11. The Grand Wedding


Kabar selalu menyebar dengan cepat di Kapal Anatolli.

Ngomong-ngomong Nora bisa membuktikan sesuatu. Tak peduli betapa Suku Avankaya dan Suku Kohl gigih untuk bermusuhan, kenyataannya mereka toh saling mendekatkan kuping saat ada rumor baru.

Baiklah, ini sedikit melenceng dari rencana. Tapi apa boleh buat. Kini Nora dan Elias menemui Özker, yang semestinya untuk kepentingan memintanya sebagai penghulu. Alih-alih, mereka menghadap Özker laiknya seorang anak yang mengakui perbuatan nakal kepada sang ayah.

Setidaknya itu yang Nora rasakan, sebab Özker menatap mereka dengan mata melotot dan tangan terlipat.

"Pasha," sang tetua menggeram. "Mestikah engkau menyentuh keajaiban kami?"

Tetap saja, sang pemimpin mudalah yang menjadi target. Bahu lebar Elias melesak. "Aku tidak bermaksud, Özker, tapi ...."

"Tidak bermaksud? Jadi apakah permintaan pernikahan ini adalah ujung dari sebuah kecelakaan?"

Nora terkesiap malu. "Ini bukan kecelakaan, Özker. Apa yang kurasakan kepada Pasha tak selaiknya kau anggap sebagai kecelakaan. Itu adalah penghinaan bagiku."

Özker terperangah. Tentu ia tak ingin menghina keajaiban Tuhan. Lagi-lagi ia mengarahkan amarahnya pada Elias, kali ini dengan desisan. "Kau menjebak Nona Nora. Kau tahu ia terdampar di sini dalam kebingungan. Kau gunakan posisimu itu untuk mengambilnya dari kami—menggunakan kekuasaan dan hakmu dengan alasan mengawasi tamu secara dekat."

Elias menarik napas dalam-dalam. Jika ada hal yang bisa Nora tunjuk sebagai alasannya 'mencintai' Elias, maka itu adalah kesabaran sang pemimpin muda menghadapi provokasi sang tetua.

"Apakah sulit bagimu untuk mengakui bahwa aku tulus untuk mempersunting Nona Nora, Özker?"

"Kau pasti—"

"Apakah kau pikir," Elias menyela dengan gigi terkatup rapat, "hanya engkau yang berdoa memohon keajaiban?"

Ketika suasana menghening, Elias melanjutkan lagi, kali ini dengan pelan. "Aku tentu ingin menikah, Özker. Aku sudah berupaya, dan kau tahu sedikit banyak usahaku. Karena itulah aku berdoa kepada Tuhan. Aku memohon pada-Nya keajaiban—gadis yang baik untuk kunikahi, gadis terhormat yang layak mendapat hati semua orang. Apakah, menurutmu, Nona Nora bukanlah keajaiban itu?"

Nora menatap Elias dengan melongo. Tidak berlebihan jika pipinya bersemu sekarang. Andai ini permintaan pernikahan sungguhan, hati Nora pasti tersentuh.

Sayangnya ini hanya kerja sama yang berlangsung selama tiga bulan ke depan.

Nora memandang jemarinya dengan kalut. Saat ia pulang ke Bumi nanti, ia tidak yakin bakal semudah itu menemukan jodoh. Jika jodohnya tidak memperjuangkannya sebagaimana Elias memperjuangkan istri palsunya, maka Nora takkan sudi.

Tapi, batinnya. Memangnya Nora sanggup menikah?

Setelah berbagai kenangan yang Joseph dan Melisa tinggalkan untuknya?

Özker mengepalkan tangan. Ia lantas berputar menghadap Nora. "Bagaimana denganmu, Nona? Apakah kau memang mencintai Elias Pasha? Jika demikian, mengapa ... mengapa ini semua begitu mendadak? Kenapa kau tak mengatakannya lebih awal? Kenapa kalian baru mengaku saat seorang prajurit menangkap basah?"

"Waktu yang tidak tepat itu memang pantas disesali." Nora mendesah. Kebetulan suasana hatinya sedang kacau, sehingga tidak sukar menunjukkan kesedihannya. "Tapi, sejujurnya, aku pun memendam perasaan ini, Özker. Aku sadar betul dengan situasi antara kedua suku, dan aku tak bisa bersikap egois dengan perasaanku. Tapi ... tapi pernikahan dua Avankaya kemarin membuatku sadar bahwa aku tak bisa menahannya lebih lama lagi." Nora menatapnya dengan berkaca-kaca. "Aku ingin menikah."

