13. The Crystal Debris
Tiga hari setelah masa bulan madu, Nora memilih untuk bergabung dengan para Avankaya yang bergiliran bekerja di sekitar pohon. Mumpung kapal masih berlabuh. Toh ia juga sudah lama mengantisipasi ini. Membuat bubuk sari dari pohon raksasa itu sudah cukup menarik perhatiannya. Perlahan, sebuah ide samar mulai muncul di benak.
"Hei, awas! Awas!"
Teriakan para Avankaya dari sisi kanan Nora mengejutkannya. Terdengar suara derak keras dan gemerisik nyaring. Para Avankaya di sisi itu mendongak, mengantisipasi dengan cemas gemuruh dari atas pohon. Nora ikut mengangkat pandangan.
"Lari!" para Avankaya itu melompat. Tepat saat mereka terbirit-birit menjauh, sebuah batu sebesar kapal sekoci meluncur dari pohon. Tubuh Nora disentak menjauh oleh gadis di sisinya. Tepat saat mereka jatuh berguling-guling di rerumputan, batu menghantam tanah, dan getarannya membuat daun-daun sebesar tubuh manusia berhamburan.
"Nyonya! Apa kau tidak apa-apa?" para Avankaya lain menghampiri.
Nora terbengong-bengong. "Apa itu?" tanyanya saat orang-orang membantunya berdiri.
"Itu batok buah, Nyonya. Buah pohon ini," jelas seseorang. Ia menepuk-nepuk akar pohon yang mencuat di sampingnya. "Raksasa pohonnya, maka raksasa pula buahnya."
Nora menyaksikan buah serupa kelapa itu menggelinding turun, dan baru berhenti saat membentur salah satu kapal kecil. Beruntung, gerakannya yang lambat tidak sampai merusak badan kapal yang ditabrak, tetapi para manusia penumpangnya sudah terlanjur melompat ketakutan.
Sementara para Avankaya kembali bekerja, para prajurit muda Kohl menghampiri buah itu. Mereka mencongkel sebagian kecil untuk mengintip isi, mengumumkan bahwa buah itu masih bagus, dan mereka bersorak.
Seorang Avankaya berseru. "Kami yang menjatuhkan itu, maka bagilah sebagian!"
Kendati para prajurit Kohl menggerutu, mereka tidak protes.
Nora termenung melihat kejadian itu. Ide yang sedari tadi berputar-putar di kepalanya mendadak menemukan cahaya terang di kegelapan tempurung kepalanya. Ia menahan napas.
"Apakah ada keranjang getah yang sudah penuh?" tanya Nora kepada para Avankaya. "Akan kubawakan itu ke kapal produksi—aku ingin melihat prosesnya!"
Oh, ia tidak sabar untuk bertemu Elias lagi dan menyampaikan penemuannya hari ini!
Kala Nora menceritakan gagasan, suaranya berlomba dengan gempuran hujan pada jendela-jendela. Waktu makan malam bersama penduduk kapal sudah berakhir, dan kini keduanya mengistirahatkan kaki di depan perapian kediaman. Elias mendengarkan dengan saksama sambil menabur bubuk Ekstrak Pohon ke perapian. Semburat hijau menyalak di antara kuning dan oranye selama sesaat, sebelum api membara dalam warna normal lagi.
Usai gadis itu bercerita, sang pasha menatapnya dengan heran. "Ide menarik, tapi ... itu berbahaya, Nora."
"Aku tahu." Nora mengangkat bahu. "Tapi tidak ada senjata yang tidak berbahaya. Apalagi jika digunakan untuk melawan sesuatu yang sangat besar. Kalian harus bersikap bijaksana saat menggunakannya."
Nora terheran-heran saat sang pasha hanya tercenung. Kenapa ayah kandungnya, Joseph yang merupakan mantan tentara Jerman, tidak mewariskan senjata kepada penduduk di sini?
Baiklah. Ia toh sejujurnya tidak terkejut saat mengetahui kedua suku tak memiliki senjata hebat kendati ada keinginan memberontak sejak dulu. Ia juga mengerti mengapa Joseph Schulze lebih suka mewariskan tarian dan nyanyian daripada cara membuat bom kepada Suku Kohl.
