16. Malam Gelap
Aku memutuskan untuk tetap tinggal.
Benar, kau tak salah mendengar. Aku memang memutuskan untuk tetap tinggal, menerima tawaran laki-laki itu untuk bertahan dari udara dingin di luar sana yang siap menyerang siapapun kapan saja. Namun, tentu bukan tanpa syarat yang harus kupenuhi.
Tidak mungkin aku bertindak tidak sopan, memerintah laki-laki itu untuk pergi, tinggal di kamar lain, sementara aku dan Galih mendapatkan ruangan khusus dengan cahaya terang dan bisa kabur kapan saja. Jadi, aku berencana untuk tidak tidur semalaman. Laki-laki itu menawarkan diri untuk menemani malamku, yang langsung kusetujui tanpa berpikir panjang.
Setidaknya, aku bisa mengawasinya di ruangan yang sama. Lagipula, kurasa aku dan laki-laki itu akan memiliki banyak bahan pembicaraan, terutama mengenai Erik. Jika kukatakan tak tertarik untuk membicarakan hal itu, maka aku sedang berbohong.
Mataku yang sebelumnya sayu kini berubah menjadi cerah, merana hingga ke mana-mana. Mungkin, karena aku harus selalu waspada, tidak tahu apa yang akan laki-laki itu lakukan seandainya aku jatuh tertidur.
Jangan salahkan aku. Dia sudah menghantam kepalaku dengan balok kayu. Kenapa aku tak boleh tak memercayainya seratus persen? Apalagi di dunia seperti ini.
Galih sempat bangun–akhirnya–dan menanyakan di mana ia berada sekarang. Laki-laki itu mengambilkan sepiring makanan untuk Galih lahap sebelum ia tidur kembali. Rasa laparnya kurasa tidak berkurang sama sekali, melihat bagaimana anak itu bisa melahap habis seluruh makanan yang dihidangkan, walaupun ia sedang berada dalam kondisi sakit.
Anak-anak biasanya susah makan ketika sakit, kan?
Ketika Galih selesai makan, percakapan intens yang kulakukan dengan laki-laki itu dimulai. Namanya Ade, bekerja di bagian logistik sebuah perusahaan, yang kemudian tak kumengerti, kenapa aku dan dia harus membicarakan pekerjaan, padahal dunia kami yang lama sudah tak ada lagi sekarang–mungkin untuk waktu yang cukup lama.
Oh, ya. Bukan menjadi bagian tukang angkut seperti staf logistik kebanyakan kepanitiaan mahasiswa, tentu saja. Setidaknya itu yang dikatakan Ade.
Namun, masalah pekerjaan membuat pembicaraan kami langsung terarah. Tentu, apalagi kalau bukan tentang Erik? Lagipula, manusia yang satu itu juga kan, yang sebenarnya membuat suatu hubungan, sehingga aku dan Ade–setidaknya sampai saat ini–tidak berbaku hantam?
"Kami tinggal berenam. Erik dan kedua orang tuanya, aku dan kedua anakku. Kami bertahan, mempertahankan keadaan, sampai ketiga perampok itu mengambil semua barang-barang kami." Ade mendengus, kemudian memperhatikan api lilin sejenak sebelum kembali melanjutkan ceritanya. "Aku sengaja membiarkan mereka mengambilnya, tak ingin apa-apa terjadi anakku, tetapi orang tua Erik ...."
"Erik bilang dua orang dari kalian meninggal. Apa dua orang yang ia maksud itu kedua orang tuanya?"
"Erik menceritakan itu?"
Aku mengangguk. "Aku tidak tahu apakah cerita itu benar atau tidak."
"Cerita itu memang benar-benar terjadi." Ade menjelaskan, meyakinkanku bahwa kedua cerita yang ia dan Erik berikan bisa menjadi satu kesatuan. "Orang tua Erik bersikeras kalau kita harus melawannya. Mereka sudah tua, mungkin pikirannya kolot, mungkin mereka masih terjebak pada dunia di mana kita bisa melawan tanpa rasa takut. Dunia ini berbeda, orang-orang akan melakukan apa saja untuk bertahan hidup."
"Jadi para perampok itu membunuh orang tua Erik?"
Ade mengangguk. "Dan menjadi alasan Erik berpikiran sinting."
Aku mengernyitkan dahi. "Bagaimana mungkin?"
