03. The Kohl Tribe

Note: I made a mistake, ahh. Aku copy-paste bab sebelumnya dari draf lama. Ada revisi. Nama Suku Selizar yang benar adalah Suku Kohl. Itu saja. <3

Happy reading!


ººººººººººººººº


Kendati Nora masih kesakitan di sekujur tubuh, Özker mengeyel untuk membopong sang gadis. Nora masih tak mengerti di mana suku ini tinggal saat mereka berada di kapal.

Yah, Nora mendapat jawaban dengan sangat segera.

Özker membawa Nora laiknya seorang ayah menggendong putrinya yang terlelap. Bedanya Nora masih terjaga, dan malu menjadi tontonan tiap orang sepanjang lorong.

Ketika mereka akhirnya mencapai dek kapal, Nora terbengong-bengong.

Kapal Anatolli JAUH, jauh lebih besar daripada kapal pesiar yang pernah Nora saksikan. Dek yang Özker pijak terletak di atas, bagai puncak dari berlapis-lapis kue pernikahan. Di bawah kaki mereka masih ada sekitar tujuh dek yang lebih luas, sebelum berakhir pada dek utama yang menghampar sejauh dua ratusan meter. Ini mengingatkan Nora pada Wonder of the Seas—kapal pesiar mewah yang sempat dilirik keluarganya. Puluhan rumah bisa muat di sini, dan begitulah kenyataannya.

Saat Özker membawanya turun melewati lorong-lorong di dek bawah, Nora menyadari bahwa pintu-pintu dilewatinya sepanjang lorong adalah rumah bagi tiap keluarga. Berpasang-pasang mata mengintip penasaran dari lubang pintu. Pada beberapa kesempatan Nora melihat ruang lapang bertopang tiang-tiang lebar. Sebagian ruang dipenuhi meja-meja dan karpet-karpet, seperti ruang makan bersama. Sebagian lagi adalah ruang-ruang yang tak sempat diterka fungsinya karena Özker setengah berlari. Langkah sang pria tua lebar dan cepat untuk usianya.

Kapal Anatolli tidak berakhir sampai di situ. Ada sejumlah kapal dengan ukuran normal yang terikat rantai di belakang Kapal Anatolli. Nora memekik saat Özker melompat dari dek besar menuju salah satu kapal terdekat. Rantai raksasa yang mengait ikut bergetar, dan kapal sempat goyang.

"Nora Kohl, selamat datang di rumah kami!" kata Özker. Ia mengangkat Nora seakan-akan memamerkan anak anjing pada sejumlah warga yang duduk di dek. Mereka berpakaian macam Özker, meski Nora melihat ada kesamaan pada semua wanita yang berjubah. Jubahnya lebih pendek, dengan celana lebar yang diikat selaiknya sabuk pada pinggang para pria. Mereka memakai selendang-selendang tipis yang disatukan di bawah dagu.

Para warga Kohl beranjak, tetapi tak satupun mengucapkan sesuatu. Mereka mengatupkan bibir sedang berpasang-pasang mata mereka membeliak antusias.

Özker menyeruak kerumunan untuk memasuki kapal. "Siapkan ruang untuk Nona Nora. Dia adalah keajaiban Tuhan—jawaban dari doa kita, tetapi ia masih kepayahan. Bantu dia!"

Beberapa wanita melesat. Nora terpana melihat kesigapan mereka mengekori Özker kendati tak ada yang berbicara. Dalam sekejap Nora kembali memasuki ruang perawatan. Masih dengan kekhasan aroma dupa dan selendang-selendang gantung, hanya saja dengan corak yang lebih riuh dan warna-warna bertabrakan. Nora baru sadar jika selendang-selendang gantung di ruang rawatnya semula, serta motif di pakaian Elias, berupa motif repetisi dengan warna-warna gelap dan pucat.

Ketika para wanita tengah menandanginya, Nora menatap Özker linglung.

