01. The Fallen Miracle


Tak pernah sekali pun terbayang dirinya bakal tersedot cahaya.

Nora mengira itulah akhir hidupnya. Namun kesadarannya tetap utuh—ia tahu jiwanya tercerabut dari tubuh. Rasanya lebih buruk daripada mencabut bulu kaki dengan madu. Ia juga tahu saat jiwanya terpuntir ke angkasa, tertarik dan terempas ke awan, melayang di ruang kosong tanpa batas, dan tahu-tahu ada sorot cahaya lain yang menyedotnya sekuat tenaga. Semakin Nora mendekat, tampaklah pantulan kaca di bawah berlapis-lapis kabut ungu dan perak.

Nora membeliak.

Tunggu—ITU KACA!

Tak peduli seberapa panik, Nora tak bisa berkutik. Ia jatuh bagai meteor yang menerjang—tak ada yang mampu menghentikannya selain keajaiban. Sayangnya keajaiban Nora habis seiring dengan dirinya yang masih bertahan hidup usai gempuran cahaya menyakitkan. Ia menghantam hamparan kaca itu. Belum cukup Nora terkesiap dengan sakitnya serpihan kaca yang menghambur, ia mendapati puluhan manusia berhamburan di bawahnya.

Sebelum Nora mendarat di atas lantai kayu yang dipenuhi serpihan kaca, seberkas asap kelabu menyembur dari langit.

Jari-jari tangan merekah dari balik asap yang bergelung-gelung. Dalam detik-detik yang tersisa itu, waktu seolah melambat. Jari-jari memanjang menjadi juluran lengan berlapis jubah, merayap hingga tampaklah sosok utuh dengan sentuhan purba.

Sosok magis tersebut mendaratkan tubuh Nora di atas kedua tangannya yang besar. Rasanya seperti terjatuh pada gumpalan awan beraroma tanah dan embun. Nora menatapnya. Tak ada yang bisa dilihat selain semburan asap di tempat yang semestinya adalah wajah.

Apakah ia terjatuh ke alam kematian, lantas ditolong malaikat Tuhan? Nora tak bisa menjawab, tersebab kepalanya yang berdentam-dentam luar biasa akibat lontaran maut melintasi angkasa dan bintang-bintang. Yang ia tahu, saat kepalanya terkulai ke sisi berlawanan, ia bertatapan dengan seorang pria.

Ia adalah salah satu dari puluhan manusia yang tadi nyaris ditimpa. Ia berada paling depan di barisan—pucat dan terheran-heran. Di sisinya, seorang pria paruh baya berjenggot lebat sedang berteriak. Nora sama sekali tak paham ceracauan mereka. Tak ada yang terdengar familiar. Apakah ia terjatuh di negara lain? Belahan Asia Barat, mungkin? Entahlah. Tapi yang jelas puluhan lelaki di ruangan itu kocar-kacir. Kecuali pria yang pertama kali ditatapnya. Entah apa yang menahannya untuk berlari.

Nora terkesiap ketika malaikat yang menggendong tahu-tahu menangkup wajahnya. Seberkas asap merasuk ke lubang mulut, hidung, dan telinganya dalam sekejap. Nora terbatuk, tetapi bersamaan dengan sekepul asap yang terlepas dari mulut, ia mendengar dengan jelas ucapan pria di seberangnya.

"Dia tidak berpakaian."

Pria itu membuang muka dengan malu. Ia lantas berseru pada seseorang di belakangnya. "Jubah!" perintahnya tegas dan tak menerima kompromi. "Makhluk itu tak berpakaian!"

Nora ingin protes, mengatakan bahwa gaun musim panas selutut dan kardigan adalah pakaian musim panas yang santun, dan ia juga manusia biasa, tetapi tak ada suara yang mampu keluar. Kenyataannya, upaya untuk berkata-kata itu hanya menguras sisa tenaga Nora, dan tak butuh waktu lama hingga dunia memburam di matanya.

Kali ini, ia benar-benar pingsan.


- - -


Nora terbangun oleh guncangan keras. Mengira bahwa kapal pesiar von Dille menghantam ombak, Nora melonjak kaget. Ayah! Ia ingat ayahnya yang memerintahkan Nora agar mengecek situasi keluarga.

