10. Perjalanan

Perjalanan yang kulakukan tak sesuai rencana, tetapi bukan dalam konteks buruk, atau setidaknya tidak dalam konteks buruk sampai saat ini. Dingin masih menyelimuti, salju yang semakin menebal berhasil menahan mobilisasi, tetapi setidaknya seluruh kesialan itu terbayarkan oleh keberuntungan akan sisa-sisa kebutuhan yang ternyata masih berserakan.

Semakin menuju pusat kota, ke tempat di mana tempat penampungan itu ada, memang semakin wajar jika pasokan kebutuhan primer semakin banyak. Tidak banyak tempat yang kami kunjungi, tetapi aku dan Galih berhasil mengumpulkan satu tas penuh berisi makanan. Keberuntungan itu digandrungi dengan cuaca yang cukup bersahabat.

Salju tidak turun begitu lebat, tetapi matahari yang semakin menurun memaksa kami untuk mencari tempat berlindung. Sialnya, karena pemberhentian kami di beberapa tempat ternyata lebih lama dari seharusnya, kini aku dan Galih tengah terjebak di area kumuh perkotaan, tempat di mana bangunan-bangunan ilegal tak permanen dibangun oleh orang-orang sebagai tempat tinggal—atau setidaknya seperti itu ketika salju belum turun.

Sebenarnya, sengaja kupilih tempat ini untuk dilewati, daripada harus mengikuti jalan utama yang mengharuskanku memutar cukup jauh untuk sampai ke pusat kota. Namun, aku juga lupa kalau kemungkinan besar tak dapat kutemukan gedung-gedung tinggi, menjadikannya sebagai tempat beristirahat.

Kini, bangunan-bangunan tak permanen di tempat ini berubah menjadi reruntuhan, jatuh dan rusak karena tak dapat menahan beban salju yang terus menyerang benteng atas rumah mereka. Aku bisa melihat berbagai interior ruangan walaupun berada dari kejauhan, tertimbun dinginnya salju yang semakin lama semakin meninggi. Entah sudah berapa merk kompor mencuat dengan jelas di antara putih yang tak menyelaras.

Sama seperti perjalananku sebelumnya, tak kutemukan satu pun orang di luar sini. Namun, dugaanku bahwa orang-orang berbondong-bondong untuk mencari tempat perlindungan dan sengaja tak menampakkan dirinya kini terpotong oleh kenyataan Dirga yang mampu menguburkan anak istrinya di dalam tumpukan salju.

Maksudku ... coba saja kau ingat-ingat. Tempat macam apa yang bisa menampung semua orang, membuat mereka menghilang begitu saja dari peradaban ini? Mungkin orang-orang yang tak beruntung mati kedinginan, kelaparan, atau bahkan bunuh diri di dalam rumah. Namun, bagaimana dengan orang-orang yang ada di sekitar sini? Orang-orang yang tak beruntung yang hanya memiliki rumah tak permanen, menumpang di atas tanah pemerintah yang seharusnya tak mereka bangun? Tidak mungkin mereka semua lenyap begitu saja, kan?

Lalu, kalau kupikirkan entah sudah berapa lama salju ini melanda Indonesia, disertai oleh entah sudah berapa lama aku tak pergi ke luar, berhadapan dengan salju dingin di alam liar seperti ini, maka aman kusebutkan jika mereka, orang-orang yang menghilang itu, sebenarnya tertimbun oleh salju tebal yang terus turun.

Benar. Mungkin di bawah sini, tempatku sedang berjalan ini, terdapat tumpukan mayat, orang-orang malang, yang tak dapat berbuat apa-apa dengan amukan cuaca ekstrem yang datang secara tiba-tiba. Semua itu cukup logis dan rasional, tetapi aku tak mau menggali salju hanya untuk memastikan kebenaran hipotesisku. Lebih baik cerita itu menjadi dongeng daripada harus kupikirkan setiap saat bahwa di bawah pijakanku ini, setiap kali aku berjalan, ada satu dua mayat yang sedang kuinjak.

Indonesia mungkin berada pada iklim tropis, membuat perubahan suhu pada umumnya bergerak dengan jinak dalam rentang yang tidak begitu besar. Tentu, dengan pengecualian anomali seperti ini. Namun, perubahan mendadak membuat kami tak bisa beradaptasi dengan cepat.