"Nora Kohl?"

"Engkau adalah bagian dari Suku Kohl sekarang." Özker melipat tangan dengan bangga.

"Elias ...?"

"Dia adalah seorang Avankaya." Özker merenggut. "Dan gadis-gadis perawat tadi adalah gadis-gadis Avankaya. Gadis-gadis Kohl tidak dianggap cukup mahir untuk merawat, sehingga tidak direkrut di kapal utama. Kau bisa buktikan jika itu salah!"

Nora ragu. Gadis Kohl yang sedang melabur obat baru di lengannya menggosok terlalu kuat. Nora sampai berjengit kesakitan, tetapi cengkeraman gadis-gadis lain di kaki dan tangan mencegahnya untuk pergi.

Nora memaksakan tawa. "Aku—aku merasa lebih baik. Terima kasih."

Özker mengangguk puas. "Sekarang biarkan Nona Nora beristirahat! Kembalilah beraktivitas, anak-anak. Semoga Tuhan merahmati kalian karena merawat keajaiban yang dikirimkan-Nya."

Para wanita mengamini dengan sepenuh hati, sarat akan emosi ketika menahan ucapan selama bermenit-menit yang menyiksa. Mereka mengawasi Nora dengan penuh rasa penasaran. Sayang, hanya suara Özkerlah yang boleh mereka jawab.

"Aku akan memastikan Elias muda itu mengumumkan kehadiranmu," kata Özker saat para wanita beranjak. "Kau harus mengenal rakyat-ku dengan akrab."

Nora mengangkat alis. "Rakyatmu? Bukankah semua adalah rakyat Elias?"

Özker mendengus lagi, kali ini lebih kuat sampai-sampai janggutnya yang lebat terdorong. "Elias memang terpilih sebagai pemimpin dua suku di sini," gerutunya. "Tapi akulah pemimpin sebenarnya Suku Kohl."

Nora buru-buru mengangguk. "Aku sangat memahaminya, Özker."

Sang pria tua mengacungkan telunjuk ke langit-langit, lantas menunjuk Nora, kemudian menepuk dadanya. "Kau adalah keajaiban Kaum Kohl. Sekarang beristirahatlah sepuasmu. Akan kujamin kau tidak bakal terganggu oleh kegaduhan Kapal Anatolli. Kapal kita jauh lebih nyaman dan bebas tekanan."

Nora menyunggingkan senyum terbaik hingga Özker menarik tirai menutup. Suara debuman pintu menyusul setelahnya.

Ia merebahkan diri pada ranjang baru. Ranjangnya sedikit bau apek ... yah, tampaknya ini ranjang seseorang. Nora agak jijik, tetapi ia tak berani menolak kebaikan ini. Tidak kalau pemimpin sepuhnya mengenakan cincin duri.

Keheningan, setelah semua gagap gempita itu, merayapi Nora bagai cengkeraman jari iblis. Ia bergidik ngeri. Dentam nyaring di kepalanya menggedor lagi.

Apa-apaan semua ini?

Ia mengedarkan pandangan. Apakah Azeli berkenan muncul? Tampaknya tidak. Tak peduli betapa sering Nora menggaungkan pertanyaan di benak, tak terdengar ada jawaban. Ia pasrah, lantas menatap langit-langit dengan nanar. Ada sarang laba-laba tipis tanpa tuan yang menggantung.

Ia terlempar ke dimensi lain. Lantas bagaimana anggota keluarga yang lain? Ayah dan Ilana? Serena? Apakah mereka selamat? Bagaimana dengan si kembar? Meski Nora jengkel dengan Avery, tetapi ia tetap saja memikirkan keselamatannya sebesar kecemasan pada Aria.