Kemudian, ketika kedua telapak kakinya menginjak pada lapisan kayu yang dingin dan keras, Nora memekik. Ngilu menyetrum sekujur tubuh. Ia refleks menjatuhkan diri ke ranjang tempatnya berbaring, tetapi setiap inci kulit yang terbentur membuat tangisan Nora pecah.

Sakit!

Kegaduhan Nora menarik kehadiran orang asing. Padahal ruangan mungil itu semula sunyi. Hanya ada dirinya, ranjang, dan aroma dupa di bawah kehangatan kandelir lilin. Lantas satu-satunya pintu kain di ruangan itu disibak terbuka. Muncul pria paruh baya berjenggot yang familiar. Tubuhnya besar dan nyaris memenuhi lebar pintu.

Sebesar keterkejutan Nora, pria tua tersebut membulatkan kedua mata.

"Dia bangun!" ia berseru pada siapa pun yang ada di balik punggungnya. Tak lama kemudian lebih banyak orang memenuhi ruangan. Mula-mula seorang pria seusia Nora. Lalu dua gadis dengan celemek serupa di atas gaun-gaun sederhana mereka.

Nora membeku. Mereka tak nampak seperti penumpang kapal pesiarnya.

Tunggu.

Apakah ruangan ini bahkan bagian dari kapal pesiar keluarganya? Mengabaikan pengawasan penuh kecurigaan keempat orang asing, Nora mengedarkan pandangan dengan mata berkaca-kaca. Aroma dupa adalah penanda pertama bahwa ini bukanlah kapal pesiar keluarganya. Memang ada aroma laut, serta guncangan khas kapal yang memabukkan, tetapi ini berbeda. Dinding dan lantainya dari kayu asli, bukan pualam maupun pahatan. Kandelir lilin yang senantiasa mengayun-ayun pelan tampak sangat ... kuno. Selain itu, selendang-selendang bercorak yang menggantung serampangan di dinding tanpa makna itu sama sekali asing di mata Nora.

Air mata mengalir tanpa sadar di pipinya.

"Siapa kalian?" dada Nora sesak. Ia menarik diri, dan sengatan menyakitkan muncul dari gesekan lengan. Ia berjengit dan menyadari bahwa tubuhnya berbalut perban dan jubah longgar alih-alih gaun musim panas. Rona kehidupan luruh dari wajah Nora. Semoga yang mengganti pakaiannya adalah kedua gadis itu. Bercak cokelat di celemek mereka identik dengan bercak beraroma rempah di perban Nora.

"Dia bisa berbicara." Pria tua gempal itu terperangah. "Dia bicara bahasa kita."

"Tapi pakaiannya berbeda," kata seorang gadis. "Itu bukan pakaian kita."

"Tapi dia seperti kita!" kilah gadis satunya.

Pria seusia Nora, yang masih mengunci mulut dan senantiasa mengawasi sang tamu tanpa kedip, mengangkat tangan. Ketiga orang di sisinya bungkam. Nora lantas ingat bahwa pria itu pula yang menuduhnya tidak berpakaian. Melihat tingkahnya dan respons sekitar, tampaknya pria ini adalah orang penting. Mungkin sang pemimpin.

Ia mendekat. Langkahnya penuh kehati-hatian. "Siapa kamu?"

Nora tak mengira akan tergagap saat menjawab. "Aku bertanya duluan." Sembari berkata demikian, berbagai memori baru membanjiri benak. Ia ingat bahwa kapal pesiar keluarganya terombang-ambing oleh ombak. Lalu ada cahaya putih. Itu sangat menyakitkan, terlebih-lebih sensasi lontaran yang rasanya bagai mimpi terburuk. Pada akhirnya, Nora teringat akan sosok bak malaikat yang menyelamatkannya, serta gegap gempita puluhan manusia tak dikenal.

Apa-apaan ini? Apa yang terjadi?

Meski begitu sang pemimpin tak segera membalas. "Kau jatuh dari langit," bisiknya setengah tak percaya. "Apa kau dilempar Götu Dev?"

