06. The Founding Fathers
Nora gembira karena sang pasha tidak sungguhan murka seperti bayangannya. Kalau ini terjadi di Bumi, Nora sudah kenyang dengan tatapan kecewa para abang atau keponakan acap kali Nora membuat keputusan keliru.
Keputusan Nora memang selalu keliru di mata orang yang berbeda.
Usai mengobrol panjang lebar, Elias menawarkan Nora untuk melihat-lihat apa yang sebenarnya tengah dilakukan para penduduk. Ia menjelaskan bahwa kedua suku tengah menggelar pasar. Pada titik lokasi ini, tepat di lembah antara tiga tebing yang menjulang besar, suku-suku manusia merasa aman. Dalam rentang satu minggu ke depan kapal-kapal suku lain juga bakal ikut berlabuh.
Mereka tiba di dasar lembah lagi. Kali ini dengan jemari Nora melingkar di lengan Elias. Berpasang-pasang mata penduduk Avankaya sontak tertuju kepadanya.
Tatapan mereka masih tajam, kendati kali ini dipenuhi oleh rasa penasaran.
Nora tanpa sadar mempererat cengkeraman.
Menyadari itu, Elias mencondongkan tubuh untuk berbisik. "Aku akan memperkenalkanmu pada penduduk Avankaya, Nona. Sekarang, aku ingin bertanya satu hal terlebih dahulu. Apakah kau percaya padaku?"
Nora mengernyit akan pertanyaan tersebut. Ia mendongak, menatap sepasang mata gelap Elias. "Apa aku punya alasan untuk tidak percaya padamu, Pasha?"
"Hanya berjaga-jaga." Elias tersenyum kalut. "Aku tidak tahu apa saja yang Özker telah katakan padamu." Sang pemimpin lantas menegakkan tubuh. Ia menepuk tangan bersarung Nora dengan lembut. "Kalau begitu ikuti saja perkataanku."
Elias mengangkat tangannya yang bebas. Para Avankaya bergegas merapat. Wajah-wajah yang kaku itu dipertegas dengan warna-warna gelap maupun pucat. Jubah mereka lebih panjang, gadis-gadis lebih suka mengenakan rok daripada celana, dan—entah bagaimana—mereka memiliki kesamaan fisik yang serupa: sekeliling mata mereka dihinggapi lingkar hitam natural.
Ini konyol, tapi ... apakah mereka jarang tidur?
"Selamat sore semua." Elias mengangguk pada warganya. Mereka membalas serupa. "Dengan senang hati kuumumkan bahwa Nona Nora akan tinggal bersama kita selama satu minggu ke depan. Usai memelajari Suku Kohl selama sepekan, Nona Nora memutuskan untuk bergabung bersama kita."
Memelajari? Nora rasa itu bukan kata yang tepat, tetapi ia telah berjanji pada Elias untuk mengikutinya. Ia sibuk membalas satu per satu tatapan dengan seramah mungkin, dan Nora akui, sebagian dari mereka mulai mengendurkan kekakuan itu.
"Karena itulah," kata Elias, dan sempat berhenti sejenak untuk menatap Nora, kemudian kepada para rakyatnya, "aku harap kalian turut serta untuk membantu tamu kita belajar dengan sepenuh hati. Nona Nora telah menyampaikan keinginannya untuk mengenal kita dengan sungguh-sungguh, dan aku yakin, tak ada pendamping yang lebih baik daripada kalian."
Nora terkagum-kagum ketika lautan ekspresi itu mencerah.
"Seperti yang kita yakini sejak dulu; siapa yang berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan, maka Tuhan merahmatinya. Selamat sore."
Elias melepaskan genggaman Nora. Gadis itu kaget, baru saja akan menarik Elias lagi, tetapi para penduduk Avankaya mendadak mengerubungi. Antisipasi mereka luar biasa saat menarik-narik Nora agar mengikuti salah satu di antara mereka. Elias sendiri menyingkir dengan cepat. Sosoknya yang jangkung tenggelam di balik tangan-tangan yang teracung.
- - -
Nora lega Elias mempermudah jalannya untuk mengenal Avankaya, kendati ia agak gondok dengan sang pasha yang menghilang dalam sekejap kemarin. Sepertinya para pemimpin suku punya kecenderungan untuk melakukan sesuatu sesuka hati.
Hari ini Nora dijadwalkan untuk naik ke dek kedelapan—dek sang pasha—setelah semalaman tinggal di tenda bawah kapal. Di puncak adalah dek nahkoda yang tak boleh dimasuki sembarangan. Semula ia membayangkan bakal kelelahan menaiki tujuh pasang tangga, tetapi dugaannya keliru. Seorang gadis Avankaya menunjukkan Nora keberadaan lift antar dek. Meski, tentu saja tidak secanggih lift di kapal pesiar von Dille. Lift di sini tak ubahnya sangkar besi manusia yang dioperasikan dengan katrol besar.
Sang pasha menyambut Nora setibanya di dek delapan. Hanya ada sedikit ruangan di situ. Satu pintu ganda di ujung adalah kediaman pasha, pintu ganda di sisi kanan kiri lorong adalah ruang rapat dan ruang kerja. Di seberangnya adalah aula sembahyang, dan Nora terkejut mengetahui bahwa itu adalah aula beratap kaca tempatnya jatuh. Ia terperangah menyaksikan sejumlah prajurit Kohl keluar masuk membawa petak-petak kaca ke sana.
"Dan ini," kata Elias sembari menunjuk satu-satunya pintu individu di samping kediaman pasha, "adalah tempat untuk tamu khusus. Ini akan menjadi rumahmu sementara waktu."
