15. The Creeping Night
Karena Özker meminta lebih banyak tenda dibangun, maka para prajurit Kohl turun sekali lagi. Keputusan ini membuat Elias penasaran. Sang pasha datang meninjau ketika menjelang sore. Hujan masih belum berhenti membasuh Tellus, tetapi setidaknya tak ada gelegar petir yang mengerikan.
Nora menyambutnya. "Aku meminta satu tenda didirikan untukku. Aku akan bermalam di sini."
Elias merangkul pundak Nora. "Untuk apa?"
Gadis itu sempat membeku. Andai ia tidak ingat kalau ini merupakan salah satu rencana pertunjukan kasih sayang di depan umum, ia sudah pasti akan mengeplak jari sang pasha. Ia berdeham. "Ada gagasan besar yang mesti kukembangkan. Aku capek kalau naik ke dek delapan lagi, jadi aku memutuskan untuk mengerjakannya di sini saja."
Dahi Elias berkerut. "Kau tidak boleh tidur sendiri. Aku akan menemanimu." Kemudian, sebelum sang gadis protes, ia mengacungkan tangan. Elias memang tak mengatakan apa pun, tetapi tatapannya menjelaskan banyak hal. Nora dibuat bungkam secara efektif. Sang gadis mengatupkan bibir dengan pipi merona.
Ekspresi Elias melunak melihatnya. Ia mencondongkan tubuh untuk berbisik tepat di telinga Nora. "Aku pun belum mendengarkan gagasanmu. Kita bicarakan itu malam ini."
Nora mengangguk gugup. Gelisah dengan sikap Elias, ia mengalihkan topik. "Bagaimana dengan menu makan malam?"
"Gadis-gadis sedang memasak besar untuk para prajurit. Makanan nanti diantar turun, jadi jangan khawatir." Elias menyeringai. Nora mengerucutkan bibir. Pria ini sedang menggodanya. Namun Nora tak ingin meladeni itu. Ia masuk ke tenda, meninggalkan sang pasha yang termangu di posisi.
Pasha sialan. Apakah ia lupa kalau Nora bakal kembali ke Bumi? Ia takkan bertanggung jawab andai Elias jatuh cinta padanya karena terlena dengan pertunjukan kasih sayang ini. Atau barangkali sang pemimpin memang cukup frustasi karena tidak kunjung menikah, sehingga menerima pernikahan politik ini sebagai pernikahan sungguhan baginya?
Sementara Nora berkutat mengembangkan gagasannya, ia mendengar Elias mengobrol dengan Özker di luar. Mereka membicarakan kesepakatan untuk memaksimalkan dua hari yang ada. Sebagian prajurit Kohl dan sebagian cendekiawan Avankaya akan menginap di tenda-tenda demi kepentingan ini. Toh Pasha dan istrinya juga turun tangan untuk mengawasi.
Ketika waktu makan malam tiba dan hidangan disuguhkan, seluruh aktivitas tenda berhenti sejenak. Nora keluar dari tenda. Ia menyaksikan para prajurit Kohl bergerombol, sementara para cendekiawan Avankaya menyingkir pada sudut mereka sendiri.
Nora berkacak pinggang. Yang benar saja.
"Nyonya! Mari, makanlah bersama kami." Seorang prajurit mengacungkan piringnya yang masih kosong.
Nora tersenyum. "Tentu." Alih-alih, ia menghampiri Elias. Dengan isyarat tangan sederhana, sang pasha mengangguk paham. Ia mengambil posisi duduk di tengah-tengah tenda dan Nora menyusul. Sementara piring hidangan mereka masih disiapkan, Elias menepuk tangan.
"Apakah kalian akan makan di tepi seperti itu?" ujarnya kepada para Avankaya. "Makanan kalian akan bercampur hujan."
"Kemarilah," Nora menimpali sembari melambaikan tangan kepada prajurit Kohl. "Apa kalian akan membiarkan kami makan berdua saja seperti orang terisolir?"
