8. Sepi

Di sepanjang perjalanan, Dirga dan aku tak melakukan begitu banyak percakapan, pun didukung oleh kami berdua yang memang tidak berusaha mencairkan suasana. Bagiku, dia yang tak secara tiba-tiba menusuk punggungku dan membiarkanku mati terluka di tengah salju ini sudah cukup, karena aku tahu dia menyakukan pisau tajam pada salah satu bagian sabuknya.

Aku menduga kalau sebelum dunia berubah seperti ini, Dirga adalah orang yang mengenal dekat kata kekerasan, atau apapun itu yang berkaitan dengan hal itu. Mungkin bukan pada sisi yang jahat, melainkan sisi sebaliknya. Polisi, tentara, mungkin juga pemadam kebakaran, yang kurasa bisa menjadi calon profesi pilihan dalam dugaanku, walaupun aku tetap ragu karena dia tak membawa satu pun senjata api. Namun, sekali lagi, aku tak akan menanyakan hal itu.

Aku mengambil jalan pintas, walaupun sempat sedikit kebingungan karena lanskap yang berbeda dari yang biasa kukenal. Tak melalui jalan raya—yang sekarang tak terlihat karena tertutup salju, melainkan jalanan kecil yang menghubungkan satu perumahan dengan perumahan yang lain.

Aku tahu pilihanku tepat karena dinding pembatas antar perumahan dapat kutemukan.

Di sekitar sini ada dinding besar berlubang yang sengaja orang-orang buat sebagai akses instan antar dua perumahan. Sekarang, ukuran lubang itu berkurang hampir separuh dengan adanya salju di permukaan. Kalau Dirga benar-benar penduduk di sekitar sini, seharusnya ia tahu akan keberadaan lubang yang menganga itu. Namun, aku tak ambil pusing apakah dia mengetahuinya atau tidak, yang sekarang kuinginkan adalah kembali menemui Galih dan Aziz, memastikan bahwa mereka baik-baik saja, terutama adikku itu.

Oh, ya. Tidak jauh sebelum kami pergi, Hana juga memberikan kami jatah makanan yang dapat digunakan selama perjalanan. Dia tak ingin mengambil resiko, dan aku jelas tak akan menolaknya lagi. Badai yang tiba-tiba datang itu cukup untuk membukakan mataku: aku harus mempersiapkan semuanya sebelum hal buruk terjadi.

Perjalanan tidak memakan waktu begitu lama kalau dibandingkan dengan eksplorasi pertamaku. Ketika rumahku sudah terlihat di ujung sana, aku memberitahu Dirga bahwa kita hampir sampai, membuat tingkat kewaspadaannya semakin meninggi, hingga kami sampai ke depan jendela masuk yang biasa kujadikan akses keluar masuk alternatif rumah karena pintu depan yang tak dapat kubuka.

Setidaknya pernah kujadikan akses keluar masuk.

Jendela itu tidak benar-benar terkubur oleh salju, tetapi sebagian besar lubang yang sengaja kami pecahkan tertutup oleh timbunan salju.

Aku menggali, dan astaga demi apapun juga, bisa kulihat sekumpulan es putih melandai masuk ke dalam rumahku. Tidak banyak, tetapi cukup mengambil banyak tempat di ruangan pertama yang salju itu kunjungi.

Begitu kurasa galianku cukup, sengaja kuluncurkan tubuhku untuk masuk ke dalam, hampir tergelincir karena salju di dalam ruangan tidak membeku sempurna.

Pasti karena badai panjang kemarin.

Namun, sebelum benar-benar mencari tahu, aku mencoba memastikan bahwa Dirga bisa masuk dengan tubuh besarnya.

Aku rasa ia kesusahan, entah karena tidak terbiasa atau mungkin karena terus berjaga-jaga menghindari ancaman yang tak akan pernah terjadi. Setelah memastikan bahwa dia sudah masuk ke dalam rumahku, aku menanyakan kabarnya, apa dia baik-baik saja, dan secara lugas ia katakan bahwa ia baik-baik saja.

Pikiranku kembali melintang pada Aziz dan Galih. Mereka tidak sedang bermain bersama, tidak menyambutku, tidak ada sedikitpun tanggapan biar sebenarnya aku tahu, seharusnya seluncuran yang kuakhiri dengan pijakan keras itu menggema ke seluruh ruangan itu bisa mereka dengarkan.