Apa? "Siapa?"

Pria itu mengernyit. Ia bertukar tatap dengan lelaki tua di belakangnya.

"Dia tidak tahu Götu Dev." Pria tua mendengus. Ia mengepalkan tangan. "Sudah kubilang dia adalah Utusan Tuhan!"

"Jangan sembarangan menyebut seseorang sebagai Utusan Tuhan, Özker." Sang pemimpin muda bersikeras. Mereka sempat saling melotot, membuat kedua gadis perawat beringsut keluar ruangan dengan ketakutan. Daripada kehadiran Nora, keduanya lebih takut dengan kemungkinan pertengkaran itu.

Sang pemimpin muda lantas berbalik menatap Nora lagi. "Kau tidak dilempar oleh Götu Dev. Tidak ada orang yang bisa selamat setelah dilempar. Kau pasti datang dari tempat lain." Ia berhenti sejenak. Matanya menyipit. "Atau dunia lain."

"Ia melayang." Özker mengingat-ingat. "Tidak ada yang bisa melayang bahkan dengan Sari Pohon."

"Kumohon," Nora akhirnya menemukan suaranya lagi. Serak. "Aku tidak mengerti apa-apa."

Suasana menghening. Baik sang pria muda maupun Özker tak mampu mengatakan apa pun. Beberapa menit yang lalu mereka saling membentak, dan kini mereka bertukar tatapan bingung. Mereka laiknya seorang raja muda dan jenderalnya, atau semacam itulah, Nora hanya mampu menerka-nerka.

Sang pemimpin nampak gagah dengan kemeja panjang bermotif rumit yang elegan, dengan kancing-kancing kayu dipoles. Sepertinya sang penjahit tahu cara untuk menonjolkan bahu sang pemimpin yang lebar. Kerah tegak mempertegas garis rahangnya yang tajam.

Sementara itu Özker hanya mengenakan kaos kumal dengan jubah pendek. Celananya kombor dan diikat sabuk besar yang menjaga pinggang kokohnya. Ia tampak seperti bajak laut—jika memang Nora berada di ruangan sebuah kapal. Keduanya sama-sama memiliki coretan putih di tulang pipi.

"Apa kau baik-baik saja?" Özker bertanya. Nadanya melembut dibalik kerasnya perawakan sang tua.

"Ia pucat." Sang pemimpin beralih ke pintu. Ia mengisyaratkan kepada kedua gadis agar membawakan makanan. "Ia akan pingsan kapan saja. Beri ia ruang, Özker."

"Kau juga tidak boleh berada di sini." Özker meninggalkan ruangan dengan langkah lebar. "Keluar kau, lelaki lajang!"

Wajah rupawan sang pemimpin tertekuk malu mendengar itu. Alisnya bertaut, tetapi ia tidak menyanggah. Tak butuh waktu lama hingga Nora dibiarkan sendirian di ruangan, sementara keributan mengisi ruang di luar. Nora kembali berbaring. Kepalanya berdentam-dentam selepas terlibat keriuhan kedua pria tadi. Biarlah mereka berdebat. Itu bukan urusan Nora.

Ia hanya curiga bahwa sosok berasap yang menggendongnya tadi mengetahui sesuatu. Özker berkata bahwa Nora melayang—apakah itu berarti Özker tak bisa melihat sosok berasap?

Seolah membaca pikiran sang gadis, Nora melihat seberkas asap bergumpal-gumpal di ujung mata. Nora spontan menoleh. Di kaki ranjangnya, asap menyembur makin besar, saling menumpuk dan bergumul, hingga akhirnya muncullah sosok berjubah yang sama.

Nora tak pernah, sekali pun seumur hidupnya, menyaksikan kegilaan ini. Andai ia masih berada di kapal pesiar von Dille, ia mungkin akan meneriaki sosok yang tampaknya perwujudan halusinasi mabuk laut. Sekarang, dengan orang-orang tak dikenal dan suasana yang sama sekali asing, Nora hanya mencoba mencari sesuatu yang familiar baginya.

Ironisnya, justru sosok malaikat itulah yang membuat kehangatan menyeruak di ujung-ujung jari Nora yang dingin.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top