10. The Proposal


"Upaya yang bagus, Pasha, untuk memilih Özker sebagai penghulu sementara."

Elias dan Nora tengah menaiki lift menuju dek delapan. Kendati sang gadis tersenyum, Elias tidak bereaksi demikian. Ekspresinya agak muram.

"Ya ... walau begitu, itu takkan mengubah keputusan Özker untuk tetap memberontak dariku." Elias menghela napas. "Lagi pula aku sedang menggali kuburanku sendiri—aku memang belum menikah dan tidak bisa memenuhi peranku secara penuh sebagai seorang pasha." Ia mengangkat bahu. "Dan aku mengakuinya di depan rakyatku."

Nora mengatupkan bibir. Apakah Elias akan bermuka masam sementara ada upacara pernikahan yang mesti dihadiri? Padahal nanti malam pernikahan itu bakal dilangsungkan.

Elias dan Nora lantas bersiap-siap di kediaman masing-masing, kemudian bertemu lagi tepat sebelum jam makan malam. Mereka turun ke dek empat, tempat berbagai acara diadakan. Ada aula khusus yang dipakai untuk upacara pernikahan yang sakral. Seperti biasa, karpet-karpet dihampar dan bantal-bantal duduk ditata berjajar. Keluarga kedua pengantin sudah menunggu, sementara Özker baru saja tiba. Elias dan Nora menyusul. Para hadirin beranjak saat menyambut mereka.

Namun, kegamangan di ekspresi para Avankaya membuat Nora panas dingin.

Mereka tidak ingin Özker menjadi penghulu mereka. Begitu pula sebaliknya. Sang pemimpin Kohl bahkan tak berlama-lama usai menikahkan kedua pengantin. Ia menghilang secepat embusan angin.

Namun, setidaknya kedua pengantin muda itu berbahagia. Terlihat jelas mereka sudah menahan diri untuk tidak mengajukan pernikahan semenjak kematian pasha sebelumnya. Tetapi semua penantian memiliki batas waktu—pernikahan pada akhirnya harus disegerakan. Tak peduli siapa penghulunya, yang jelas mereka bisa bersama sekarang.

Saat si pemuda mengecup pipi istri barunya di sela-sela acara makan, Nora tersenyum tipis. Ia refleks menoleh kepada Elias, berniat mengatakan bahwa acara malam ini cukup sukses, tetapi sang pasha hanya bengong memandang piring hidangan. Sejak kedatangannya kemari, Elias sama sekali tak tersenyum kecuali memaksakannya di kala dibutuhkan.

Sepanjang acara.




Acara malam itu juga berlalu secepat kilat. Lagi-lagi Nora mendapati dirinya kembali ke dek delapan bersama Elias. Hanya saja tak ada obrolan kali ini. Elias lebih banyak diam.

Duh.

Di sisi lain, pikiran Nora juga berkecamuk. Dirinya sudah gatal sekali ingin ikut campur. Seharusnya Elias begini. Seharusnya Özker begitu. Tapi apa daya? Kendati dipandang keajaiban, Nora tak ubahnya adalah alat bagi kedua pemimpin itu. Özker mengharapkan Nora agar membantu memberontak dari Suku Avankaya, sementara Elias menginginkannya untuk mempertahankan sebagaimana biasanya.

Nora tak punya hak untuk memeluntir keputusan mereka. Padahal ia sangat membutuhkan kerja sama kedua pria itu untuk mewujudkan misinya, sebab waktu terus berjalan ....

Ah, sialan. Satu-satunya pengikat hanyalah Nora sebagai keturunan nenek moyang yang dipuja-puja. Andai Özker atau Elias adalah keturunan langsung, maka Nora bisa punya pengaruh lebih besar dan—

Tunggu dulu.

"Pasha?"

Nora memanggil saat mereka baru saja akan memasuki kediaman masing-masing. Elias mengangkat alis. Nora menelan ludah.

"Pasha, jika aku menawarkanmu pernikahan, apakah engkau bersedia?"

Dek itu hening. Sejak awal tak ada yang menempati kecuali mereka dan dua prajurit yang mengantuk di balkon luar. Namun kesenyapan usai Nora mengatakan itu, terasa berkali-kali lipat menekan dan menyesakkan dada.