Tidak ada apapun.

Aku mulai panik, memanggil mereka berulang kali. Berteriak, menggaungkan kedua nama mereka tanpa jeda. Tentu, sembari berjalan, bergerak mencari mereka.

Berbeda dengan rumah Dirga, rumahku lebih mirip sebagai ruang bawah tanah dengan sedikit cahaya matahari yang masuk. Sebagian besar jendela tertutupi oleh es, padahal secara geografis, rumah kami tak sejauh itu hingga perbedaan tinggi tanah sangat drastis. Namun, aku tak perlu memusingkannya, karena toh hal rasional di dunia ini sudah tak berlaku, kan?

Setelah teriakanku yang keempat, kulihat Galih keluar dari kamarnya, memanggil namaku, dan aku segera menghampirinya. Saling berpelukan bukanlah sesuatu yang biasanya kami lakukan, walaupun sebenarnya aku harap dia memberikan pengecualian untuk saat ini. Namun, hal itu tidak terjadi karena kami berdua yang terlalu canggung.

Aku berlutut, memastikan bahwa dia baik-baik saja, mulai dengan memeriksa suhu tubuh ala kadarnya, memastikan bahwa tak ada radang dingin yang menyerangnya, memastikan bahwa pakaiannya tidak basah selama aku pergi dan tak kembali, dan yang jelas, bertanya langsung padanya apakah ia baik-baik saja.

Galih menjawab bahwa ia baik-baik saja.

Aku menganggukkan kepala. Aku harap ia memang baik-baik saja, dan memang dia tampak baik-baik saja. Jadi, aku berdiri, kemudian menanyakan keberadaan Aziz pada Galih.

Galih menajwabnya. dijawab dengan jawaban yang paling tak ingin kudengarkan.

"A Aziz pergi," katanya.

"Kapan?"

"Semalam."

"Kenapa?"

"Soalnya A Firman nggak pulang-pulang, katanya A Aziz mau nyari A Firman."

Otakku berhenti bekerja sesaat seolah dilanda petir berkepanjangan, kakiku bergetar dengan tubuh yang melemas. Aku hampir jatuh karena Galih menyuarakan salah satu skenario terburuk yang tidak pernah ingin kudengar.

Kalau apa yang Galih katakan itu benar, dan kurasa ia tidak akan berbohong padaku tanpa alasan yang jelas, serta kesaksian tak adanya Aziz di sekitar sini, artinya Aziz benar-benar pergi di tengah badai salju, mencariku, dan hingga kini belum kembali.

Bukan sebuah cerita yang tampaknya akan berakhir dengan baik.

"A Aziz sempet nanya arah kalau mau ke toko, nggak?" Aku bertanya dan Galih mengangguk, membuatku tak mengambil ancang-ancang lagi. Spontan aku berbalik, kembali mengarah ke jendela masuk, kemudian mengingatkan Galih untuk tak pergi ke mana-mana selama aku pergi.

Galih menolak, memaksa untuk ikut, tetapi aku tetap tak memenuhi keinginannya. Aku tahu, dia sudah melihat beberapa mayat di luar sana, tetapi mereka semua bukanlah orang yang Galih kenal. Kalau memang sesuatu yang paling buruk terjadi pada Aziz, aku tak ingin Galih melihatnya. Untungnya, pada akhirnya Galih menurut setelah berulang kali ia melakukan negosiasi.

Aku meminta Dirga untuk melindungi Galih, tidak peduli seberapa tidak percaya pun orang itu padaku.

Dirga menyelamatkanku, memberikanku setumpuk baju biarpun semua itu dibawakan oleh Hana, dan ia tidak menusukku di dalam perjalanan. Aku rasa aku bisa, setidaknya sedikit, memercayakan Galih padanya. Apalagi, dia juga memiliki seorang anak yang umurnya tak terpaut jauh dari Galih, dan langsung melunakkan hatinya begitu mendengar bahwa aku memiliki seorang adik.

Tidak. Aku yakin aku bisa memercayainya.

Tujuan perjalananku? Tentu toko pertama, kedua, dan ketiga. Namun, aku tak menaruh begitu banyak harapan. Aziz keluar dalam badai besar yang memotong daya penglihatannya. Kalau aku yang mengenal wilayah ini saja bisa tersesat karenanya, apalagi dia, kan?