"Semua ini adalah salah pemerintah, katanya." Ade meneguk ludah, kemudian menengadahkan kepalanya, seolah tertegun dengan langit kamar yang gelap. "Kalau tempat penampungan itu bekerja, seharusnya kami tidak akan luntang-lantung seorang diri di tengah kota. Orang-orang, satu-persatu, mati begitu saja karena mengharapkan bantuan. Yang terjadi malah sebaliknya, orang-orang mati di sana."
Ade menendangkan pandangannya, melihat ke arahku setelah puas dengan langit-langit kamar yang gelap. Matanya memicing dengan bola mata gelap yang dihiasi oleh kerucutan alis. serbuan napas ditahannya, kemudian ia berkata, "Aku akan memakan mayat para tentara, perawat, relawan, dan semua orang yang bertanggung jawab atas keberlangsungan tempat ini. Itu katanya."
Vokalnya terdengar lebih dalam, dan aku yakin hal itu Ade lakukan karena ia ingin memperagakan ulang apa yang temannya itu katakan. Cukup membuatku bergidik ngeri, apalagi diselimuti oleh malam gelap yang akan terasa panjang–pastinya.
Aku berusaha untuk tenang. "Kenapa?" tanyaku, selanjutnya, yang membuat Ade kembali mengeluarkan mimik wajah normalnya.
"Erik tak pernah memberitahukan alasannya," balasnya. "Aku rasa ia ingin menyalahkan mereka, tetapi tak dapat berbuat apa-apa."
"Apa yang kau lakukan?"
"Aku menganggapnya sebagai candaan." Ade memangku dadanya. "Sampai ia membawa salah satu mayat ke tempat kami bermalam, membuat anak-anakku takut. Di saat itu aku memutuskan untuk pergi."
"Dan Erik benar-benar memakan mayat itu?"
"Kalau mendengar ceritamu, aku yakin benar kalau Erik memang melakukannya."
Baiklah, aku tidak menyukai cerita itu. Santapan yang sebelumnya Ade serahkan padaku seolah-olah bergejolak di dalam perut, kembali membuat asam lambungku naik, hampir kembali kumuntahkan–sudah berada di ujung tenggorokan.
"Walaupun begitu, sebenarnya dia adalah orang baik."
"Dan mengundang orang-orang, kemudian mengajak mereka menyantap mayat bersamanya? Kurasa aku tak akan menganggap hal itu sebagai kebaikan. Orang-orang berubah di dunia ini. Mungkin temanmu itu baik di dunia sebelumnya, tetapi di dunia ini? Kurasa tidak."
"Aku hanya ingin berpikiran seperti itu. Seberapa sintingnya dia sekarang, dia pernah menjadi temanku." Ade kembali menurunkan kedua lengannya. "Kau sendiri, sudah berapa lama kau bertahan di luar sana?"
Berapa lama? Aku tidak tahu. Lagipula, di luar yang ia maksud itu apakah benar-benar di luar secara harfiah, atau sekadar menanyakan jam terbangku mengeksplorasi dunia luar yang sudah tak bersahabat itu?
Namun, sama saja, sebenarnya. Tidak peduli dengan terjemahan pertanyaannya secara detail, tetap saja jawabannya adalah aku tidak tahu, kan?
"Aku tidak yakin," celetukku, kemudian merekatkan kedua lutut, melingkarinya dengan tautan tangan untuk mempertahankan suhu tubuhku. "Yang pasti sudah sangat lama."
"Tak pernah menetap di suatu tempat untuk beberapa lama?"
Pertanyaan yang sebenarnya tak begitu ingin kujawab. Namun, toh, Ade juga tak tahu lokasi pasti rumahku di mana, kan? Lagipula sudah tak ada apa-apa lagi di sana. Untuk apa dia ke sana, kalau memang dia sengaja mencari tahu lokasi rumahku?
"Beberapa kali, tetapi tak bertahan lama," beritahuku. "Kau sendiri? Sudah berapa lama kau tinggal di rumah ini? Semenjak pergi meninggalkan Erik?"
"Kurang lebih," katanya, penuh dengan ketakyakinan. "Aku tak sengaja menemukan tempat ini, mendapatkan beberapa rumah dengan pintu yang tak terkunci dan langsung mengambil tempat ini untuk tinggal sementara sebelum pergi lagi."
"Dari mana kau mendapatkan semua persediaan makanan?"