Pipi Nora memerah sebab Elias tak mengatakan apa pun, selain mata mengantuk yang kini membulat lebar.

"Maaf?"

Nora berdeham. "Dengar baik-baik. Ini adalah penawaran kerja sama politik. Setelah kulihat-lihat, sebenarnya kau punya potensi untuk diakui Özker jika kau sudah menikah. Sebab kau bisa memenuhi peranmu sebagai pasha secara utuh. Selain itu, karena Kohl memandangku sebagai keajaiban Tuhan—"

Elias menghampirinya. "Tahan sebentar." Ia mengisyaratkan Nora agar masuk ke ruang rapat. Kali ini Elias tak menutup pintu. Toh sudah malam, takkan ada yang berkunjung. Dan sebaiknya dua lajang berlawanan jenis memang tidak mengunci diri.

Saat Elias memosisikan dirinya duduk di seberang Nora, gadis itu melanjutkan tanpa diminta. "Mari bekerja sama. Aku bisa membantumu memenuhi peran sebagai pasha secara utuh. Kau juga pasti akan membutuhkan sedikit bantuanku untuk membujuk Özker—dia mendengarkanku."

Elias membasahi bibir. Penawaran itu membuat kantuknya hilang. "Menarik, tapi ... apa yang mesti kuberikan kepadamu sebagai gantinya?"

"Izinkan aku untuk sedikit mencampuri urusanmu sebagai pemimpin." Nora meremas jari.

Benar. Ia sempat menghabiskan beberapa hari menekuk wajah karena bersinggungan lagi dengan masa kecilnya yang kelam. Namun lihat akibatnya. Nora berjanji takkan mengulang itu lagi, tetapi bagaimana caranya ia melepaskan diri dari belenggu Joseph dan Melisa?

Hanya ada satu cara.

"Bagaimanapun Suku Avankaya dan Suku Kohl bertikai karena memahaminya sebagai bagian dari tradisi. Kalian mengamininya sebab itulah yang juga dilakukan oleh nenek moyang kalian. Andai Joseph dan Melisa akur, bukankah kalian akan mencegah pertikaian sekuat mungkin?"

Elias mengangguk ragu.

"Aku sangat malu, Pasha." Nora tersenyum getir. "Pertikaian kedua orang tua kandungku, yang kukira hanya merusak anak semata wayang mereka, ternyata juga diwariskan pada ribuan pengikut mereka. Itu memalukan. Bagaimana bisa aku diagung-agungkan dan mendapat puluhan hadiah sebagai anak dari dua manusia yang bercerai? Bagaimana bisa aku dianggap keajaiban oleh suku-suku yang ingin mempertahankan kebencian?"

Elias yang justru merenggut. "Ah, kami ...."

Nora mengulurkan tangan, meletakkan jarinya pada lutut Elias. Sang pasha terperangah malu atas sentuhan tak langsung itu, tetapi ia tak berkutik. Ia membasahi bibirnya yang penuh.

"Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi lebih lama lagi, Pasha," bisik Nora. "Kau menginginkan kedua suku tetap bersatu. Aku menginginkan kedamaian. Dan kalian punya ancaman Götu Dev. Aku yakin kita sepemikiran."

Elias menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak bisa tidak menyetujui ini, Nona Nora. Ini ... jujur saja, penawaran yang sangat baik untuk kami. Terlebih aku, yang sangat diuntungkan di sini." Ia menatap Nora lekat-lekat. "Tapi, apa kau yakin, Nona Nora? Apa kau tidak memiliki seorang pria yang ingin kaunikahi?"

Nora menelan ludah. "Tidak ada. Lagi pula jangan khawatir, aku punya waktu empat bulan saja di Tellus. Aku akan berusaha semampuku untuk membantumu selama itu."

Elias berulang kali dikejutkan oleh banyak hal akhir-akhir ini, tetapi ucapan Nora barusanlah yang berhasil membuatnya sepucat kala melihat Götu Dev. "Kau akan pergi?"

Nora semestinya mengangguk, tetapi rasanya begitu berat. Ia mendadak merasakan sensasi yang familiar lagi. Sensasi saat ia mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak diucapkannya dahulu—dan berakhir mendapati kekecewaan berkelebat di wajah sang pasha.

