02. The Confusion
"Siapa kau?" Nora bertanya dengan air mata yang menggenang di pelupuk. "Apa yang kau lakukan padaku?"
"Aku tidak melakukan apa pun." Nora nyaris melonjak mendengar suara asing bergema di benaknya. Seperti seorang pria, seorang wanita, dan anak-anak sedang berbicara bersamaan, berbisik langsung di dalam telinga. "Aku hanya menjagamu."
"Apa ... apa kau malaikat?"
Sosok itu menelengkan kepala. "Aku Azeli. Aku hanyalah satu dari banyak sekali penjaga dimensi."
Penjaga dimensi? Kegilaan nomor berapa ini?
Nora merasa seperti makhluk antah berantah saat mendengarnya, seolah ia tak pernah hidup sebelumnya, ketika segala hal yang terdengar normal itu teramat asing di telinganya.
"Tak ada yang tahu keberadaan kami, hingga tiba waktu bagi kita untuk bersinggungan." Azeli tampaknya memang bisa membaca pikiran. Ia mengarahkan wajah berasapnya ke pintu. "Kau melintasi dimensi, Nora. Ini bukan duniamu. Bukan Bumi yang kautinggali."
"Lantas mengapa—"
Azeli lenyap seketika pintu kain tersibak. Sang pemimpin mengintip dengan dahi mengernyit bingung. "Dengan siapa kau berbicara, Nona?"'
Nora menutup mulut. Ia tidak tahu apakah menjawab bakal membuatnya terdengar seperti orang gila. Jika ia menceritakan ini kepada para keponakannya, ia hanya akan dianggap seorang bibi yang halu. Jika kedua abangnya mendengar ini, mereka bakal menatap Nora bagaikan wanita berusia tiga puluh yang sangat malang.
Situasi Nora terselamatkan saat kedua gadis perawat masuk. Salah satu menyuguhkan makanan—yang lagi-lagi tidak familiar karena rupanya seperti bubur berkuah. Nora mual melihatnya. Gadis itu memaksa dengan menyuapkan sesendok. Saat Nora menelannya, ia terkejut dengan betapa manis dan harumnya bubur tersebut.
Baiklah, rupanya memang menjijikkan, tetapi rasanya dominan kayu manis. Ada cacahan kacang dan potongan buah serupa pir. Ini kenikmatan yang bisa ditoleransi.
Sementara itu, gadis yang satu lagi menutup pintu kain rapat-rapat. Ia menyibak jubah Nora untuk melepas perban yang melilit kakinya. Nora melotot melihat luka-luka gores besar menganga sepanjang kulitnya yang semula mulus. Ia berjengit ketika gadis perawat melabur banyak sekali tumbukan salep. Panas! Nora sampai mencengkeram lengan gadis penyuap makanan, mengerang kesakitan oleh sensasi terbakar yang menyengat sekujur tubuh.
Gadis-gadis justru tertawa.
"Dia memang bukan orang sini," gadis pengobat berkata seolah-olah Nora tak ada di antara mereka.
"Biarkan Elias Pasha yang menentukan. Hanya ia yang berhak menetapkan," gadis satunya menjawab sembari menyuapkan satu sendok bubur lagi kepada Nora. Ia tak diizinkan untuk berbicara karena mulutnya terus-menerus dipenuhi bubur.
"Tapi Paman Özker sudah teramat yakin."
"Tetap saja itu hak pasha."
Apakah Elias nama sang pria muda? Nora menyeruput kuah bubur dengan kalut. Hangatnya cairan yang melewati kerongkongan menciptakan ilusi pemulihan energi. Nora merasa jauh lebih baik ketika perban baru dipasang dan jubahnya dirapikan.
Kedua gadis tadi sama sekali tak mengajaknya berbicara hingga mereka pergi. Apakah mereka tak menganggap Nora ada? Wow, hatinya sakit memikirkan itu, tetapi Nora mencoba berpikir positif. Barangkali, seperti ucapan mereka tadi, bahwa hanya Elias yang boleh memberi keputusan. Sampai keputusan itu ditetapkan, orang-orang akan membatasi interaksi dengannya.
Anggap saja demikian.
Nora mengedarkan pandangan, berharap akan kemunculan Azeli lagi, tetapi tak ada tanda-tanda letupan asap dari sudut mana pun. Ia terpekur muram di ranjang hingga Elias dan Özker masuk. Kini keduanya merapat di dinding. Mereka mengawasi Nora dengan waswas, berbeda dari sebelumnya.
"Kau tadi berbicara pada seseorang." Elias menyipitkan mata. Ah. Rupanya itu alasannya. "Dengan siapa kau berbicara? Aku tak mengizinkan rakyatku untuk berbicara dengan orang asing, dan tak ada yang menemanimu di sini."
Hanya perasaan Nora saja, atau Özker mencebik saat Elias menyebut kata rakyat?
Nora menggeleng. Sampai ia mengenal siapa Azeli, ia takkan mengatakan apa-apa. Ia tak mau terdengar dungu dan tak berdaya di tempat yang sama sekali asing.
Penolakan Nora membuat Elias dan Özker menarik napas dalam-dalam. Elias mengambil satu langkah maju dan menepuk dada. "Aku adalah pasha—pemimpin kedua suku di sini. Pemilik kapal Anatolli. Aku berhak mengetahui siapa yang tahu-tahu jatuh di tempat kami. Tanpa kejelasan, maka kami akan mengumpanmu kepada Götu Dev."