Usai menaruh barang bawaan—yang hanya berupa pakaian musim panas saat datang kemari—ia menyusul Elias di ruang kerja. Sang pasha tampaknya baru saja membaca, sebab tumpukan perkamen yang dibendel memenuhi meja lebar. Nora mendekat. Ia memerhatikan huruf-huruf asing yang seharusnya tak ia pahami. Namun, Azeli telah membagi secuil asapnya; huruf-huruf aneh yang seperti modifikasi alfabet itu bisa Nora mengerti semudah membaca novel terjemahan.
"Apa ini, Pasha?" Sebagai seorang pemimpin, apalagi yang sudah dipilih sejak kelahirannya, bukankah seharusnya Elias sudah menghafal sejarah sejak dini?
Elias mengambil perkamen-perkamen untuk ditumpuk. "Memastikan asal-usulmu."
Nora merasakan satu detak jantung lolos di dadanya. "Apa?"
"Ada hal yang ingin kutahu tentangmu, Nona Nora. Banyak sekali hal." Elias tersenyum culas. "Terlepas dari kebiasaan kami yang sangat haus akan pengetahuan baru, aku menyadari bahwa kedatanganmu kemarin memiliki sebuah penjelasan masuk akal."
Nora mematung. Ia ingat Azeli mengatakan hal sejenis beberapa saat lalu.
"Apakah maksudmu kedatangan manusia dari dunia lain bukan sesuatu yang jarang terjadi?" selidik Nora.
"Kenyataannya, nenek moyang kami adalah pendatang juga," kata Elias sembari memilah-milah perkamen yang telah ditata. "Tidakkah kau penasaran mengapa dunia yang dihuni oleh raksasa juga didiami oleh manusia-manusia berukuran normal seperti kita? Jawabannya sederhana: salah satu kaum adalah pendatang. Dan itu terjawab di catatan sejarah kami."
Elias menyodorkan salah satu perkamen. "Kau bisa membaca?" tanyanya ragu. Saat Nora mengangguk, Elias bergumam lega. "Bacalah itu. Namun akan kuberi tahu kau singkatnya: banyak sekali kejadian nenek moyang kami datang dari berbagai dunia lain. Dunia yang berbeda, tetapi memiliki kesamaan yang serupa. Dunia-dunia yang juga ditinggali oleh manusia."
"Mengapa itu bisa terjadi?" Nora membasahi bibir. Azeli bilang, Nora datang kemari karena jawaban atas misteri kehidupannya bisa ditemukan di Tellus. Apakah orang-orang itu juga mengalami nasib serupa?
Sayangnya Elias mengangkat bahu. Lumrah. Ia hanyalah manusia biasa yang menghafal sejarah, bukan penjaga dimensi.
"Maaf, Nona, tetapi aku tidak tahu." Elias mendesah. "Namun kau bisa membaca itu." Ia beranjak untuk menunjukkan sebuah halaman khusus kepada Nora. "Ada catatan asal mula sejumlah manusia. Paling banyak berasal dari planet Bumi."
Nora menelan ludah.
"Aku juga berasal dari Bumi," gumamnya mengakui. Ia merasa telah membuka satu kartu rahasia yang ingin ditahan-tahannya di awal sebagai pesona magis keajaiban Tuhan. Ternyata percuma. Ada banyak sekali manusia Bumi yang datang kemari.
Mari hentikan kegilaan ini. Nora memang kacau beberapa hari lalu. Sekarang ia mulai memahami sedikit banyak tentang nasib barunya, Nora semestinya fokus.
Elias, di sisi lain, terlihat seolah-olah ingin mencatat itu secepatnya di bendelan yang dipegang Nora. "Dari tahun berapa di Bumi?"
Nora mengangkat alis. "2019."
"2019." Elias mengulang perlahan. "Di sini masih tahun 329."
"Perbedaan yang cukup jauh, eh?" gumam Nora. "Dan apa yang menjadi penanda dimulainya tahun itu? Sejak kedatangan manusia normal pertama?"
"Benar." Sang pasha membalik halaman lagi untuk menunjukkan nama yang dicatat secara khusus. Tertera judul "Nenek Moyang Suku" di atasnya. "Kebetulan rombongan manusia pertama yang datang kemari berasal dari Bumi, meski dari daerah yang berbeda-beda. Namun mereka memiliki kesamaan serupa: mereka tersedot oleh energi serupa dan terdampar di Tellus. Kemudian, mayoritas dari mereka menjadi nenek moyang dari berbagai suku."
Ketika jemari Elias menyusuri daftar nama sekaligus nama suku yang dibentuk, Nora merasakan jantungnya berdegup dalam ketidaknyamanan.
Apa ini? Kenapa ia tiba-tiba merasa tidak nyaman?
Lalu, jari Elias berakhir pada nama Suku Avankaya dan Suku Kohl.
"Dan inilah, Nona Nora, nama nenek moyang kami. Kedua nama yang memiliki hubungan sangat buruk terhadap satu sama lain sejak terdampar di Tellus. Itulah yang terwariskan pula pada kami—keturunan dan para pendatang yang bergabung."
Jari Elias mengetuk pada nama yang begitu asing sekaligus familiar bagi Nora.
"Joseph Schulze, penemu Suku Kohl, dan Melisa Aydin, penemu Suku Avankaya."
Ketika Elias menatap sang gadis, ia mengharapkan antusiasme yang serupa.
Namun, kengerianlah yang justru memucatkan wajah Nora.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top