Pertanyaan sederhana, singkat, dan mungkin terdengar remeh untuk sebagian besar orang. Namun, pertanyaan itu seolah menjadi batas hidup dan mati bagiku. Krusial, patut dipertanyakan, dan kalau aku menemukan setidaknya satu hal aneh terkait caranya mendapatkan persediaan makanan, maka langkah terbaik selanjutnya adalah pergi dari sini.
"Berburu, tentu saja. Apalagi?"
"Berburu apa?"
"Tikus."
Kuangkat sebelah alis. Peringatan dalam diriku tiba-tiba menyala. Sebuah jawaban yang termasuk ke dalam harus kuwaspadai.
Aku tidak beranjak, langsung, berdiri. Kalau memang ternyata Ade adalah Erik kedua seperti apa yang kubayangkan, maka gerakan tiba-tiba pasti akan membuatnya mawas diri, dan mungkin membuatnya sadar bahwa pernyataannya itu membuatku ragu akan kredibilitasnya sebagai orang baik.
Sebaliknya, aku hanya memberikan pertanyaan singkat. "Bukankah para perampok itu mencuri semua barang kalian, termasuk perangkap tikus? Bagaimana caramu menangkapnya?"
Namun, Ade lebih tenang dari air laut yang tak bergelombang. "Aku mengambilnya kembali," katanya. Tatapan dinginnya memenuhi ruangan, seolah mencoba meyakinkanku untuk tak main-main dengannya.
"Jadi kau meninggalkan Erik begitu saja dengan membawa perangkap itu?"
"Tidak. Aku mengambilnya dari para pencuri itu setelah mereka mengambilnya," katanya lagi.
Aku semakin penasaran. "Jadi kau menemukan para pencuri itu?"
Ade mengganti silanya, membiarkanku duduk dalam keheningan ketika ia lancarkan aliran darah salah satu kaki yang sedari tadi dibebani oleh berat tubuhnya. Ia mendengus sambil mengerjapkan matanya, tepat sebelum berkata, "Aku ingin membicarakan masalah orang baik yang kau katakan sebelumnya."
"Apa?"
"Sudah berapa banyak orang yang kau bunuh, Man?"
Aku terperanjat. Sungguh, bukan sebuah pertanyaan yang kuduga akan keluar di tengah percakapan santai kami berdua. Mataku terbelalak, mungkin juga disadari oleh Ade. Dan mendengar bagaimana caranya berbicara, maka aku bisa berasumsi bahwa Ade memiliki pengalaman itu: mengambil nyawa seseorang.
Bagaimana denganku? Belum, aku belum pernah melakukannya. Memikirkannya? Tentu saja pernah. Tak hanya di dunia ini, bahkan juga di dunia sebelumnya, apalagi membayangkanku mengambil nyawa para pengendara sialan, yang ugal-ugalan, yang tidak mematuhi rambu berlalu-lintas, mereka, orang-orang yang membahayakan nyawaku di perjalanan, hingga pernah pada suatu saat tubuhku terjatuh dari motor, masuk ke dalam kolong truk yang sedang berjalan, yang untungnya saja tak sampai berhasil melindas tubuhku ini.
Namun, hanya itu. Hanya membayangkannya, tidak benar-benar beraksi begitu saja mengambil nyawa seseorang.
Gila. Jadi, apakah Ade ini sebenarnya tak kalah sinting dibandingkan dengan Erik?
Aku menggelengkan kepala. "Tidak pernah," kataku. Tak lebih dari itu karena adrenalin dalam tubuhku masih berpacu, membuat mulutku kaku dan tak dapat memberikan komentar lebih lanjut. "Kau ... pernah melakukannya?"
"Satu kali." Ade tidak menyertakan jawabannya dengan tawa sama sekali. Dia serius, seserius ujian akhir yang bisa menentukan nilai akhirmu. "Mungkin tidak akan jadi yang terakhir."
Aku menelan ludah, merasakan kelenjar itu bergerak bergerak perlahan melalui tenggorokanku.
Tak pernah, seumur hidupku, menemukan manusia yang mampu membicarakan masalah nyawa seseorang seringan Ade. Tak ada sama sekali rasa ragu untuknya memberitahu, bahwa ia memang berencana untuk melancarkan aksinya suatu saat nanti, memberitahukan bahwa tidak akan jadi yang terakhir itu memang benar sudah direncanakannya.
Sekali lagi, aku bergidik ngeri.