Sesuai dugaan Nora, para Avankaya dan prajurit Kohl saling melempar tatapan. Mereka semula ragu-ragu, tetapi pemimpin mereka telah meminta tolong. Itu bukan sesuatu yang bisa ditolak. Maka satu per satu bergeser untuk duduk mengelilingi pasangan pemimpin mereka.
"Bukankah ini lebih baik?" celetuk Nora dengan senyum lebar. "Kalian bisa terkena flu jika menepi bersama hujan. Bukankah merapat seperti ini lebih hangat dan menenangkan?"
Muncul gumaman-gumaman, kendati tak ada yang berani untuk menyuarakan pendapatnya keras-keras. Kendati demikian Nora masih mendengar gerutuan protes.
Elias mengalihkan topik. Ia menoleh kepada seorang prajurit di dekatnya. "Apakah rasanya terlalu asin? Terlalu pedas?"
Prajurit itu tersentak. Ia menggeleng kaku. "Tidak, Pasha," jawabnya, dan setelah merasa bahwa responsnya terlalu singkat, ia menambahkan dengan canggung. "Rasanya ... cukup pas. Lumayanlah."
"Syukurlah." Elias tersenyum. "Kalian bisa menambah porsi sebanyak apa pun yang kalian mau. Gadis-gadis Avankaya kami lebih dari senang untuk memasak besar."
Para prajurit refleks bersorak, melupakan kenyataan bahwa makan malam yang mereka santap adalah buatan para Avankaya. Di sisi lain para cendekiawan suku terperangah, tetapi tak dipungkiri ujung bibir mereka terangkat geli melihat sikap para prajurit muda itu.
Nora memerhatikan segalanya dengan saksama. Ia lantas mendaratkan pandangan pada Elias. Ia bangga. Ia dan Elias bekerja dengan sangat baik untuk mewujudkan cita-cita perdamaian itu.
Berlawanan dengan jantung Nora yang berdegup, hatinya ikut berdenyut nyeri.
Bayang-bayang Joseph dan Melisa berkeriap di punggungnya.
- - -
Nora tidak menyangka upaya mendamaikan kedua suku bakal melelahkan. Padahal acara makan malam sekadar hal remeh saja.
Nora ambruk di kasur tenda. Elias sedang mengobrol dengan asistennya di luar, memastikan bahwa intensitas guyuran hujan bakal stabil sepanjang malam. Berbeda dengan di dalam kapal, suhu di sini menurun seiring semakin gelapnya langit. Waktunya bagi para Avankaya dan Kohl untuk beristirahat di tenda masing-masing.
Saat Elias masuk dan mengunci pintu tenda, Nora sedang berguling di kasur.
"Elio, aku mengantuk. Kita bicarakan rencananya esok saja, oke?"
Elias menggumamkan persetujuan. Ia menengok perkamen-perkamen yang dipenuhi coretan Nora. Ia memahami sebagian kecil dari coretan itu, tetapi tidak seutuhnya. Merasa bahwa percuma saja mencoba untuk menerjemahkan tulisan Nora yang berantakan, ia menghampiri istrinya.
"Terima kasih atas malam ini, Nora. Aku tadi melihat ada beberapa cendekiawan kami yang akhirnya mengajak mengobrol para prajurit Kohl. Tak ada perdebatan di sana."
Nora tersenyum. "Tak perlu berterima kasih. Aku juga mengharapkan hal yang sama."
Senyum ikut terpatri di bibir pria itu. "Tidak. Aku takkan bisa mencapai tahap ini tanpa bantuanmu."
Jari Elias bergeser. Nora tahu ia akan menggenggam tangannya lagi, seperti malam-malam lalu. Sebelum itu terjadi, Nora menarik tangannya sendiri dan menyembunyikannya di bawah selimut.
Senyum Elias melenyap. "Nora," bisiknya. "Apa kau baik-baik saja? Aku siap mendengarkanmu, kapan saja."
"Bukan begitu, Elio. Kukira pertunjukan kasih sayang itu hanya untuk di depan umum saja? Atau kau mulai menyalahi aturanmu sendiri?" Nora menghela napas. Ia beranjak duduk, merenungi sejenak keheningan tenda itu, lantas berbalik menatap sang pasha. Elias menghindari tatapannya. Hati Nora mencelus. "Apa? Jangan bilang kalau ternyata kau terselip menyukaiku?"