Rumah kami tak dilengkapi oleh penghangat ruangan, apalagi cerobong asap yang tak akan berguna. Pakaian kami umumnya tak didesain untuk menghalau cuaca dingin yang ekstrem, tentu dengan pengecualian jaket-jaket tertentu yang sengaja dibuat untuk para pendaki gunung, menghalau suhu dingin dengan hampir sempurna, seperti yang Dirga berikan padaku ini. Boleh dibilang bahwa perubahan cuaca ini merupakan eksekusi mati langsung untuk sebagian besar orang, menyisakan segelintir manusia yang mencoba bertahan hidup.

Matahari tampaknya masih bersinar dua belas jam, atau mungkin lebih sebentar, aku tidak tahu jelas, tetapi tak cukup untuk membantu orang-orang, mereka semua, yang terlanjur mati kedinginan karena perubahan dalam sekejap.

Aku mengatakannya sekejap karena tahu, ketika kuamati sebagai bentuk keisengan, suhu udara turun secara eksponensial. Mungkin bukan sekejap dalam satu jentikan jari, tetapi tetap saja cepat dan mendadak.

Apakah suhu udara masih terus turun hingga saat ini? Aku tidak tahu. Yang pasti, semakin lama aku hidup, rasanya semakin kuperlukan lapis pakaian yang lebih banyak untukku beraktivitas di luar sini. Sekarang aku selalu menggunakan dua jaket tebal, mengorbankan kemampuan gerakan lincahku.

Kulakukan hal yang sama pada Galih, meski sebelumnya sempat kesulitan karena tak kunjung menemukan toko pakaian anak-anak sampai beberapa saat sebelum kami sampai di area kumuh—dulunya—ini. Untungnya, sekarang aku yakin anak ini lebih resisten terhadap suhu dingin daripada aku sendiri.

Padahal tubuhnya lebih kecil dariku.

Area kumuh ini cukup besar, atau setidaknya seperti itulah yang ada di dalam ingatanku, disertai oleh ratusan, mungkin ribuan, rumah yang membentang dan menyebar ke segala arah. Jalanan kecil yang memusingkan kini digantikan oleh hamparan salju yang luas. Bangunan-bangunan yang hampir rata dengan tanah, atau salju, terserah bagaimana kau memandangnya, berhasil membentangkan jangkauan pandangan yang lebih jauh.

Kiri dan kanan terus kuperhatikan, mencari setidaknya setitik bayangan hitam yang dapat kuduga sebagai bangunan kokoh untuk kami bersembunyi. Salju putih semakin lama berubah menjadi kelabu, bukan pertanda baik untuk kami yang sedang berjalan-jalan di area terbuka. Malam akan segera datang.

Embusan angin semakin mengamuk hingga harus kutarik salah satu bagian jaketku, menahannya agar tak menarikku jatuh ke belakang. Di saat yang bersamaan, Galih mengayunkan lengannya sebelum berhenti tepat di posisi vertikal terhadap tubuhnya, "A, di depan situ kayaknya ada gedung."

Kupicingkan kedua mataku, melihat ke arah yang Galih tunjuk. Tak kudapatkan apa-apa, sehingga aku kembali menanyakannya pada Galih. Anak itu bersikeras melihat sesuatu yang tak dapat kulihat kasat mata. Setidaknya, sampai kami berjalan lebih jauh, mendekati arah yang Galih tunjuk.

Benar, ada bayangan hitam di ujung sana. Aku lupa kalau sebenarnya aku memiliki rabun jauh. Hampir tak kurasakan karena melesetnya penglihatanku tidak begitu kentara, sehingga lebih sering kuabaikan. Namun, tetap itu artinya penglihatan Galih lebih baik dariku.

Dengan berubahnya kawasan ini, di mana awalnya dipenuhi oleh rumah-rumah tak permanen yang memenuhi seluruh sisi gang menjadi hamparan salju luas dengan timbunan reruntuhan bangunan yang terkadang harus kuinjak karena tak ada pilihan jalan yang lain, bukanlah sesuatu yang bisa membuat pikiranmu tenang.