Aku harap, setelah dia berbicara seperti itu, ia akan melanjutkannya dengan tawa kecil yang tak terbendung, menyadarkanku bahwa laki-laki itu hanya membuat lelucon yang tak lucu sama sekali–di masa seperti ini. Namun, setelah menunggu beberapa lama, bisa kupastikan bahwa Ade memang tak main-main dengan perkataannya.
Bahkan, ia melanjutkan ucapannya. "Bukan kau. Tenang saja," katanya, seolah tahu bahwa aku haru tahu kalau dia tak mendaftarkanku ke dalam daftar target pembunuhannya.
"Kenapa?" Aku bertanya, mengharapkan jawaban, tetapi Ade malah diam seribu bahasa.
Wajahnya bersungut kesal, tetapi hanya sementara, sampai digantikan oleh mata mimicking, alis menggantung, dan kerutan pipi yang membuat mulutnya cemberut tak bahagia. Punggungnya semakin membungkuk, dengan tarikan napas yang dibuatnya dalam-dalam.
Ade segera berdiri. "Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu," katanya, sembari menungguku untuk melakukan hal yang sama.
Aku bertanya, "Apa itu?"
"Kau akan mengerti kalau kau melihatnya langsung."
Aku masih menunggu jawabannya, kalau-kalau memang Ade akan melanjutkannya. Namun, percakapan itu hanya diakhiri oleh tatapan empat mata yang kami lakukan, membuat leherku, yang menahan beban dongak kepala, merasa sedikit lelah.
Aku bangun. Tepat setelah itu, Ade berjalan. Sekali lagi aku bertanya, ke mana dia akan membawaku. Namun, laki-laki itu, sekali lagi, tak menjawabnya.
Yang aku tahu, Ade memasuki salah satu ruangan, mengambil pemantik api dan sebuah lilin, yang ia bilang memang diperlukan untuk memperlihatkan sesuatu yang ingin diperlihatkan–katanya. Namun, ruangan itu bukan tempat tujuan terakhir Ade. Sebab, setelah mengambil perlengkapan yang ia butuhkan, Ade kembali berjalan, melintasi berbagai ruangan semakin ke dalam sana, hingga akhirnya kami sampai pada sebuah ruangan yang berada jauh di belakang sana.
Ade berbalik melihatku, tetapi aku tidak takut karena saat ini kedua tangannya sibuk memegang lilin dan pemantik api. Aku tak perlu khawatir kalau tiba-tiba ia menghantamku dengan balok kayu lagi.
Apa yang ingin Ade perlihatkan? Aku belum mengetahuinya. Sejauh ini, cahaya lilin hanya menerangi wajahnya, membuat bayangan hitam jauh di sana yang membuatku tak dapat melihat apa-apa. Namun, begitu Ade mengembalikan cahaya itu, menyorot seisi ruangan hingga dapat kulihat ornamen dan furnitur khas rumah Belanda, yang umumnya terbuat dari kayu jati kuat dan mampu bertahan hingga ratusan tahun, aku bisa melihat dua mayat bersandar di salah satu dinding ruangan.
Ade berjalan mendekat. Sontak, aku langsung bertanya padanya, "Siapa mereka?"
"Anak-anakku."
Aku terperanjat, dan secara tak sadar kedua bola mataku hampir melompat keluar.
Dari tadi Ade memang membicarakan tentang kedua anaknya, tetapi aku pikir mereka sedang tidur di ruangan lain, bukannya bersandar kaku tanpa denyut nadi seperti yang retinaku tangkap sekarang ini.
Ade berjongkok, meletakkan lilin tepat di hadapan kedua mayat itu, yang sekarang dapat kulihat dengan jelas oleh kedua mataku sendiri.
Mereka anak kembar. Wajah dan perawakannya yang membeku terlihat serupa, saling bersandar dan mempertahankan posisi tidurnya, seolah-olah kepala mereka bersatu padu sejak lahir. Pakaian yang dikenakannya sama: jaket biru dengan celana jeans panjang yang bisa kupastikan bukan pakaian terbaik yang dapat kau kenakan di dunia seperti ini.
Kedua tangan mereka saling bertautan. Kedua mata mereka tertutup dengan damai. Benar-benar seperti sepasang manusia yang melakukan segala hal secara bersamaan, bahkan setelah kematian menjemput mereka.
Ade tidak mengatakan apa-apa, tetapi dapat kuperhatikan kepalan tangannya yang semakin menjadi. Kedua bibirnya dilipat, sekeras mungkin, seolah sedang menahan amarah–yang sebenarnya mungkin saja sedang ia lakukan sekarang ini.