Ia berharap setengah mati ini adalah mimpi. Ketika bangun kelak, ia lebih suka menghadapi kapal pesiar yang pecah berkeping-keping di tepi Segitiga Bermuda daripada kapal raksasa yang dihuni dua suku. Namun jubah yang dikenakannya, luka yang menggores sekujur tubuh akibat pecahan kaca, serta aroma apek ranjang yang tercium benar-benar nyata.

Nora memejamkan mata.

Kenapa ini terjadi padanya?



Nora terlelap sebentar saja. Ia bangun dengan Azeli di sisinya, mengawasi bagai mimpi buruk di tepi ranjang. Nora tak terkejut. Ia sudah terlalu banyak dibuat bingung, terutama ketika mendapati dirinya terjaga di kamar yang sama.

Ia menghela napas. Baiklah. Ini memang bukan mimpi.

"Apa kau akan menjawab pertanyaanku yang lain?" Nora berbisik lirih. "Mengapa aku di sini?"

"Karena memang sudah waktumu untuk datang kemari, Nora." Tampaknya sang penjaga dimensi tidak gemar berbasa-basi. Nora mengharapkan cerita yang lebih panjang, tetapi Azeli mengatup mulut, menanti pertanyaan selanjutnya.

Gadis itu beranjak duduk dengan pandangan berputar. Kedua tangannya bertopang pada tepi ranjang. Rambut sebahunya yang semula rapi—saat masih di kapal pesiar—kini semrawut dan Nora tak punya semangat untuk merapikan. Ia lebih kepikiran dengan jawaban Azeli.

"Apa maksudmu ini sudah waktuku?" jantung Nora berdegup tidak nyaman. Apakah kedatangannya ke dunia ini bukan sebuah kecelakaan? Bahwa cahaya putih yang menelannya bulat-bulat saat badai itu bukan sekadar bencana alam?

"Ada begitu banyak misteri tak terpecahkan di dunia ...." Azeli membuat Nora terperanjat. Itu adalah kata-kata yang sering ia gaungkan dalam hati. "Dan kau punya kesempatan untuk menemukan jawabannya di sini."

Nora menatap Azeli, berharap bisa menemukan sepasang mata di balik asap yang bergumpal-gumpal. Gagal. Matanya berkunang-kunang saat memandang luberan asap di balik jubah kelabu sang penjaga dimensi. Nora menelan ludah.

"Misteri apa, Azeli? Misteri yang mana?"

"Mana saja yang kau kehendaki."

Sebuah memori berkelebat.

Memori yang tak pernah Nora inginkan untuk melintas sepanjang sisa hidupnya, kini dengan lancangnya melesat seolah menggoda untuk ditelusuri lagi. Pada ruangan yang semestinya sepi, benak Nora menjadi riuh. Suara-suara tanpa pemilik saling menjerit dan menyumpah serapah.

Jemari Nora meremas permukaan kasur dengan kuat. Napasnya memendek.

"Apa—apa kaitannya misteri-misteri kehidupanku dengan dunia ini?" Nora memaksakan pertanyaan lain keluar. Itu satu-satunya cara untuk mengalihkan perhatian dari benaknya sendiri. "Aku sama sekali tidak tahu tempat ini eksis sampai aku jatuh kemarin. Tunggu, apa benar kemarin? Duh, aku ... aku bahkan tak mengerti berapa lama aku pingsan."

Azeli tak langsung menjawab. Wajah asapnya memerhatikan Nora seolah-olah membaca pikiran sang gadis. Dan Nora merasa sangat malu dengan itu. Ia membuang muka. Ujung hidungnya memerah, menahan gejolak perih yang menyengat mata.

Jika kau bisa membaca pikiranku, Azeli, maka berhentilah—

"Dua hari," Azeli tiba-tiba berkata. "Kau pingsan dua hari. Dan seperti kataku, kau akan menemukan jawabannya di dunia ini. Di Tellus."

Azeli mengeyel tanpa menjelaskan lebih panjang lagi. Namun Nora tidak akan mempermasalahkannya sekarang. Ia sudah tidak punya semangat untuk mendesak Azeli.