Baiklah, tampaknya sesuatu yang bernama Götu Dev ini adalah sosok mengerikan. Makhluk macam apa yang bisa melempar manusia dan mendapat umpan serupa?
Nora meremas jari. Ia tak boleh diumpankan pada sosok apalah itu. Ia menuding Elias. "Elias." Kemudian jarinya mengarah pada Özker. "Özker." Padahal ia hanya menyebut nama kedua pria itu, tetapi mereka terkejut seakan-akan Nora menyebutkan mantra kematian. Nora lantas menepuk dadanya. "Namaku Nora."
"Nora?"
Ia mengangguk. "Aku tidak berasal dari sini." Ia mengacungkan telunjuk ke langit-langit, dan kedua pria mengikuti arah pandangnya dengan patuh. "Aku jatuh dari duniaku. Aku melintasi angkasa dan bintang-bintang hingga mendarat kemari."
"Duniamu?" Özker nyaris pingsan. "Kau tidak berasal dari sini?"
"Lantas bagaimana kau bisa berbicara bahasa kami?" Elias lebih tanggap untuk mengendus keganjilan. Nora hanya tersenyum culas. Ia juga tidak tahu, tetapi jika ada yang bisa menjawab rasa penasarannya, maka itu adalah perbuatan Azeli. Nora ingat jika sebelumnya tak memahami ceracauan Özker di bawah atap kaca. Lantas Azeli menyemburkan asap ke dalam tubuh Nora, dan mendadak sang gadis mampu memahami segala sesuatu.
Jika ini semua nyata dan bukan efek halusinasi parah otaknya, maka Azeli benar-benar adalah penjaga dimensi dan Nora mendarat di sebuah dimensi berbeda.
Senyum Nora masih bertahan di bibir. Kalau semua kegilaan ini memang nyata, kenapa ia tidak ikut menggila saja selagi ada kesempatan?
"Aku terberkati," katanya dengan enteng. "Karena itulah aku bisa melayang. Walau, kuakui, aku tidak bisa mengontrol jatuhnya diriku di wilayah kalian. Itu di luar kehendak."
Elias dan Özker terbengong-bengong. Jika ada yang mampu menyatukan mereka, maka itulah rasa waswas terhadap Nora. Kendati demikian keselarasan itu tidak bertahan lama. Özker melangkah maju.
"Engkau adalah keajaiban!" Ia bersimpuh. "Andai bukan Utusan Tuhan, maka engkau tetap adalah keajaiban. Kau adalah jawaban atas doa Suku Kohl."
Nora melotot. Tunggu dulu—
Özker menatapnya dengan penuh permohonan, tetapi yang tampak di mata Nora adalah seorang pria tua yang marah dan tidak menerima penolakan. Dahinya yang berkerut-kerut kian terlipat, terdesak oleh kedua alis tebal yang menyatu.
"Wahai Nora dari Dunia Lain! Jadilah bagian dari Suku Kohl kami!"
Elias terperangah. "Tidak. Dia adalah hakku untuk memutuskan ...."
Özker menggeram, laiknya seekor singa raksasa yang menantang serigala untuk maju lebih jauh lagi. Elias tertahan di posisi. Kedua tangannya mengepal.
"Apa kau akan menghalangiku untuk menerima keajaiban dari Tuhan, Elias Avankaya?" Özker membentak. Ia mengacungkan kepalan tangan, menunjukkan duri-duri tajam dari kayu yang terpasang pada setiap cincin jari. Nora membeliak. Ia sama sekali tak menyadari keberadaan senjata itu sebelumnya.
Elias memberengut. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengerling kepada Nora. "Jika ia memang keajaiban dari Tuhan, maka ia yang akan menentukan. Tuhan tidak mengirimnya kemari dari dunia lain untuk dipaksa. Ia berhak memilih."
Ketika kedua pria itu menatapnya dengan penuh penekanan, Nora tak mengira permainan kecil untuk membantunya waras justru berakhir makin kacau. Nora tak berkutik di ranjang. Matanya membulat, bibirnya terbuka tanpa suara, dan wajahnya bertambah pucat.
Ia mencari-cari sosok Azeli.
Azeli, andai kau mendengarku ....
Asap bergumul tipis di sudut belakang Elias. Kehadirannya cepat dan tanpa suara. Baik Elias maupun Özker sama sekali tak menyadari keberadaan sang penjaga dimensi. Dalam waktu yang sekejap pula itulah, Azeli mengangguk, kemudian melebur di udara.
Nora menelan ludah. Tatapannya kembali terarah pada cincin tajam di kepalan Özker, lantas melirik Elias. Sang pemimpin tak memiliki senjata apa pun pada tubuhnya. Jika jenderalnya memberontak, maka Elias tak bisa menandingi selain menggunakan kekuasaan.
Namun Özker tak terlihat bisa diajak diskusi.
Nora meremas jubah.
"Aku ... aku adalah jawaban dari doa Suku Kohl. Aku yakin bukan doa sukumu, jika kau berasal dari suku yang berbeda." Nora berharap setiap patah katanya mengandung kebenaran, bukan pencetus ledakan. "Maka ... aku akan ikut dengan Suku Kohl."
Özker spontan bersujud penuh kesyukuran. Namun, kekecewaan yang terbersit di wajah Elias justru membuat Nora sangat malu pada dirinya sendiri. Selama sesaat Nora berharap bisa memutar waktu ke beberapa detik lalu dan memikirkan jawaban yang berbeda.
Sudahlah, Nora. Ucapan abangnya tiba-tiba muncul tanpa diminta.
Berhentilah ikut campur.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top