Laki-laki itu mempertahankan posisinya beberapa saat. Cukup lama, sebenarnya, membuatku menahan keheningan karena tak ingin sembarangan bertanya apa yang terjadi pada mereka.
Ada banyak spekulasi yang dapat kubuat, tetapi semuanya tak lebih dari: sakit, bunuh diri, atau seseorang datang mengambil nyawa mereka berdua yang langsung kuhapuskan dalam daftar kemungkinan.
Kemudian, Ade berdiri seraya bertanya, "Kau tahu badai berkepanjangan yang datang beberapa hari lalu?"
Aku mengangguk. Aku rasa badai yang ia maksud adalah badai yang datang tanpa henti selama enam hari, terus menerus. Memang, salah satu badai terpanjang yang pernah kualami di dunia ini, yang jelas memberikan kesan luar biasa di dalam otak siapa saja yang mengalaminya, tak mungkin mereka tak mengingatnya.
"Sama sepertimu. Aku meninggalkan mereka berdua untuk mencari makanan. Badai datang ketika aku ada di luar sana. Aku tak dapat melakukan apa-apa selain menunggu."
Aku mengerti perasaannya. Khawatir yang bercampur aduk dengan rasa takut seandainya kutembus badai itu bukanlah main-main.
"Aku mencari tempat berlindung. Beberapa saat setelahnya, seseorang datang, juga untuk mencari tempat berlindung, tetapi aku sadar kalau sebelumnya kami telah bertemu."
"Salah satu kawanan perampok itu." Aku menerka, menjadi orang paling sok tahu dalam cerita yang bahkan belum sempat ia selesaikan.
Ade memalingkan wajahnya kembali, melihat ke arahku, membuat salah satu bagian kepalanya yang tak terkena cahaya lilin segelap malam tanpa bulan. Api yang berkobar membuatnya terlihat seperti setan yang muncul dari kegelapan. "Benar," katanya, mengonfirmasi. "Dia mungkin tidak sadar karena sudah menyerang banyak kelompok, tetapi aku ingat jelas wajah mereka." Ade kembali mengepalkan lengannya. "Aku tak dapat melupakannya."
"Dan kau ... membunuhnya?"
"Aku tidak berniat melakukannya, tetapi hal itu terjadi," balasnya. "Aku bersembunyi di dalam ruangan, menunggunya untuk datang. Ketika ia masuk, aku mencekik lehernya. Aku hanya ingin meluapkan emosiku, tidak sampai benar-benar membunuhnya, tetapi tindakanku berlebihan." Ade mengangkat kedua tangannya, membolak-balikkannya, seolah melihat lumuran darah yang ada di seluruh telapak dan punggung tangannya. "Dia mati di tanganku."
Aku tak dapat berkomentar. Aku tak pernah mengalami hal yang sama. Tak pernah sampai ada penyerangan, hanya pencurian biasa: pengalamanku di sekolah itu. Bahkan, mungkin aku sedikit beruntung, karena setidaknya si pencuri itu masih menyisakan setengah barang kepunyaan kami, membuatku dan Galih mampu bertahan beberapa saat sehingga tak mati kedinginan.
Aku tidak ingin menjadi salah satu orang yang sok tahu, memberikan nasehat pada manusia yang sedang dilanda kesedihan, padahal aku sendiri tak pernah mengalami hal yang sama.
Memberitahunya bahwa semuanya akan baik-baik saja? Omong kosong. Mengatakan bahwa semua ini adalah takdir, dan tidak seharusnya ia bertindak selayaknya orang sinting yang seenaknya mengambil nyawa seseorang? Oh, apa kau bisa mengatakan hal yang sama pada dirimu, seandainya kejadian itu menimpa hidupmu?
"Aku terus menunggu hingga badai berhenti, mengambil barang bawaannya, kemudian kembali ke rumah ini, hanya untuk melihat kedua anakku sudah dalam keadaan seperti ini."
Aku bisa mendengarkan rintihan di antara nada suaranya. Ade berusaha membendung vokal tinggi, berusaha menahan tangis agar tak keluar dari kedua bola matanya. Laki-laki itu mengerjapkan matanya beberapa kali, mulai sesenggukan, dan cukup menjelaskan bahwa ceritanya bukanlah buaian belaka, apalagi dengan bukti jelas yang sekarang ada di hadapanku.
