12. The New Life


Tanpa menengok semua tempat, Nora tahu kediaman pasha adalah yang terbesar di seantero kapal. Kediaman itu memiliki tiga kamar--dengan dua kamar bertingkat—satu kamar mandi besar, dapur, ruang duduk dan ruang makan terpisah, serta balkon. Itu sebuah kemewahan di kapal semacam Anatolli. Bagaimanapun kapal ini masih kuno dibanding kapal pesiar von Dille.

Kendati demikian, Nora mengagumi selaiknya memasuki sebuah istana. Setelah hampir dua minggu tinggal di berbagai ruang sempit, ia bisa bernapas lega di sini. Aroma dupa yang mengalun di udara lebih lembut, selendang-selendang yang menggantung berwarna senada dalam semburat biru tua dan hijau muda yang kalem, dan tak ada tabrakan bau makanan.

Puncaknya, Elias menunjuk pintu kamar utama. "Pakailah kamarku," katanya. "Karena kadang-kadang aku juga menjamu tamu di sini, maka mereka harus percaya bahwa kita memang sepasang suami istri. Jangan khawatir. Aku akan tidur di kamar tingkat."

Nora spontan menelusuri sosok Elias dari ujung rambut hingga kaki.

"Apa kau yakin bisa tidur di kamar bertingkat?" Nora tidak bodoh. Ia punya belasan keponakan dan pernah menemani mereka saat kecil. Ia tahu betul kalau ranjang bertingkat pasti tidak nyaman untuk orang dewasa, apalagi orang jangkung seperti Elias.

"Kalau hanya tidur saja tak masalah. Aku bakal tetap sesekali memasuki kamarku jika membutuhkan sesuatu."

"Kalau begitu sebaiknya kau mengetuk, atau kau akan menangkapku basah mengenakan sesuatu yang tidak senonoh."

Semu berkeriap di wajah pria itu. "Nona? Apakah sekarang kau tak menjaga ucapanmu lagi karena kita sudah menikah?"

Nora tertawa. Andai Elias tahu jika para pria dan wanita berbaur sesuka hati di Bumi, mungkin pria itu akan pingsan. Nora terkesima bagaimana kedua orang tua kandungnya yang bajingan itu tidak memengaruhi Suku Avankaya dan Suku Kohl seutuhnya. Mereka masih mengizinkan keyakinan-keyakinan baik lainnya berpilin dengan kerusakan mereka.

Elias menanggalkan jubah dengan mengomel. Nora tak terlalu mendengarkan. Ia sibuk melepaskan satu per satu perhiasan pernikahan dari tubuhnya. Mereka berkutat cukup lama di sudut masing-masing. Di sela-sela itu, Nora teringat akan hal lain.

"Kau tak bisa memanggilku Nona lagi, Pasha. Bakal aneh kalau suamiku memanggilku demikian."

"Nora?" Elias berseru dari kamar.

"Ya, begitu saja."

"Kalau begitu jangan panggil aku dengan gelar."

"Elias?"

"Bukan." Elias muncul dengan membawa setumpuk pakaian tidur. Tampaknya ia mengantisipasi agar tidak perlu menangkap basah Nora di kamarnya sendiri. "Elio. Itu nama kecilku yang hanya dipakai mendiang kedua orang tuaku. Sahabat-sahabat masa kecilku juga memanggil demikian."

Nora mengangkat alis. Nama yang terdengar cukup kekanakan, tapi juga membuatnya merasa hangat. Nora senang ia menjadi bagian dari segelintir orang penting itu. "Baiklah, Elio."

Elias mengangguk puas. Ia lenyap di balik kamar lain untuk berganti pakaian. Sementara itu Nora masih berkutat melepaskan begitu banyak pin sematan Kohl di sekeliling bando. Baiklah, ini memang cantik, tetapi Nora pegal. Yang ia inginkan di penghujung malam hanyalah tidur yang nyenyak, bukan beginian.

Elias muncul dengan kaos tipis dan celana tidur saat Nora baru selesai melepas bando. Selama sesaat sang pria terbengong. Ini pertama—tidak, kedua kalinya ia melihat rambut Nora seutuhnya tanpa selendang rambut. Sayangnya sang gadis agak cemberut karena masih berkutat melepaskan gaun.

"Bisakah aku membantumu?"

Nora mengangguk cepat. Gadis itu mengisyaratkan pada bagian punggung. "Blus yang kupakai mengenakan kancing belakang," keluhnya. "Maafkan aku karena merepotkanmu, tapi gadis-gadis pasti sudah tidur."

"Justru bakal aneh jika kau memanggil mereka," Elias bergumam. Tanpa sengaja helaan napasnya menerpa tengkuk Nora dan gadis itu menegang. "Malam ini semestinya kita lewati berdua saja. Tak boleh ada yang masuk."

Elias mungkin tak memiliki maksud terselubung, karena sang pasha sadar betul akan kerja sama pernikahan ini, tetapi Nora mulai menyesalinya. Apalagi sekarang jari-jari Elias tengah melepas satu per satu kancing. Jantung Nora berdegup kencang.