Paham bahwa Nora masih berkutat dengan pikirannya sendiri, Azeli menambahkan, "Tuhan memberitahuku bahwa kau sering berdoa. Kau berharap untuk memecahkan misteri-misteri itu. Inilah jawaban doamu."

Saat Nora mendongak dengan mata membeliak, Azeli menghadap ke arah pintu. "Sebagaimana kehadiranmu adalah jawaban atas doa-doa mereka."

Kemudian Azeli melangkah mundur. Tubuhnya memburai ke udara tanpa jejak.


- - - -


Hari-hari berlalu cukup cepat di luar dugaan Nora. Pada penghujung malam pertama di sana, Elias Avankaya telah mengumumkan Nora sebagai tamu kapal. Suaranya tersebar di seluruh penjuru—menggaung pada permukaan kolam di ceruk batu-batu penampung air.

Beberapa hari berikutnya, Nora mencoba memahami kehidupan barunya dengan berhati-hati. Alih-alih celana balon ia mengenakan rok lipit lebar yang jatuh lembut di mata kaki. Roknya seterang pasir di bawah laut, dengan jubah pendek berbelah samping berwarna hijau lembut. Lengan jubahnya panjang dan ia mengenakan selendang seperti sutra di kepala. Namun, berbeda dari wanita Kohl lain, ia memakai selendang yang dijahit pada bando bertabur payet. Digerai maupun disanggul, Nora suka sekali melihat selendang kemerlip menyelimuti rambutnya, dan sering berputar-putar saat sedang berkaca, sekadar melihat selendang kepalanya berkibar. Ia merasa seperti seorang putri suku.

Pada hari kelimanya di kapal, ia bisa berjalan-jalan dengan leluasa. Özker tidak lagi datang membawakan bubur setiap jadwal makan. Tiap wanita yang merawatnya bergantian menanyakan banyak hal, dan Nora telah membentuk identitasnya seiring setiap jawaban yang diutarakan.

Kemudian, Özker menanamkan peranan besar di kehidupannya.

Pada hari kelima pula, sang ketua suku menemuinya di dek belakang kapal. Saat itu Nora tengah mengagumi hamparan dunia yang ditinggalinya sementara waktu. Pohon-pohon di Tellus puluhan kali lebih besar daripada pohon ek tua di mansion von Dille. Sesemakannya saja setinggi pohon-pohon normal di Bumi, dan bunga-bunganya ada yang sebesar rumah hingga sekecil kuku Nora. Selama lima hari melintasi padang rumput, Nora mendapati bahwa sebagian medan rendah terendam oleh air tawar sebening kaca.

Tellus seolah-olah sedang tenggelam teramat perlahan.

"Nona Nora," sapa Özker. "Apa kau sudah merasa lebih baik?"

"Oh, ya! Aku tampaknya bisa ikut membantu para Kohl untuk memasak makan siang sekarang."

Özker mengangguk. Ia mengaitkan kedua tangannya yang sekokoh pilar di belakang punggung. "Karena engkau sudah prima, Nona Nora, maka aku ingin mengajakmu untuk membicarakan doa kami."

Nora menatap Özker dengan tegang. Benar. Bukankah Özker sempat menyebut bahwa Nora adalah jawaban atas doa suku tersebut? Özker belum pernah membahasnya lagi semenjak membawa Nora kemari. Tampaknya sang tetua menahan diri selama ia belum sembuh betul.

Nora mencoba memasang senyum. "Apa yang kaudoakan kepada Tuhan, Özker?"

Kedua mata kelabu Özker menatapnya lekat-lekat. "Kami berdoa kepada Tuhan ...," bisiknya pelan, namun pasti, "agar Dia berkenan menurunkan kami bantuan untuk memerangi Suku Avankaya."

Senyum Nora lenyap.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top