"Semuanya terlambat," celetuknya, "Aku tidak tahu apa yang terjadi pada mereka. Mungkin mereka pikir aku telah mati di luar sana, tidak akan kembali, dan mereka tidak memiliki tujuan hidup di dunia seperti ini," lanjutnya, "Dan kalau para perampok itu tidak menghancurkan hidup kami, aku pasti masih bisa mendengar mereka berbicara."
Suara parau Ade menandakan akhir sementara percakapan kami.
Tak dapat kupungkiri, pemikiranku langsung berlanjut ke arah Dirga, si laki-laki yang kehilangan keluarganya hanya karena masalah sepele: ikut bersamaku, memastikan bahwa Galih memang benar-benar ada, bukan sekadar imajinasi kosong yang tak dapat kutuangkan ke atas secarik kertas.
Aku melihatnya, langsung, bagaimana satu pilihan kecil mampu membuat dinding tebal batas antara hidup dan mati, melihat beragam reaksi yang keluar dari masing-masing orang.
Aku yakin, Ade tidak dapat menerima kematian kedua anaknya begitu saja. Namun, aku tak ingin bertanya apakah ia baik-baik saja. Dahulu, rasa empatiku, yang pada awalnya kugunakan hanya untuk berbasa-basi, ditepis oleh orang-orang sengsara, yang kini kusadari memang akan terdengar bodoh oleh mereka, setelah aku tahu bahwa di dunia ini orang-orang tak lagi sama. Jadi, aku tak ingin mengulangi hal yang sama.
Jadi, aku bertanya, "Kenapa kau masih bertahan di tempat ini?"
Dirga langsung pergi tanpa pamit, menghilang entah ke mana, dan tak pernah kembali selama aku menunggunya. Aku tak tahu alasannya untuk pergi, dan tak akan pernah tahu karena dirinya terlanjur menghilang sebelum sempat kutanyakan akan ke mana ia pergi. Setidaknya, jika Ade mau menjawab pertanyaanku, aku bisa membuat invers dari pernyataannya, mengasumikan bahwa hal sebaliknya terjadi pada Dirga.
Kenapa aku terus-menerus memikirkan Dirga? Aku juga tidak yakin, tetapi kurasa karena Dirga adalah orang pertama–yang masih hidup–yang kutemui, yang–semoga–masih hidup sampai sekarang, dengan tingkat kewarasan otak yang masih memenuhi standar manusia.
Sekali lagi, Ade mengerjapkan matanya. Namun, aku bisa melihatnya sudah lebih tenang. Kurasa bayangan dalam otaknya, mengenai pembunuhan itu–mungkin, sudah sengaja ia hentikan, sadar bahwa nada suaranya tak terdengar lucu di telinga orang lain.
"Aku ingin balas dendam," katanya. Tanpa ragu, tak menahan sedikitpun kata-katanya.
"Pada para perampok itu?"
"Benar."
Apa yang akan kau lakukan jika lawan bicaramu, tanpa adanya rasa keraguan, mengatakan bahwa ia ingin membunuh seseorang karena kesengsaraan yang disebabkan oleh para perampok itu? Melarangnya begitu saja? Mempersilakannya? Atau malah menawarkan diri untuk memberikan bantuan?
Benar, tiga pilihan itu berseteru di dalam lautan pemikiranku. Aku tahu, terdengar gila, bahkan mungkin sama sintingnya seperti Erik yang bilang akan memakan orang-orang yang bertanggung jawab akan tempat penampungan itu. Namun, pernahkah kau memikirkan kerasionalan alasan seseorang melakukan tindakan kejahatan?
Aku tidak berbicara mengenai seseorang yang membunuh demi kesenangan. Aku berbicara mengenai seseorang yang kehilangan anggota keluarganya, tahu alasannya, di dunia tanpa aturan seperti ini. Tidak mungkin polisi akan menangkapmu kalau kau membunuh seseorang, kan?
Dalam hatiku, masih terbesit larangan yang mungkin membuatku menjadi seorang hipokrit sialan yang senang menjilat ludahnya sendiri. Kurasa belum pernah benar-benar kulakukan, tetapi pemikiran untuk merebut persediaan makanan orang lain, contohnya saja Erik, pernah terlintas di dalam benakku, dan aku tak tahu sampai berapa lama pemikiran itu akan bertahan sebatas di otak saja, tak akan benar-benar kulakukan.
Namun, seolah tahu dengan apa yang sedang kupikirkan, Ade bertanya, "Apa kau ingin membantuku?"