Aku berteriak, memanggil namanya, berharap bahwa akan ada setidaknya sangat sedikit kemungkinan ia masih bertahan hidup, sebagaimana aku berhasil menaklukan badai dengan bantuan Dirga dan Hana. Sengaja kuarahkan kedua tanganku ke mulut, membentuk megafon buatan dan membuat suaraku semakin menggema di dunia yang dingin, memanggil nama Aziz berulang kali.

Sampai di toko pertama, aku tidak menemukan apapun, yang membuatku berpikir bahwa Aziz berhasil sampai sini, kemudian melanjutkan perjalanan hingga ke toko kedua, atau dia tidak pernah benar-benar berhasil sampai ke tempat ini.

Pilihanku jatuh pada kemungkinan kedua. Dia pasti tersesat.

Aku terus mencari, meneriakkan namanya, mengelilingi seluruh jalan di sekitar toko pertama, hingga akhirnya kutemukan sesosok figur hitam, berada tepat di samping sebuah rumah. Sosok itu sebelumnya tak pernah kulihat.

Pikiranku langsung tertuju pada satu kemungkinan: adanya mayat baru. Namun, apakah itu Aziz?

Kudekati figur itu, tertidur dengan kedua tangan yang mengikat lutut. Wajahnya terbenam di antara kedua kaki, persis seperti seorang pengemis yang tengah dirundung oleh kesedihan.

Sejauh ini, aku tidak yakin apakah figur itu Aziz atau bukan. Namun, ketika kugoyangkan tubuhnya, membuatnya jatuh tak berdaya, di saat itulah aku yakin.

Benar, itu Aziz.

Jantungku berpacu kencang, darahku kembali terpompa. Aliran kerasnya berhasil membuat getaran pada tubuhku.

Kedua mata Aziz tertutup dengan mulut yang sedikit menganga, kulitnya pucat bagaikan lapisan es yang kuinjak-injak hampir setiap hari. Sengaja kulepas sarung tanganku, kemudian menempelkan tangan telanjang pada lehernya yang tak kalah pucat, tetapi tak kutemui tanda kehidupan. Tubuhnya dingin tak terkira, padahal jemariku sendiri saja sudah dingin luar biasa.

Dia Aziz. Tak bergerak, tak bernapas, dengan wajah pucat bagaikan daging beku dengan bunga es yang menempel. Dia sudah tak bernyawa dan aku benar-benar tak dapat memercayainya.

Secepat itu? Aku masih bermain bersamanya kemarin, dan sekarang ia sudah membeku di luar sini? Aku hanya tak bertemu dengannya kurang dari dua puluh empat jam dan keadaannya sudah seperti ini?

Kembali kukenakan sarung tanganku, berdiri, memikirkan kemungkinan lain yang bisa terjadi seandainya saja kemarin aku memilih untuk pulang, bertahan beberapa hari dengan persediaan yang ada sebelum benar-benar pergi mencari makanan di luar sana.

Mungkin Aziz akan menahan diri untuk tak keluar, mungkin dia tak harus mati dalam keadaan sengsara seperti ini. Sendirian, tak tahu arah, menunggu kematian akan datang.

Aku sempat terjebak dalam badai salju, aku tahu bagaimana perasaannya sendirian di tengah ketiadaan, bagaimana hampir kehilangan harapan karena rasa dingin menyembur dari dalam tubuh. Aku beruntung, Aziz tidak.

Air mataku mulai menyesap, memberontak keluar dari bola mataku.

Memang, di masa lalu kemungkinan yang lain bisa terjadi, tetapi hal itu tak pernah terjadi. Di hadapanku sekarang, Aziz benar-benar telah tak bernyawa. Kematian datang menjemputnya, tak ada yang bisa kulakukan lagi.

Aku berlutut, memejamkan mata, mencoba membiarkan seluruh kekecewaanku keluar melalui bayangan imajinasi. Aku melihatnya pergi di sana, memberikan salam terakhir, kemudian tak akan pernah menemuiku lagi.

Namun, itu semua hanya imajinasi. Rasanya tak sama.

