban."
Jari Elias mengusap kepalanya dengan lembut. "Memang tak ada, Nora. Tetapi Tuhan memberikan mereka kehormatan—mereka tewas saat menjadi bagian untuk melawan musuh kita." Ia berbisik lambat-lambat, setengah meyakinkan dirinya sendiri saat menambahkan, "Bukankah tadi juga termasuk upaya kita untuk melawan musuh? Mempertahankan diri?"
Nora tak tahu apa jawaban yang tepat, dan otaknya memang tak bisa dibuat berpikir. Setibanya di dek delapan, Elias setengah membopongnya menuju kediaman. Nora benar-benar lemas.
Elias berniat membawanya ke arah kamar, tetapi Nora menolak. Ia menunjuk ke arah perapian. Tanpa api yang berkeretak, kediaman ini begitu dingin dan senyap. Semenjak hujan turun secara konstan, suhu di malam hingga pagi hari memang menurun tajam. Apalagi mereka tidak pulang semenjak pagi lalu. Jendela-jendela masih terbuka lebar. Angin menyusup masuk dan menjilat sekujur kulit Nora yang tak tertutupi pakaian. Ia menggigil.
"Kau tak mau tidur di kamar?"
Nora menggeleng. Elias pun membantunya merebahkan diri di karpet. Sang pria masih sibuk setelah itu. Ia menutup jendela-jendela, menyalakan perapian, kemudian mengambilkan Nora bantal dan menyelimutinya.
Elias tampaknya juga tak sanggup lagi. Usai menyelimuti Nora, ia berusaha bangkit, tetapi lututnya gemetaran. Elias lantas terduduk di karpet. Ia bengong sesaat, setengah tak menduga akan reaksi tubuhnya, dan setengah lagi merasakan rasa lelah menggerogoti begitu cepat.
Nora menepuk sisi karpet di balik punggung Elias. Matanya sudah memberat, dan tenggorokannya kering. Ia tak punya tenaga lagi untuk mengatakan apa pun.
Elias, kendati bertanya-tanya, di awal, pada akhirnya menyerah pada kondisi tubuhnya dan merebahkan diri.
"Elio." Nora akhirnya menemukan suaranya setelah berkutat.
"Jangan." Tenggorokan Elias sama seraknya. "Jangan pikirkan apa pun. Tidurlah."
Sebenarnya Nora tak ingin mengajak mengobrol seperti dugaan sang pasha. Namun Nora diam saja. Sang pemimpin muda benar-benar kelelahan. Nora bahkan tak tahu apa yang pria itu lakukan seharian. Semenjak mereka berpisah di dek, Nora sama sekali belum menemuinya. Dan ia yakin sekali, tanpa ada keraguan setitik pun, bahwa Elias paling sibuk ketika kekacauan melanda kapalnya.
Elias jatuh tertidur lebih cepat daripada Nora. Tak butuh waktu lama hingga dengkur halus terdengar memenuhi ruangan, beradu dengan suara keretak kayu yang syahdu.
Nora mengumpulkan tenaga untuk bergeser mendekat, kemudian melingkupi Elias dengan sisa selimut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top