Waktu terasa melambat. Keheningan yang meliputi kediaman pasha hanya diselingi suara tik tik lembut yang menggelisahkan.

Seiring dengan punggung sang gadis yang terekspos di balik blus, napas Elias memberat.

"Nora ...."

"U-uh, ya? Kau sudah selesai?" Nora melonjak kaget. Suara Elias begitu dekat sampai-sampai ia mengira sang pasha berniat mencium tengkuknya. Saat mereka bertatapan, Elias menelan ludah dengan malu.

Ia mengangguk kaku. "Aku hanya terkejut karena kau tidak memperingatkanku. Kukira kau masih mengenakan lapisan pakaian lain di bawah ini."

Nora mengerjap. "Maaf. Maksudku—aku lupa memberitahumu."

Elias mengusap wajah. "Tak apa. Kau bisa melepaskan sisanya sendiri, kan? Bisa? Bagus. Kalau begitu aku ... aku akan beristirahat."

Nora mengangguk. Ia buru-buru mengumpulkan semua lapisan gaun yang tercecer dan bergegas ke kamar Elias. Sebelum menutup pintu, ia bertukar tatapan sekali lagi dengan pria itu, dan tersenyum canggung. "Selamat malam, Elio."

"Malam, Nora."

Sang gadis menutup pintu—sedikit terlalu keras.

Sial. Ini memang hanya pernikahan bohongan, tapi ia dan Elias sama-sama manusia biasa. Sang pasha adalah pria bugar yang sangat waras di usianya. Sebagai lelaki yang jarang bersentuhan dengan wanita, membantu melepaskan pakaian dan menghadap punggung telanjang Nora sudah pasti menguji imannya.

Nora menjatuhkan dirinya di kasur Elias dengan wajah panas.

Bodoh.

Dia akan kembali ke Bumi. Tak boleh ada sikap sembarangan.


- - -


Selaiknya tradisi umum di Bumi, pasangan yang menikah bakal berbulan madu. Hanya saja pasangan itu takkan melepaskan diri—mereka cukup berpindah ke sebuah kapal kecil yang hanya cukup ditempati dua orang. Kapal sekecil itu—yang semula dikira Nora hanya untuk memuat barang—sudah disiapkan untuk sang pasha dan istrinya selama tiga hari ke depan.

Masalahnya, mereka tidak benar-benar menikah.

"Apakah tiga hari tidak terlalu lama? Bukankah kau Pasha?" tanya Nora berbasa-basi saat mereka berpindah ke Kapal Bulan—sebutan yang disematkan orang-orang.

"Tenang saja," kata Elias sembari menyibak tirai pada jendela. Ia memastikan tak ada celah longgar untuk mengintip. "Tugas pasha tidak sesibuk itu. Lagi pula kapal sedang berlabuh. Aku bisa tetap bekerja di siang hari." Elias menoleh kepadanya. "Tapi kau jangan sesekali tinggalkan kapal."

"Kenapa?"

"Orang-orang berekspektasi kau akan menyembunyikan diri selama dua atau tiga hari karena, yah, kesakitan dan lelah."

Mata Nora membulat. Pipinya merona. "Kurasa tidak sesakit itu sampai membutuhkan waktu istirahat selama dua hari, Elio."

"Ya, tapi sewajarnya kau akan kelelahan." Elias berdeham. Ia memindah keranjang berisi pakaian ke sudut ruangan. "Karena muda-mudi di sini terjaga kesuciannya, jadi ... tiga hari itu akan penuh dengan, kau tahu. Kau tahu."

Nora tersenyum simpul. Ia tak menduga Elias bakal canggung membicarakan hal semacam ini di usianya yang melewati tiga puluh tahun.

"Kalau begitu bisakah aku meminta tolong? Bawakan aku bendelan yang membahas tentang berbagai peninggalan Joseph dan Melisa. Kupikir aku akan menghabiskan waktu dengan belajar."

"Tentu saja. Akan kubawakan besok. " Elias mengangguk. "Untuk sementara ini, aku mau kau melakukan yang sebaliknya."

"Ya?"

"Ceritakan padaku segala hal tentang Bumi." Elias duduk di tepi ranjang, berusaha untuk tidak membuat Nora ketakutan—andai gadis itu ketakutan—karena hanya ada satu ranjang di sana.

Nora menyadari pergerakan Elias dan membasahi bibir. "Oke." Jarinya mengusap lapisan seprai. "Akan kudongengi engkau sampai terlelap, Elio."

Elias tertawa. Ia menyugar rambutnya yang ikal. Gerakan sesederhana itu membuat Nora refleks menelan ludah.

"Jangan khawatir," ucapnya. "Ranjangnya milikmu."

"Bagaimana denganmu?"

Elias menarik keranjang baju yang tadi sempat ia singkirkan. Alih-alih mengeluarkan pakaian, ia menarik bantal kecil dan selimut dari sana. Ekspresi puas sang pria membuat Nora terpingkal-pingkal.

"Sudah kubilang, Nora. Percayalah padaku." Elias mengedipkan mata. "Kau tak perlu memikirkan apa pun kalau bersamaku."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top