Aku bisa tersesat, apalagi dengan tak kukenali wilayah ini dengan baik. Namun, aku tahu bahwa kawasan ini dilingkupi oleh tiang dengan juntaian kabel listrik yang melintang tepat di luar area kawasan kumuh. Aku bisa melihatnya dari kejauhan. Jika kuikuti, maka kabel itu akan membawaku ke area pusat kota, pun salah satu alasan mengapa aku berani mengambil resiko untuk memotong jalur. Yang harus kulakukan hanyalah mengingat ke arah mana aku harus pergi. Kalau salah arah, aku akan kembali ke perumahan tempatku tinggal.

Langit benar-benar mulai menghitam, memakan bayangan gedung yang aku dan Galih incar, membuatnya tak tampak lagi di depan mata. Aku yakin hal itu terjadi bukan disebabkan oleh rabun jauhku, karena Galih juga mengatakan hal yang sama. Namun, setidaknya kami tahu bahwa tujuan kami ada di depan sana.

Kami hanya harus berjalan lurus dan berharap tak meleset beberapa derajat, membuat kami kehilangan arah, sehingga tak menemukan gedung yang kami harapkan—jika bayangan itu benar-benar bayangan sebuah gedung.

Perjalanan di malam hari bukan kegiatan yang menyenangkan. Tanganku mulai menggigil, padahal aku yakin sarung tangan yang kukenakan belumlah basah karena keringat.

Tak ingin berlama-lama di luar sini, aku dan Galih berusaha mempercepat langkah, memotong waktu perjalanan sebanyak mungkin sebelum seluruh jari kami menjadi kaku.

Harapan kami dikabulkan, tetapi tidak tepat seperti apa yang kami pikirkan.

Aku dan Galih berhasil menemukan gedung yang kami cari, berupa sebuah sekolah seperti yang ditunjukkan pada papan nama. Namun, bukan berarti kami menemukannya begitu saja selancar-lancarnya.

Aku dan Galih hampir melewati sekolah itu, tak menyadari keberadaannya, kalau saja bukan karena secercah cahaya terang muncul dari salah satu bagian sekolah. Terang, menarik perhatian kami bagaikan laron yang siap menabrakkan diri pada bohlam lampu.

Namun, aku dan Galih tak langsung masuk begitu saja, atau mungkin lebih tepatnya aku yang tak masuk begitu saja dan Galih mengikutiku. Aku yakin, cahaya itu muncul dari api, dan tak mungkin api itu menyala dengan sendirinya. Kalau sebelumnya malam gelap berhasil menyembunyikan gedung sekolah dengan sempurna, itu artinya seseorang, siapapun itu, belum lama berada di dalam sana dan menyalakan api.

Sekarang aku berpacu dengan waktu, terpaksa mengintai beberapa saat sebelum tubuhku membeku kedinginan.

Aku mengintip dari balik pagar yang sedikit menyerong, terkesan hampir rubuh, kemudian membiarkan Galih untuk berada di belakangku, tersembunyi di balik pagar dinding yang membuatnya tak dapat dilihat oleh siapapun yang ada di dalam sana.

Api itu berasal dari lantai bawah, di depan sebuah ruangan yang kuduga awalnya merupakan ruang kelas. Ketika kuperhatikan, bisa kulihat seorang lelaki tua dengan janggut tebal yang menutupi seluruh bagian bawah wajahnya tengah menyorongkan kedua tangannya, menghangatkan diri dengan bantuan api yang mungkin ia buat sendiri.

Laki-laki itu mengenakan tutup kepala, jaket, juga berselimutkan selapis pakaian—atau mungkin selimut—sambil menyenderkan bahunya pada dinding kelas. Di sampingnya terdapat sebuah tas yang juga ia senderkan. Tertutup rapat.

Kedua tanganku mulai keram.

Aku mencoba memperhatikan sisi sekolah yang lain, tetapi malam gelap membuat seluruh pantulan hitam menjadi tak terbayangkan. Cahaya api yang terang lumayan membantuku mencari tahu, tetapi tak cukup jelas.

Sekolah ini tidak besar. Berlantai dua, tetapi tidak banyak ruangan yang dapat kulihat sejauh mata memandang. Memanjang ke belakang, dan aku tak dapat menerka apakah di ujung sana terdapat orang lain yang ternyata merupakan teman si laki-laki itu.