Aku berteriak, meninju tubuhnya, bertanya kenapa dia harus pergi mencariku, kenapa aku harus keluar saat itu, kenapa badai salju tiba-tiba muncul tanpa diundang. Ada banyak skenario yang seharusnya bisa kuubah, tetapi semuanya sudah terlambat.

Sekarang, air mataku benar-benar tak tertahankan.

"Hei." Sebuah suara memanggil, membuatku langsung membuka mata, berharap bahwa Aziz kembali ke kehidupan nyata. Namun, hal itu mustahil, apalagi suara yang memanggilku itu berada di belakangku, dan jelas bukan suara Aziz yang kukenal.

Itu suara Dirga.

Aku berbalik, mendapati Dirga yang tengah menggandeng tangan Galih berdiri di belakangku, terpaut beberapa meter. Mereka pasti melihat pipiku yang memerah dengan air mata yang terjun keluar dari kedua bola mataku.

Sebelum aku bertanya kenapa mereka mengikutiku, Dirga memberitahuku lebih dulu, "Galih meminta terus, ingin bersamamu, jadi aku membawanya ke sini."

Namun, aku tak memberikan sedikitpun komentar. Kalau mereka membuntutiku, seharusnya mereka juga melihat bagaimana aku mendekati sosok Aziz, yang seharusnya mereka juga tahu bahwa di ujung sini ada mayat tergeletak, yang kutangisi, dan jelas merupakan salah seorang temanku.

Menutupinya dari Galih pun percuma, karena aku yakin dia sudah melihatnya. Anak itu terlihat berjinjit, mencari tahu sosok mayat yang sedang kutangisi. Melihat bagaimana matanya menyongsong wajah sang mayat, aku yakin Galih juga sudah tahu.

Dirga membawanya ke sini, tetapi aku tak dapat menyalahkannya. Aku hanya memintanya untuk menjaga Galih, dan bukan menjaga Galih sekaligus memaksanya tetap diam di dalam rumah.

Aku berdiri, bergeser ke arah kiri, memperlihatkan secara utuh seonggok tubuh setengah membeku agar bisa mereka lihat dengan jelas, seandainya sebelumnya tubuhku menghalangi. Ingin kuberitahu bahwa Aziz tidak selamat, tetapi mulutku terlalu kaku untuk mengatakannya. Lagipula, kedua mata mereka masih berfungsi dengan baik, kan?

Dirga tidak memberikan reaksi apa-apa, dan bisa kulihat Galih berusaha mengusap kedua matanya. Tidak, ia menyeka air mata yang keluar. Anak itu benar-benar tahu kalau Aziz tak mungkin berinteraksi lagi dengan kami, tetapi ia tak mengeluarkan tangisan dalam bentuk suara. Sedikitpun tidak.

Sekarang aku yakin kalau anak itu sudah mengenal konsep kematian, yang berarti tak perlu kujelaskan lebih lanjut, memberitahu cerita omong kosong untuk membuatnya mengerti bahwa Aziz sudah tak ada lagi di dunia ini, berbohong bahwa dia akan baik-baik saja di alam yang lain, yang padahal aku sendiri tak tahu apakah dunia setelah kematian itu benar adanya atau tidak.

Hal semacam ini akan terjadi kalau kami tak berhati-hati.

"Kalau kau ingin menguburnya, aku bisa membantu." Dirga menawarkan, tetapi aku menolaknya.

"Dia akan terkubur sendirinya jika salju terus turun seperti ini," kataku, kemudian berjalan langsung ke arah mereka, mengambil alih gandengan tangan yang langsung Galih raih. "Terima kasih," kataku, selanjutnya, bersiap untuk kembali ke rumah, dan entah apa yang akan kulakukan setelahnya, mengetahui bahwa kehidupanku dan Galih mungkin akan berubah setelah kejadian ini.

Namun, sekali lagi, suara Dirga menggema, sekarang memintaku untuk berhenti. "Tunggu dulu!" katanya, membuatku kembali berbalik. Galih melakukan hal yang sama. "Kalau kau membutuhkan bantuanku, aku tak keberatan. Mungkin kau bisa tinggal dengan kami."

Pikiranku bertahan beberapa detik, sebelum akhirnya kujawab tawarannya. "Kau yakin?"

"Aku yakin. Lagipula ...," sesaat Dirga melemparkan pandangannya pada Galih, "Kurasa Yuda tak akan kesepian lagi kalau ada Galih."