Aku tahu, membantu yang ia maksud berjalan ke arah mana. Namun, aku bertanya balik, sekadar memastikan, "Membantu apa?"
"Mencari mereka, mengambil nyawa mereka."
Tepat seperti dugaanku.
"Kita belum mengenal satu sama lain. Aku tidak ingin terlibat masalah serius seperti itu."
Seringai Ade keluar, menyertai jawabanku yang mungkin tak memuaskan perasaannya. Ia mendengus pelan, menertawakan sesuatu. "Kau benar, kau benar. Maafkan aku," katanya. Kemudian, ia menahan vokal untuk tak keluar dari kerongkongannya selama beberapa detik, membanjiri kesunyian malam dengan suaranya setelah itu. "Kau mau tahu bagaimana aku menemukan adikmu?"
Aku tak menjawab pertanyaannya, tetapi laki-laki itu terus melanjutkan ceritanya.
"Ketika aku pulang berburu, aku melihat tiga buah jalur jejak kaki. Dua berasal dari arah yang sama, dan satu lagi menuju arah yang lain. Aku langsung berpikir dua orang sempat bersembunyi di sana, dan salah satu dari mereka pergi entah untuk apa. Satu-satunya hal yang kupikirkan adalah akhirnya mereka datang juga. Para pencuri itu. Kalau salah satu dari mereka pergi, artinya aku bisa menghabisi mereka satu persatu."
Ade menarik napas dalam-dalam, sedangkan aku masih tercengang mendengar ceritanya.
"Aku malah menemukan adikmu yang tak sadarkan diri. Tubuhnya panas, persis seperti yang terjadi pada kedua anakku sebelum aku terpaksa meninggalkan mereka."
Aku tak tahu apakah dia berusaha menarik rasa simpatiku dengan ceritanya yang terakhir. Namun, pengetahuannya mengenai orang lain yang pergi itu berhasil mengusik rasa kesalku.
Dia tahu kalau aku sedang pergi, dan dia membawa adikku begitu saja?
Namun, tidak mungkin aku mau terdengar seperti orang gila yang marah-marah. Galih aman, itu yang terpenting. Kalau memang ingin kupertanyakan motivasinya, kenapa ia membawa Galih pergi, padahal tahu bahwa ada orang lain yang sebenarnya bersamanya, tetapi sedang pergi entah ke mana, maka haru kutanyakan selembut mungkin.
Sekarang aku tahu kenapa Galih tak melakukan perlawanan seperti apa yang kuajarkan. Dan jika memang cerita itu benar adanya, maka bisa kupastikan bahwa Ade memang tak mengada-ada sama sekali. Bahkan, mungkin termasuk nafsunya untuk ... katakan saja bersilaturahmi dengan para pencuri yang sempat mengunjunginya.
"Kenapa kau membawa adikku ke sini?" Aku bertanya pada Ade. Penasaran, sekaligus ingin mencari tahu pasti motivasi di balik penyelamatan yang dilakukannya, walaupun aku masih merasa sedikit jengkel, karena seolah-olah aku tak dapat menjaga adik sendiri.
"Aku menunggumu, tetapi badai datang," balasnya, "Kalau memang anak itu bisa kuselamatkan, aku akan menyelamatkannya. Jadi, ketika badai itu berhenti, aku bergegas membawanya kemari."
"Ya, dan kau berhasil membuat jantungku hampir copot." Aku memberitahu Ade. Sama sepertinya, kupasang vokal datar dengan jangkauan oktaf yang tak begitu besar, memberitahunya bahwa tindakannya itu tak lucu, benar-benar tak lucu sama sekali. "Bukan berarti aku tak berterima kasih, tetapi aku pikir aku kehilangan Galih."
"Setidaknya anak itu masih hidup," balasnya. "Kau sudah menikah?"
"Belum."
"Mungkin kau tak akan mengerti seberapa keras hantaman realita menghujam tubuhku, ketika aku tahu bahwa sekarang aku tinggal seorang diri. Tak ada satu pun dari keluargaku yang selamat."
Aku tidak tahu. Memang, aku tidak tahu akan perasaan itu, dan mungkin tak akan pernah bisa merasakannya.
Aku tahu, seandainya salju ini memang tak akan pernah berakhir, atau mungkin akan berakhir tetapi dalam waktu yang sangat lama, mengenai perasaan sedih yang membara, mengetahui bahwa Galih–mungkin–tak akan bisa kembali hidup di dunianya yang semula. Rasa bingung bagaimana cara menjelaskan situasi yang bahkan tak kumengerti, yang untungnya tak perlu kuberikan banyak omong kosong padanya, karena tampaknya Galih sendiri tahu situasinya tanpa perlu kujelaskan.