Nora sudah mengonfirmasi berbagai perihal senjata kepada Elias. Orang-orang di sini tahu cara memakai katapel, tetapi mereka tidak paham senapan, apalagi meriam dan bom. Mereka juga bisa menggunakan pisau, tetapi tidak dengan berpedang. Menurut Elias, ada beberapa suku yang pandai menggunakan pedang, tetapi mereka berkelana ke daerah lain.
Mungkin Joseph pemabuk yang suka menari itu ogah mengingat masa-masa mengerikan menjadi tentara. Itu alasan paling masuk akal yang bisa Nora terka. Ia tak paham, dan tak ingin berusaha memahami, tabiat ayah kandungnya. Sebab Joseph identik dengan sumpah serapah dan pecahan botol vodka yang berserakan setiap hari.
"Kau melamun lagi."
Nora tersentak. Elias ternyata mengawasinya.
"Dan ekspresi itu lagi," tambah sang pria. "Apa yang kaupikirkan?"
Nora membasahi bibir. Ia tak pernah bercerita kepada Elias tentang kedua orang tuanya. Pertama kali ia menangis di hadapan Elias adalah momen terakhir yang juga ditetapkan Nora agar tak pernah terulang.
"Tidak, aku hanya memikirkan senjata ...."
"Kau tahu, Nora." Elias merebahkan kepalanya di karpet. Ia menatap Nora lekat-lekat. Di bawah pancaran kandelir lilin, kedua mata gelap sang pria bersinar. "Kau bisa bercerita apa pun kepadaku. Jika itu bisa membuat bebanmu berkurang."
Nora tersenyum. Kehangatan merebak, menyerang nyeri yang sudah terlebih dahulu berdenyut di hatinya.
"Trims. Tapi, aku benar-benar sedang memikirkan senjata untuk kalian menghadapi Götu Dev. Sungguh."
- - -
Hujan mengguyur tanpa henti keesokan hari. Para Avankaya menyuarakan kegelisahan mereka. Getah yang tersisa pada sayatan akar pohon tak bisa digunakan lagi kalau terlanjur bercampur air.
Elias pun bergegas mengadakan rapat.
"Nona." Özker menyapa saat Nora menyambutnya di ambang pintu. Mereka berpelukan. Selama sesaat Nora merasa sang tetua nyaris meremukkan bahunya saat merangkul. "Bagaimana keadaanmu? Apakah ia ... menyakitimu?"
"Apa maksud Özker?" Nora tertawa. Ia tentu paham maksud sang tetua. Ini pasti gara-gara rumor baru. Nora sama sekali tidak keluar dari Kapal Bulan selama tiga hari menginap. Ketika orang-orang mengira Pasha telah—ehem—bercinta dengan sepenuh hati hingga membuat istrinya kelelahan, kenyataannya Nora terlalu fokus membaca semua bendel yang dibawakan. Ia lupa kalau mesti sesekali menampakkan diri di dek Kapal Bulan. Walau Elias mengatakan bahwa itu bukan masalah, Nora tidak berpikir demikian. Tanpa sadar Nora kerap menjadikan respons Özker sebagai tolak ukurnya.
Kalau Özker khawatir, berarti Nora mesti membenahi sikap. Ia harus menjaga perasaan sang tetua.
"Tenang, Özker, dia tidak menyakitiku. Bahkan, kalau aku boleh jujur, aku sangat menikmati waktuku di sana." Nora mengedip. Sementara Özker berdeham sebal, Elias mengawasi mereka dengan senyum simpul.
"Baiklah, bisa kita mulai rapatnya?" tegas sang pasha. Ia mengisyaratkan para cendekiawan Avankaya untuk mengisi tempat duduk yang tersisa. "Tampaknya musim hujan tiba lebih awal dari perkiraan. Apakah getah yang diambil sudah mencukupi untuk, setidaknya, satu kali pelarian dari Götu Dev?"
Cukup ironis saat mereka menjadikan upaya kabur dari Götu Dev sebagai patokan. Yah, Nora tidak akan berkomentar. Itu memang fokus terbesar para manusia di zaman ini.