Apalagi yang keliru sekarang? Bukankah ini memang benar?

"Tapi orang-orang bertahan tinggal di sini, Nona," Elias berkata lagi, barangkali Nora tak memahami maksudnya. "Kedua orang tuamu, orang-orang yang mereka nikahi lagi, dan lebih banyak manusia yang tinggal di Tellus ... mereka tak pernah kembali."

"Tapi Azeli bilang waktuku hanya empat bulan. Aku akan pulang ke Bumi."

"Siapa sih Azeli itu?" Elias mulai frustasi.

"Seorang penjaga dimensi." Nora tahu jawabannya akan mengundang kecurigaan, tetapi ia tak peduli. Harusnya Elias tak asing dengan istilah itu.

Namun Elias sedang tak ingin memikirkannya. Ia menghela napas.

"Kalau waktunya sesingkat itu—baiklah. Kita bahkan tak bisa menunda-nunda ini lagi." Elias mengusap wajah. "Aku akan memikirkan cara untuk meyakinkan Özker. Bagaimanapun aku akan menikahimu, keajaiban yang semula ia klaim."

"Kalau itu tak usah khawatir." Nora meringis, lega bahwa Elias tidak berlama-lama untuk memikirkan ini. Sang pasha telah memahami urgensi waktu dan mereka berbagi kepanikan yang sama. "Özker sudah pernah menikah. Ia punya anak cucu—ia juga pernah menikahkan anaknya. Ia pun bersedia menjadi penghulu untuk dua Avankaya. Ia pasti tahu betapa pentingnya menyegerakan pernikahan ketika sudah tiba waktunya. Apalagi jika mereka sedang kasmaran."

"Masalahnya," imbuh Nora malu-malu, "kita tidak sedang kasmaran. Jadi, um ... harus ada sedikit pertunjukan."

Ia meremas jarinya di atas pangkuan. Kenapa Elias diam saja saat menatapnya dengan intens begini? Nora refleks mengedarkan pandangan, mencari tumpuan lain selain kedua mata sang pasha.

"Apa kau percaya padaku, Nona?"

Nora merasa telah mengulang momen beberapa saat lalu. Elias pernah menanyakan hal yang sama. Ini membuatnya menatap sang pria lagi dengan penasaran.

"Ya, Pasha. Ada apa?"

"Kalau begitu percayalah padaku." Ia menangkup tangan Nora. "Kau cukup ikuti aku."

Nora seketika teringat utuh akan kejadian perkenalannya pada Suku Avankaya dahulu. "Baiklah," katanya, "tapi jangan tinggalkan aku lagi seenaknya."

Elias tertawa. Tawanya begitu tulus hingga Nora terperangah dibuatnya. Padahal sepanjang hari ini sang pemimpin begitu muram. Siapa sangka ia mampu tertawa tanpa beban menjelang tengah malam?

"Aku minta maaf soal itu. Tenang saja, aku takkan meninggalkanmu lagi," bisiknya. Jemarinya mengusap lembut tangan Nora, mengirimkan setruman yang menghangatkan sekujur tubuh gadis itu. "Bukankah ini pernikahan? Aku akan terus berada di sampingmu, kalau memang itu yang dibutuhkan untuk meyakinkan semua orang."

Nora tersenyum penuh saat mengangguk. Sayang itu tak bertahan lama. Tahu-tahu muncul prajurit di pintu ruang rapat. Ia datang dengan tergesa-gesa.

"Ada apa?" serunya, mengira ada kekacauan pada tengah malam. Namun, ketika menyadari bahwa keriuhan tadi hanyalah tawa sang pasha, yang saling berpegangan tangan dengan Nona Agung di atas lututnya, sang prajurit tercengang.

Nora dan Elias refleks menyentak menjauh. Terlambat. Sang prajurit sudah melihat. Tak peduli apa pun alasan yang akan dikemukakan keduanya, yang ia lihat adalah pemimpin mudanya tengah bersenda gurau dengan seorang gadis lajang, berduaan di ruang rapat, pada tengah malam.

Nora dan Elias bertukar tatap. Canggung.

Yah, tampaknya harus ada sedikit penyesuaian pada rencana mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top