Galih mendongakkan kepalanya, melihat ke arahku. Aku tahu, nama Yuda pasti terdengar asing di telinganya. Dia mungkin bertanya-tanya, siapa Yuda yang dimaksud.

Sebenarnya aku tidak ingin membebani Dirga lebih jauh lagi, tetapi apa yang dikatakannya itu ada benarnya juga. Lagipula, kalau memang ternyata Galih bisa menemani Yuda agar tak kesepian seperti yang dikatakannya, bukankah bisa dibilang aku akan membalas kebaikan mereka?

Aku tidak menunggu persetujuan Galih. Terlalu lama jika harus kuceritakan panjang lebar padanya, termasuk siapa itu Yuda, yang sebenarnya hanya bocah kecil yang hampir seumuran dengannya, yang juga secara sial terdampar di dunia ini dalam usia yang terlampau muda.

Aku menyetujui penawaran Dirga.

Kami kembali ke rumahku untuk mengambil beberapa barang berharga, walaupun semua itu tak lebih dari sekadar pakaian, makanan yang sebelumnya terkubur dalam tumpukan salju, dan untuk Galih, beberapa buku yang bisa dibacanya di kala bosan beserta alat tulis yang tampaknya tak pernah mau ia lepaskan. Kemudian, tak lupa kutuliskan memo untuk orang tuaku, mengatakan bahwa aku akan pergi menuju rumah Dirga, karena sebelumnya aku lupa untuk meninggalkan catatan di kosanku.

Dirga tidak mudah memercayai seseorang, tetapi sebenarnya orang baik. Aku rasa Hana dan Yuda akan menyambut kami dengan baik juga di sana. Kalau kalian membaca tulisan ini, pergilah ke sana. Aku yakin mereka juga akan menyambut kalian.

Tulisan itu sengaja kuselipkan di bawah lampu belajar milik Galih agar tak hilang terbawa angin, kalau-kalau suatu saat angin kencang berhasil menembus masuk ke dalam rumah. Setelah itu, aku meminta Galih memastikan bahwa ia telah membawa barang-barangnya, tak meninggalkan satu pun benda, karena mungkin kami tak akan pernah kembali ke sini lagi dalam beberapa waktu, walaupun dengan jarak yang lumayan dekat.

Kau tidak boleh meremehkan kekuatan badai.

Ketika Galih sudah mengonfirmasi bahwa ia sudah membawa semuanya, aku memberitahu Dirga bahwa kami sudah siap, dan, oh astaga, kau mungkin tak akan percaya betapa berubahnya sikap Dirga, berbanding terbalik dengan bagaimana sunyinya perjalanan kami sebelumnya.

Aku tahu dia senang memotong pembicaraan orang, tapi tak pernah kusangka jika mulutnya itu tak bisa berhenti berbicara ketika mulai menceritakan kehidupannya sebelum salju turun.

Berdasarkan pengakuannya, dia hanyalah seorang pecinta alam yang tahu satu dua hal kecil untuk bertahan hidup. Pada awalnya, turunnya salju merupakan daya tarik untuk Dirga, tetapi aku tidak kaget ketika mendengarnya mengatakan hal itu, karena toh hampir semua orang berpikiran sama pada awalnya. Mungkin hanya beberapa di antara mereka—yang benar-benar cerdas memikirkan masa depan akan fenomena aneh ini—yang khawatir dengan fenomena itu. Terbukti, seharusnya seluruh umat manusia khawatir.

Kami saling bertukar cerita, bagaimana ia memilih untuk tak pergi ke tempat penampungan karena berpikir salju tak akan turun lama, bagaimana aku kehilangan komunikasi dengan kedua orang tuaku, yang entah akan benar-benar kembali ke sini atau tidak.

"Lalu, kenapa kau masih belum pergi ke tempat penampungan?" Aku bertanya pada Dirga ketika ia sedikit kesulitan saat memijak tumpukan salju lembut yang membenamkan kedua kakinya.

"Istriku tidak mau," katanya, kemudian terhenti sesaat ketika Dirga menarik jaketnya. "Dia perawat. Ketika awal fenomena aneh ini muncul, banyak orang jatuh sakit dan orang-orang meminta bantuannya."

"Kurasa tidak tersisa banyak orang di luar sini. Aku belum menemukan orang lain selain kau dan keluargamu."