Pagar sekolah terbuka, atau lebih tepatnya rusak, sehingga aku bisa masuk dengan leluasa. Aku berjalan mengendap-endap, sebisa mungkin meredam suara kerukan salju yang diakibatkan oleh sepatuku. Aku tak ingin mengambil resiko—seandainya ternyata laki-laki itu tidak sendirian—ketahuan. Galih yang mengikutiku dari belakang kupinta untuk melakukan hal yang sama.

Rencanaku berhasil. Ketika aku masuk ke area sekolah, laki-laki itu belum menyadari keberadaan kami sama sekali. Jadi, aku dan Galih berkeliling, tentu tanpa menurunkan tingkat kewaspadaan kami.

Sebagian besar ruangan mustahil untuk kami buka, kecuali dengan—sekali lagi—memecahkan kaca jendela karena tumpukan salju yang menumpuk, tetapi aku tak ingin menarik perhatian dengan menimbulkan suara keras.

Setelah beberapa saat, aku yakin laki-laki itu sendirian, tidak tergabung dalam kelompok tertentu, atau mungkin ia sedang melakukan perjalanan sendirian, keluar dari kelompoknya untuk suatu tempo sesaat.

Namun, tubuhku semakin menggigil, dan dapat kulihat Galih yang semakin merekatkan jaketnya dengan salah satu tangan yang tak menggandeng tanganku. Ia mungkin tak mengatakannya, tapi aku tahu ia sedang kedinginan setengah mati.

Mau seresisten apapun, anak kecil itu tetap manusia.

Matanya mulai sayup dan beberapa kali hampir terjatuh. Kesadarannya semakin menurun, ia semakin mengantuk. Bisa berbahaya jika Galih ketiduran di tengah salju. Aku harus memangkunya entah ke mana kalau benar-benar terjadi.

Aku tak mungkin mencari tempat lain, bangunan lain, yang mungkin bisa kugunakan sebagai tempat berlindung dalam kondisi seperti ini. Sialnya, hampir seluruh pintu ruangan, separuhnya, ditutupi oleh salju. Aku tak dapat membukanya, tidak dengan usaha keras menggali, yang bahkan tidak selalu bisa memberikan kepastian bahwa pintu itu dapat terbuka setelah semua usahaku. Bagaimana jika pintunya macet seperti yang terjadi pada rumah Dirga?

Kalau aku memecahkan jendela, laki-laki itu akan tahu bahwa ada orang lain di sekitar sini, dan aku tak ingin menimbulkan kesalahpahaman, berpikir bahwa aku siap untuk menebas lehernya hanya untuk kesenangan atau merebut barang bawaannya.

Pilihan terakhir? Aku turut bergabung, berkemah dengan orang itu.

Namun, coba kaupikirkan. Apakah memilih untuk bergabung bersamanya adalah sebuah pilihan yang buruk? Dia sudah membuat api, yang artinya aku tak harus bersusah payah membuat api kedua untuk menghangatkan tubuhku. Kalaupun ternyata dia bukan orang baik yang mau menerima orang asing untuk menemani malamnya, aku tinggal bilang, kalau kedatanganku ke sini, bukanlah ancaman untuknya. Setidaknya, jika aku memang harus memecahkan kaca untuk masuk ke dalam ruangan, dia tak perlu terkejut, melakukan sweeping dan kemudian mengusirku.

Aku juga bisa merebut api itu darinya, tapi tak mungkin kulakukan di depan Galih. Apalagi laki-laki itu hanyalah laki-laki tua yang bahkan kurasa sudah hidup lebih dari setengah abad.

Dengan sepanjang lengan yang mulai terasa membeku, akhirnya kuputuskan untuk mendekati laki-laki itu, berjalan menuju sumber cahaya, melihatnya masih melakukan hal yang sama. Mendorong kedua lengan, mendekati api, sedekat mungkin, sambil menekuk lutut, berusaha tak mengekspos bagian perutnya ke dunia dingin di luar sini.

Ketika aku dan Galih berjalan semakin mendekat, laki-laki itu mulai menyadari keberadaan kami. Suara kerukan salju membuatnya waspada, segera berdiri sambil mengambil kayu berlilitkan kain dengan api yang membara.