Özker memutar bola mata. "Perhitungan ramalan cuaca kalian meleset."
"Ramalan cuaca selalu bisa meleset, Özker," jawab Elias. "Tuhan berhak menurunkan hujan kapan pun yang Dia hendaki. Sekarang, bagaimana dengan pertanyaanku tadi?"
"Belum cukup, Pasha," sahut seorang cendekiawan Avankaya dengan muram. "Kami membutuhkan setidaknya sepuluh keranjang penuh getah untuk menghasilkan empat karung."
"Kita tidak bisa berlama-lama berlabuh." Özker memukul meja. "Jika ada Götu Dev yang melihat kita, maka kita tak punya waktu untuk mengangkut semua ini dan kabur."
"Proses pengambilan getah juga tidak bisa diburu-buru, wahai Özker," sahut cendekiawan yang lain. Ia menatap tajam sang tetua. "Apalagi jika getah-getah yang kami sisakan telah bercampur air hujan. Kita mesti membuat petak baru."
Elias membasahi bibir. "Berapa waktu yang dibutuhkan? Semestinya dua hari lagi cukup."
"Dua hari tanpa air hujan—ya. Andaikan hujan berhenti nanti malam, maka kami membutuhkan satu hari tambahan untuk membuat sayatan baru yang benar-benar kering."
"Oh, kita pasti sudah mati terinjak saat itu," cemooh Özker.
Elias menarik napas dalam-dalam, dan Nora refleks menyentuh lengan sang tetua. Özker hanya mendengus ketika para cendekiawan di seberangnya memasang ekspresi keruh.
"Atau," kata Nora, berusaha terdengar riang, "para Kohl bersedia meminjamkan tenda-tenda mereka yang sangat tebal dan kukuh. Aku yakin gempuran hujan macam apa pun takkan mengganggu proses para Avankaya untuk mengambil getah."
Suasana menghening. Orang pertama yang menyuarakan pendapat adalah seorang cendekiawan Avankaya. "Itu ... memungkinkan, Nyonya." Kendati demikian, mereka melemparkan tatapan penuh keraguan kepada Özker.
Sang pemimpin Suku Kohl mengernyit. Ia gatal untuk berkomentar, tetapi berakhir mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
Nora memanfaatkan kesempatan itu. "Apalagi para prajurit Kohl mampu mendirikan tenda dengan begitu cepat. Jujur saja, aku sangat kagum ketika mereka bisa mendirikan pondasi yang begitu di pasar dadakan kemarin. Aku tidak pernah menyaksikan itu secara langsung di Bumi. Kalian teramat menakjubkan."
Özker berdeham. Ia mengangkat dagu sumbawa. "Anak-anakku memang cekatan."
Elias menjalin tatapan dengan Nora. Ia mengangguk samar. "Jika engkau berkenan menggerakkan para prajurit untuk mendirikan tenda, Özker, maka para Avankaya sanggup bekerja cepat seperti biasa. Kita bisa berlayar sesuai jadwal. Semakin banyak getah yang dikumpulkan, semakin besar keberhasilan kita untuk menyelamatkan diri dari Götu Dev yang kita temui selanjutnya."
"Bagaimana?" Nora merangkul lengan Özker. Ia menatap sang tetua sebagaimana Nora dahulu memohon buku baru kepada ayah angkatnya. "Aku yakin gadis-gadis Avankaya pasti bersedia untuk menyiapkan sarapan bagi para prajurit Kohl. Dan jangan khawatir—mereka tahu takaran rempah yang pas untuk menyesuaikan lidah kalian."
Özker menggerutu. Ia berusaha membalas tatapan setiap orang yang tertuju padanya, mencoba cara terakhir untuk mengintimidasi mereka, tetapi bahkan sang tetua tahu itu adalah sebuah penyia-nyiaan.
Pada akhirnya Özker melipat tangan. "Baiklah," ujarnya, mengirimkan gelenyar kelegaan pada seisi ruangan. "Tapi jangan sampai tenda kami rusak!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top