"Kau benar." Dirga melihat ke kanan dan ke kiri, seolah mencari sesuatu di antara terpaan angin yang berembus sepoi-sepoi. "Yang kutahu, sekarang orang-orang berkunjung untuk menggorok leher kami. Tidak banyak, tetapi bukan tempat yang aman. Aku ingin segera pergi, tapi istriku bersikeras untuk bertahan."

"Bersikeras karena apa?"

"Dia bilang ingin membantu orang-orang yang kesulitan. Dia berpikir kalau orang-orang yang ada di tempat penampungan pasti sudah tertangani, tetapi tidak dengan orang-orang di luar sini."

"Dan sudah berapa banyak orang yang kalian selamatkan?"

Dirga mengangkat jari telunjuknya. "Setelah semua orang berbondong-bondong ke tempat penampungan? Hanya kau seorang."

"Tidak mungkin."

"Kau sendiri yang bilang, tidak banyak orang yang tersisa di luar sini. Kalaupun ada, mereka semua ingin menggorok leher kami. Kecuali kau, kau yang pertama."

Dirga bisa berbohong, tetapi aku tak dapat menduga motif yang jelas. Lagipula, ceritanya itu cukup masuk akal, apalagi untuk seseorang yang hampir melemparku ke timbunan salju karena aku memecahkan jendela rumahnya.

Untuk sesaat, pikiranku mengenai kematian Aziz sempat teralihkan. Pembicaraan baru tak berujung yang Dirga buat seolah-olah sengaja dilantunkannya untuk mengalihkan pikiranku. Aku tidak keberatan akan hal itu, tetapi tampaknya Galih masih belum bisa melepaskan bayang-bayang mayat Aziz yang telah membeku dari dalam pikirannya.

Mata kecilnya menatap kosong ketika kakinya terus melangkah. Kalau genggaman tangannya kulepaskan, mungkin dia akan berhenti dan mematung, tak sadar akan situasi dan kondisi sekitarnya. Hawa dingin akan semakin menggerogoti tubuhnya, siap memakannya hidup-hidup.

Aku tak tahu mana yang lebih mengejutkan untuk Galih, melihat mayat orang yang dikenalnya langsung di depan mata, atau tahu bahwa ia tak akan pernah bisa berinteraksi lagi dengan Aziz, dan aku tahu dia cukup dewasa, akan langsung menangkis omong kosong, "Aziz masih hidup di dalam hati kita. Semuanya akan baik-baik saja," yang biasa orang-orang gunakan untuk menenangkan jiwa seseorang yang ditinggalkan.

Tidak ada yang baik-baik saja di dunia seperti ini.

Ketika tempat tujuan kami mulai tampak di depan mata, Dirga berbalik, langsung berlutut di hadapan Galih untuk menyelaraskan tinggi tubuhnya. Ia meminta Galih untuk jalan lebih dulu, menunjukkan bahwa rumahnya ada di depan sana, tak jauh dan tak diperlukan pengawasan lebih untuknya berjalan sendiri. Memintanya mengetuk pintu untuk memanggil Hana dan membukakan jendela masuk.

Untuk beberapa detik, Galih menengadahkan kepalanya, meminta persetujuanku, dan aku menganggukkan kepala sebanyak dua kali sebelum Galih melepaskan genggamanku. Anak itu mempercepat langkahnya dan meninggalkan kami berdua.

Dirga memberhentikan gerakan kakiku, menyilangkan tangannya agar lututku tak terus bergerak maju. Kemudian, ia berdiri, mengepulkan asap putih dari mulutnya. Rahangnya ia mainkan sesaat agar tak terasa begitu kaku, mungkin karena perbedaan suhu pada mulutnya, dari berdiri dan berlutut tadi, terasa kentara di dunia yang seperti ini.

"Temanmu itu, kau bilang kau dan Galih dekat dengannya, kan?" Dirga memasukkan kedua tangannya ke dalam jaket, mendorongnya hingga membentuk tonjolan lengan di kedua sisi tubuhnya.

"Benar," balasku. Namun, Dirga malah memalingkan wajahnya, melihat bagaimana Galih berjalan dengan kaki-kaki kecilnya dengan bayangan yang semakin menjauh. Ia melemparkan pandangannya kembali ke arahku, tetapi hanya ditemani oleh gantungan alis dengan mulut yang membisu.