Sejujurnya dada Nora bergemuruh saat menanyakan itu.
Seharusnya ia tak pernah menanyakannya.
Elias menarik napas dalam-dalam. "Apa pun bisa terjadi," hanya begitu jawabnya. "Lagi pula kau perlu sedikit rileks, Nora. Hanya karena ini adalah pernikahan bohongan yang akan usai dalam tiga bulan, bukan berarti kau bisa menepis segalanya. Bagaimana dengan persetujuanmu untuk mengikuti rencanaku?"
"Tapi, Elio—"
"Atau kau terbayang-bayang dengan apa yang ditinggalkan Tuan Joseph dan Nyonya Melisa kepadamu?"
Segala penangkalan yang siap di ujung lidah Nora seketika tertelan lagi. Gadis itu menatap sang pria nanar. Matanya berkaca-kaca. Sekujur tubuhnya meremang ketika benaknya menggaungkan ucapan Elias.
Tak perlu. Pria itu tepat ada di depannya dan lebih dari siap untuk mengulang lagi.
"Nora," Elias berbisik. Jarinya terangkat, menyentuh pipi sang gadis yang pucat. Nora terkesiap kecil akan sentuhan Elias yang begitu hangat di wajahnya. Sang pasha mengusap air mata yang nyaris meluncur turun. "Bagaimana kau akan menemukan cinta jika kau kerap menjauhinya? Jika kau menginginkan sesuatu, biarkan itu menuntunmu untuk mendapatkannya."
"Tapi orang tuaku—"
"Apakah kau menyamakan dirimu dengan Nyonya Melisa, Nora?" setiap patah kata Elias membuat degup jantung Nora kian memberat. Napasnya menyesak sekarang. "Dan apakah aku Joseph bagimu?"
Nora menggeleng kuat-kuat. "Kau sama sekali tidak sepertinya."
"Dan kau sama sekali tidak seperti Nyonya Melisa." Elias tersenyum. "Baiklah, pernikahan kita memang hanya rencana saja, tetapi kita bisa menjadi teman yang sangat baik. Harmoni kita sempurna saat mengajak makan malam bersama kedua suku tadi. Itu bukan sesuatu yang bisa Tuan Joseph dan Nyonya Melisa lakukan, bukan? Tapi kau melakukannya. Kau dan aku, melakukannya." Elias menempelkan dahinya pada Nora, merasakan getaran gadis itu ketika menggeleng pelan. "Aku percaya kau akan menemukan cinta yang tenang, Nora. Kau akan menemukan seseorang yang mencintaimu dan takkan pernah menyumpahimu."
"Aku tidak tahu, Elio, aku—"
"Aku akan menunjukkannya padamu." Elias mendekatkan bibirnya di telinga Nora. Ia nampaknya senang sekali melakukan ini, mencium wangi rambut gadis itu dan merasakan kehangatan yang terpancar dari kulitnya. "Jika aku bisa membantumu untuk menyingkirkan ketakutan itu, dan kembali ke Bumi dalam keadaan siap menerima cinta seseorang, maka aku akan membantumu."
Saat Elias menarik diri agar mereka bisa mengunci tatapan, wajah Nora bersemu penuh. Ia tak bisa mengontrol itu. Jejak air matanya pun mengering di pipinya.
"Kau ... yakin?"
Elias mengangguk. "Tetapi berjanjilah satu hal padaku." Ia mengacungkan telunjuk. "Tiap kau merasa ketakutan, bisikkan pada dirimu sendiri: Nora bukanlah Melisa."
Nora menarik napas dalam-dalam. Bahunya terguncang. "Aku bukanlah Melisa."
Elias tersenyum. Ketika ia menurunkan jarinya dari leher Nora untuk menggenggam tangan gadis itu, Nora tidak lagi menolak. Ia membiakan jari-jari kasar Elias mengait dengan miliknya, dan napas gadis itu menenang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top