Itu adalah permintaan mutlak. Özker tak bisa menolak. Elias pun dibuat terpana dengan sandiwara itu, sampai-sampai sang pasha sempat mengira bahwa Nora memang sungguhan ingin menikahinya.

Özker kelabakan. "Tapi, Nona Nora." Rupanya ia masih mengotot. "Pernikahan antar dua suku agaknya ...."

"Özker, tidakkah engkau mengharapkan sedikit perdamaian ketika ada ancaman lebih besar yang mengintai nyawamu dan rakyatmu?" Nora merentangkan tangan, mengisyaratkan sesosok raksasa. "Ketika bisa berdua, mengapa kau perlu seorang diri melakukan segalanya?" Nora setengah mendesak sekarang. Jantungnya berdegup tidak nyaman, khawatir andai sang tetua masih bersikeras.

Saat Özker tak mengatakan apa pun, Nora menghela napas.

"Kumohon, Özker," bisiknya lirih. Dadanya berdenyut nyeri. "Aku yakin ... hal paling terakhir yang ingin dilakukan seorang anak adalah mengamini perpecahan orang tuanya."

Elias menatap Nora lekat-lekat.

Kali ini, ia yakin ucapan Nora bukan sekadar sandiwara lagi.

- - -

Nora tak pernah menduga akan menikah di dimensi lain, dan ia gemetaran.

Kendati semua kejanggalan ini, termasuk kenyataan bahwa seluruh hidangan yang dimasak besar-besaran oleh Suku Avankaya dan segala ornamen yang dipajang Suku Kohl di dek dasar sesungguhnya untuk merayakan pernikahan palsu, keluarganya pasti bangga. Abang-abangnya dan para keponakan bandel bakal lega karena Nora punya hal lain untuk dicereweti daripada kelakuan mereka.

Memikirkan itu justru membuat Nora merindukan von Dille. Selama sesaat ia ingin pulang, menanggalkan gaun dengan jubah satin elegan yang jatuh lembut di bahunya. Para gadis Kohl sibuk memasang pin-pin emas berbentuk flora di bando. Anehnya kepala Nora tidak terasa berat.

Ketika Nora memandang bayangannya di kaca, sekelebat tampak Azeli di sana. Walau wajahnya masih berselimut asap, Nora seolah melihat pertidaksetujuan sang penjaga dimensi.

Nora mengabaikannya. Salahkan Azeli karena tak pernah muncul saat dibutuhkan. Nora akan bergerak seorang diri selama tiga bulan dan satu minggu di Tellus.

Upacara pernikahan berlangsung cepat setelah itu. Nora bahkan tak merasa sedang menikah. Ikatan suci yang ia tukarkan bersama Elias terasa hambar di ujung lidah.

Lihat, Joseph dan Melisa, putrimu menikah, batinnya.

Demi memperbaiki kerusakan yang kalian wariskan selama ratusan tahun. Lihat?

Jika Ehrlich ada di sini, mungkin ia akan berseru, "Bagian mana dari JANGAN ikut campur yang tak kau mengerti, Nora?"

Nora tak peduli. Toh Ehrlich tak hadir bersamanya. Sial, bahkan tak ada jejak von Dille di Tellus. Yang ada hanyalah Nora dan kedua orang tua kandungnya yang bajingan, dan tradisi pertikaian yang mereka wariskan.

Ketika ia menyelipkan jari di lengan Elias untuk turun ke dek dasar, Nora juga masih tak merasakan apa pun. Ketika ia duduk di kursi kehormatan bersama sang pasha, disuguhi hidangan-hidangan aromatik Avankaya, ia tak menikmati. Makanan melewati mulutnya bagai sungai yang mengaliri kolong jembatan tanpa henti sejenak. Saat mengedarkan pandangan, di balik para Avankaya yang bercengkerama atas santapan itu, Nora melihat para Kohl saling menjulurkan lidah karena sengatan bumbu yang berlebihan bagi selera mereka. Ini seperti Melisa yang selalu memasak sesuka hati, mengabaikan Joseph yang membenci makanan khas Turki yang penuh rempah, dan berpura-pura muntah setiap kalinya agar Melisa paham.

Namun Melisa tak mau tahu. Sebagaimana Joseph tak pernah memedulikannya seketika menenggak vodka. Kemudian Nora kecil akan selalu berlari ke kamarnya, menangis di bawah sumpah serapah yang digaungkan kedua orang tuanya.