Aku tak akan menyangkalnya, berpura-pura menjadi orang bodoh dan menepis seluruh penghakiman yang orang lain berikan padaku. Karena, toh, memang kenyataannya aku tak tahu perasaannya, mungkin tak akan pernah tahu.
Aku hanya bisa belajar dari pengalaman orang lain, tetapi aku tak memiliki hak untuk bertindak selayaknya orang yang paling tahu segalanya. Mengunjungi suatu kota di luar negeri tentu akan memberikan kesan yang berbeda daripada hanya melihatnya di internet. Setidaknya, itulah analogi yang bisa kukatakan mirip dengan situasi yang ada.
Jadi, aku menerimanya begitu saja. Masalahnya, bagaimana caraku menyiasati keberadaannya?
Aku merasa jadi orang bodoh. Awalnya, aku hanya berniat untuk tinggal, menunggu sampai Ade tidur, kemudian membawa Galih pergi karena aku tak ingin menaruh kepercayaan penuh pada orang asing.
Sekarang? Keadaan berbalik.
Aku tak tahu apakah terkaanku benar adanya atau tidak. Namun, dia memberikan kesan lain dari orang-orang yang pernah kutemui sebelumnya. Kalau orang-orang brengsek di luar sana sengaja menyelimuti hati jahatnya dengan senyuman ramah yang bisa memperdaya siapa saja, Ade adalah manusia yang tak ragu memberitahukan kebusukan hatinya pada orang lain, tetapi tak menutupi apapun untuk tak orang lain dengar.
Aku tak tahu mana yang lebih buruk: bertemu dengan orang baik yang siap menerkammu diam-diam, atau bertemu dengan orang yang memberitahukan keseluruhan sifatnya, tetapi bahkan ia tak mempermasalahkan pilihanku ketika aku tak ingin membantunya.
Dia terang-terangan , meminta bantuanku, berbanding terbalik dengan Erik yang sampai sekarang tak kuketahui tujuannya mengundangku dan Galih untuk mampir ke tempatnya.
Kalau aku terus mempertanyakan moral manusia, dunia ini tampaknya tak cocok bagiku. Bukan hanya tentang cara bertahan hidup, melainkan bagaimana cara kami berinteraksi sebagai manusia.
Cerita itu mengakhiri malam kami. Bukan karena tak adanya bahan pembicaraan untuk kami perbincangkan, melainkan karena buntunya tujuan bersama kami untuk melewati malam gelap. Atmosfer yang berhasil menyayat hati berhasil memecahkan suasana gembira yang sedari tadi kami bangun, meskipun masih ada rasa tak percaya dariku padanya.
Lucunya, sekarang aku mulai tak tahu menahu. Ade menawarkanku untuk tinggal, yang tentu merupakan suatu kesempatan besar agar tak perlu berjalan malam-malam, melawan hawa dingin yang terus menusuk tulang, tidak tahu kapan perjalanan akan berakhir. Sebagai gantinya, artinya aku akan menjadi orang tolol yang senang menjilat ludah sendiri, mengatakan bahwa aku tak boleh memercayai orang asing ketika seenaknya memeras tawaran seseorang begitu saja.
Namun, coba kau pikirkan. Seberapa penting harga diri di dunia ini? Bahkan tidak banyak orang yang berhasil bertahan untuk kupamerkan harga diriku itu. Kalau memang aku haru mengkhianati diri sendiri untuk bertahan hidup, kenapa, tidak, kan?
Lagipula ini semua juga untuk Galih. Anak itu masih sakit, mau berjalan jauh saja sudah untung, apalagi tak ada keluhan berarti yang mampu membuat telingaku panas, walaupun berdasarkan pengakuan Ade, Galih sampai tak sadarkan diri–mungkin karena kelelahan.
Setidaknya, aku bisa menyetujui tawaran Ade sampai Galih sembuh benar dan siap untuk kembali mengeksplorasi dunia di luar sana.
Atau ... mungkin aku bisa tinggal sementara sampai keadaan kembali memaksaku untuk pergi. Entahlah. Aku sudah muak melakukan perjalanan tanpa arah.
Apakah tempat ini akan menjadi destinasi terakhirku?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top