Aku yang tak sabar kemudian bertanya, "Memangnya kenapa?"

Namun, Dirga menggelengkan kepalanya, ia memintaku untuk melupakannya.

Kalau dia sampai meminta Galih untuk pergi lebih dulu, membiarkan kami dapat mengobrol berdua secara leluasa, aku yakin ada hal penting–atau setidaknya seperti itulah yang ia pikirkan–yang ingin dia bicarakan. Jadi, aku memaksanya berbicara, membuatnya, pada akhirnya, menyerah juga.

"Aku kagum dengan Galih," katanya, "Seolah-olah dia mengerti kalau dunia ini dan dunia tempatnya tinggal dulu adalah dunia yang berbeda. Apa Galih selalu seperti itu?"

"Ya." Asap putih mengepul keluar dari mulutku. Rasa dingin semakin mencuat menggerogoti tubuhku, mungkin karena kami diam berdiri di tengah hamparan salju dengan udara dingin. Namun, aku bisa menahannya beberapa saat lagi sebelum benar-benar kedinginan.

"Di awal kekacauan, ketika penjarahan terjadi di mana-mana, Galih masih sering menanyakan hal-hal yang sama: kapan salju akan berhenti, kapan orang tua kami akan datang, berapa lama kita harus bertahan. Namun pertanyaan-pertanyaan itu pudar, seolah dia mengerti bahwa dia harus beradaptasi di dunia ini, meskipun kita tidak tahu harus bertahan berapa lama."

"Melihat Galih membuatku cukup khawatir dengan Yuda." Dirga menelan ludahnya. "Ketika kita datang, dia sedang sendirian, dan aku tak melihatnya menjerit, menangis, atau setidaknya meneriakkan namamu keras-keras, melakukan selebrasi atas kedatanganmu kembali, seolah-olah anak itu tahu kalau kejadian buruk bisa terjadi di luar sana, dan dia sudah siap. Sangat berkebalikan dengan Yuda."

Sekarang, aku jadi ikut-ikutan memandangi Galih dari kejauhan. Anak itu masih berjalan menjauhi kami tanpa sedikit pun rasa cemas. Dia percaya, tak berbalik hanya untuk mengetahui keberadaanku dan Dirga, meyakinkan dirinya bahwa kami berdua tak kabur berlari meninggalkannya sendiri.

Mendengar pernyataan Dirga, mungkin seharusnya aku semakin bersyukur karena Galih bukanlah anak kecil yang harus dipangku setiap saat.

Dirga melanjutkan pembicaraannya. "Dia hanya menangis sebentar ketika melihat mayat temanmu itu. Aku tak tahu apa yang akan terjadi pada Yuda seandainya hal yang sama terjadi," katanya.

"Sebagai pembelaan, Galih memang mengenal Aziz, tapi bagaimanapun juga, Aziz bukan teman sebaya atau saudaranya." Kakiku mulai kedinginan. Angin yang berembus menerpa kulit membuatku langsung menggosokkan sarung tangan pada pipi, menghilangkan rasa sakit bak ditusuk jarum. "Aku tak yakin reaksinya akan sama jika aku yang meninggalkannya."

Dirga tersenyum kecil, napasnya tersentak sesaat ketika perutnya berusaha mengendalikan diafragma yang naik turun secara perlahan. "Jangan sampai terjadi," katanya.

Di saat yang bersamaan, kakiku yang membeku tak dapat memberikan toleransi lagi. Aku memaksa Dirga untuk melanjutkan perjalanan yang bahkan tak perlu kami tempuh lebih dari sepuluh menit–padahal punya jam saja tidak.

Galih masih berada di luar rumah, membuat Dirga bertanya, kenapa anak itu belum masuk dan menghangatkan tubuhnya. Galih berkata bahwa tak ada orang di dalam rumah, tetapi Dirga tak percaya.

Lelaki itu mengetuk pintu beberapa kali, memanggil Hana dan Yuda. Namun, seolah membenarkan pernyataan Galih, tak ada seorang pun yang memberikan jawaban.

Aku mengintip melalui jendela yang tak pecah, jendela tempat akses keluar masuk yang seharusnya bisa kami lalui sekarang. Kalau penglihatanku tidak salah, seharusnya di dalam sana tak ada orang.