Acara santapan berakhir. Para pemuda gagah Kohl berbaris di dek, menyuguhkan tarian dan nyanyian yang—dengan penuh toleransi—tak menyinggung Avankaya sama sekali. Lagi-lagi Nora tak sanggup meresapi liriknya. Nora memang tersenyum, tetapi ia melihat bayang-bayang Joseph di sana. Ayahnya yang suka menari di atas meja, vodka di tangan, dan Melisa yang meringkuk ketakutan di ruangan. Saat para pemuda Kohl menari pun, para Avankaya merapat di pagar-pagar dek, mengawasi dengan alis terangkat. Walau ada sedikit yang berani menepuk tangan seirama nada, sebagian besar di antara mereka memaksakan diri untuk tak menikmati itu, mengabaikan ujung bibir yang terangkat, maupun kaki yang mengetuk-ketuk pelan.

Nora terjaga dari semua lamunan itu ketika tiba-tiba tangannya diremas. Ia baru sadar bahwa sedari tadi Elias menggenggam jarinya di bawah meja. Entah sejak kapan, atau memang genggaman sejak kedatangan tadi belum dilepaskan sama sekali. Saat Nora menoleh, Elias menatapnya.

"Apa kau baik-baik saja?" bisiknya. Sang pasha sungguhan cemas. "Apa kau mual?"

Tolong jangan berwajah seperti itu, Nora. Kau harus meyakinkan orang-orang bahwa ini pernikahan yang tulus, bukan insiden. Nora refleks mengerjapkan mata. Ia menyunggingkan senyum lebar, yang seakan-akan memecah polesan merah di bibirnya, dan mengangguk.

"Aku hanya kekenyangan dan agak mengantuk."

Elias mendengus geli. Ia tahu-tahu menarik Nora mendekat agar bisa berbisik tepat di telinganya. Nora tahu sang pasha tak perlu berbuat sejauh itu, tetapi ini semua adalah bagian dari rencana yang mereka sepakati.

Pertunjukan kasih sayang.

"Mau ikut menari?"

Nora terperangah. "Apa kau bisa menari?"

Saat mereka kembali saling menatap, Nora tak pernah melihat kepercayaan diri terpancar begitu kuat di mata Elias. Sang pria tersenyum. "Aku tidak dididik menjadi seorang Pasha dua suku yang bertolak belakang jika tidak bisa menguasai segalanya. Mari."

Elias berdiri terlebih dahulu, lantas membantu Nora untuk beranjak. Ia merangkul pinggang sang gadis saat membawanya turun. Para pemuda Kohl menyingkir dan menyerukan semangat. Para Avankaya di belakang mereka terbengong-bengong.

"Tapi kau bisa menari, bukan?" bisik Elias. "Gerakannya tidak sulit. Kau sudah menonton para Kohl menari."

Nora tersenyum. Beruntung ia sempat menyelami tradisi suku itu saat kali pertama kedatangannya kemari. Sekarang, ketika ia saling berhadapan dengan Elias dan menautkan kedua tangan, ia tidak merasa canggung.

Berlatar tabuhan dan dengungan nada para pemuda, Elias dan Nora berputar. Semringah di wajah sang pria membantu gadis itu untuk mempertahankan senyumnya. Kemudian Elias melambaikan tangan, mengisyaratkan bahwa ini waktunya bagi yang lain untuk bergabung.

Pasangan-pasangan Kohl melompat turun dengan antusias. Mereka menari di sekeliling Pasha dan istrinya. Namun itu tidak cukup. Dek masih cukup luas. Elias kembali melambaikan tangan. Para Kohl tahu-tahu menyebar, menarik tangan para Avankaya yang sudah menikah, dan mendorong mereka untuk ikut menari.

Nora tak menduga jika pasangan-pasangan Avankaya itu juga bisa menari. Mereka memang tampak enggan di awal, tetapi euforia Kohl terlalu kuat untuk bisa ditolak.

Dalam sekejap, dek dasar akhirnya penuh dengan canda tawa dan tepuk tangan.

Hanya pada malam itu, tak ada yang memikirkan dari suku mana mereka berasal. Yang mereka tahu, pasha Avankaya mereka telah jatuh cinta dengan Nona Agung dari suku yang memusuhinya.

Kalau kata nenek moyang, cinta tak mengenal permusuhan.

Tak ada yang mau merusak momen. Ini terasa bagai mimpi.

Dan Nora tak memikirkan Joseph dan Melisa lagi sepanjang malam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top