Jadi, aku memberitahu Dirga bahwa di dalam sana, tampaknya, memang tak ada orang. Namun, sekali lagi, Dirga menepis pernyataan itu. Hana tak akan keluar rumah, katanya. Jadi, aku memikirkan alternatif kemungkinan lain yang bisa saja terjadi.

Mungkin perempuan itu tertidur, sebagaimana pertama kali aku melihat mulutnya yang menganga di sampingku, ketika aku baru siuman setelah keluar dari cekatan kematian badai salju. Namun, Dirga masih menolak analisis itu. Katanya, biasanya Hana akan langsung bangun ketika mendengar suara ketukan pintu.

Dirga bilang ia akan memeriksa bagian belakang rumah, melewati pagar tinggi, melompatinya, sehingga sekarang tubuhnya tak terlihat lagi di depan mataku. Ia menduga bahwa Hana dan Yuda sedang berada di area dapur, mungkin makan, dan tak menyadari kedatangan kami. Jadi, sembari menunggu pemeriksaan Dirga, aku berusaha membuka jendela dari luar yang tampaknya mustahil untuk dilakukan.

Sarung tanganku cukup licin, jadi aku membukanya. Namun, bukan berarti usahaku itu berjalan sempurna. Sekarang, kedua tanganku yang terus tergelincir ketika karena berusaha menarik kedua ujung bawah jendela. Galih yang kuyakin semakin kedinginan terus memperhatikan seluruh usahaku yang sia-sia. Namun, semua itu tak berlangsung lama.

Dirga kembali dengan tergesa-gesa, tanpa menyapa, tanpa memberitahu apa yang ia lihat di belakang sana. Lelaki itu langsung menyuruhku untuk menyingkir, membuatku spontan mendorong tubuh menjauhi jendela ketika Dirga mengambil ancang-ancang.

Otakku tak cukup cepat untuk memproses skema kejadian secara detail. Yang aku tahu, Dirga berlari, mendorong salah satu bahunya ke depan, dan pecahan kaca langsung berserakan. Sebagian besar kaca yang jatuh di atas lantai membuat bunyi khas yang memekakkan telinga. Namun, Dirga tak terganggu akan hal itu. Ia langsung bangkit, kemudian lari menuju lorong.

Aku berdiri, mengintip, dan yakin bahwa Dirga berlari menuju dapur dengan tak adanya pintu yang terbuka di dalam sana. Seketika, langsung kutarik tangan Galih, mengajaknya untuk masuk tanpa bertanya-tanya. Satu-satunya kalimat yang keluar dari mulutku adalah untuk berhati-hati dengan pecahan kaca, padahal aku tahu kalau Galih mengenakan sepatu bersol tebal.

Aku langsung berjalan melintasi lorong, menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi sampai-sampai Dirga bertindak gegabah seperti itu.

Pertanyaan itu terjawab, bahkan sebelum aku masuk ke area dapur.

Aku bisa melihat tubuh Hana di sana, berbaring dengan kolam darah di bawah tubuhnya, banyak dan tak main-main. Di saat yang bersamaan, bisa kulihat Dirga tengah berjongkok membelakangiku. Tangannya sibuk bergerak yang entah sedang melakukan apa, aku tidak tahu karena tak dapat melihatnya. Kulepaskan tangan Galih, kemudian mengayunkan jari telunjukku sebanyak dua kali, memintanya untuk diam di tempat yang entah Galih terima dengan baik atau tidak. Namun, kurasa karena aku melepaskan tangannya, Galih tak bergerak ketika aku terus maju ke depan, mencoba mengetahui apa yang terjadi.

Dirga tengah menggenggam Yuda yang tak bergerak sama sekali, mengangkat tangan kecil itu berkali-kali hanya untuk membiarkannya terjatuh. Beberapa kali ia usapkan telapak tangan pada dada kecil Yuda, tetapi anak itu tak juga memberikan perlawanan.

Darah masih mengucur dari perut kecilnya.

Bukan sebuah pemandangan yang baik, bukan sebuah adegan yang terlintas di dalam pikiranku, bukan sebuah cerita menyenangkan yang disertai oleh raungan Dirga, berusaha membangkitkan kembali kesadaran anaknya.

Mereka berdua ada di sana, berbaring dalam genangan darah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top