Ia bertanya, "Siapa di sana?" sambil menggerakkan obor di tangannya itu ke segala arah. Kemudian, gerakannya terhenti ketika obor itu diarahkannya tepat padaku.

Aku berhenti, mengangkat kedua lengan, dan demi apapun juga, sendi-sendiku langsung terasa nyeri, seolah-olah ribuan jarum sedang menusuknya berulang kali. Galih yang genggamannya kulepaskan sekarang langsung menggosokkan kedua telapak tangannya yang diselimuti oleh sarung tangan. Sebuah kebiasaan, padahal bukan telapak tangannya yang saling tergesek.

"Aku Firman," kataku, kemudian sedikit menyerongkan kepalaku ke arah Galih, "dan ini adikku. Kami bukan orang jahat."

Di balik janggut tebalnya, bisa kupastikan bibir cemberut terpahat pada wajahnya, hanya saja tak terlihat. Laki-laki itu masih menodongkan obornya ke arah kami, tetapi hanya disertai oleh kebisuan, lengkap dengan tatapan tajam yang tak dilepaskannya ke arahku.

Dia diam beberapa saat, tetapi tubuhku mulai membeku, mungkin juga sama untuk Galih. Aku tidak bisa menunggu lebih lama.

"Apa boleh kami bergabung?" Aku memohon. Laki-laki itu masih belum menurunkan tingkat kewaspadaannya.

Aku bersumpah, rasanya kedua tanganku sudah terkunci dalam pose seperti ini, tak dapat kugerakkan seberapa keras pun aku berusaha. Aku ingin berteriak, memaksanya untuk mempersilakan kami bergabung ke dalam kesendiriannya, tetapi aku tak ingin menghilangkan kesempatan seandainya ternyata dia tak menyukai sikapku.

Kehilangan kesempatan karena tindakan konyol adalah hal konyol.

Laki-laki itu mulai mengalihkan pandangannya ke arah Galih yang semakin tak dapat diam. Galih melompat kecil, sekadar membuat dan menahan panas untuk tak keluar dari tubuhnya. Namun, aku bisa mendengar tangisan kecil mulai keluar dari mulutnya.

Dengan usaha keras, aku mulai mendekapkan tubuh Galih ke arahku. Dia langsung memeluk kakiku. Kemudian, entah karena melihat Galih yang sudah tak dapat menahan lebih lama lagi suhu dingin di luar sini, laki-laki itu mempersilakan kami untuk bergabung dengannya.

Tidak, tidak langsung mempersilakan begitu saja. Laki-laki itu tak mengucapkan sepatah kata pun juga, tetapi ia kembali meletakkan obornya, kemudian duduk tanpa memberikan tanggapan sama sekali. Aku rasa ia memberikan lampu hijau untukku bergabung, karena kalau tidak, seharusnya ia sudah mengusirku dari awal.

Ya, aku hanya membuat asumsi. Namun, aku tak terpaksa menganggap asumsi itu sebagai sebuah kebenaran, apalagi melihat Galih yang sudah tak kuat menahan dingin dan hampir menangis.

Aku dan Galih langsung berjalan mendekati, kemudian kubiarkan Galih melepaskan barang bawaannya, hingga akhirnya anak itu turut mendekatkan kedua telapak tangannya pada api.

"Aku punya banyak makanan kalau kau mau," kataku. Sebenarnya, hal itu kusebutkan hanya sebagai bentuk terima kasih, terutama atas kesoktahuanku, berpikir bahwa ia mempersilakanku dan Galih untuk bergabung bersamanya.

Aku melepaskan barang bawaan ketika laki-laki itu bertanya dari mana aku berasal. Tentu, kujawab tanpa menyembunyikan apapun, yang kemudian kulanjutkan dengan pertanyaan yang sama untuknya. Dia bilang dia berasal dari sekitar sini.

Ketika aku tanya ke mana orang-orang pergi, dia bilang sebagian besar orang pergi ke tempat penampungan, sedangkan sebagian besar lainnya memilih untuk kembali ke kampung halaman, persis seperti yang dilakukan oleh teman-temanku ketika salju mulai melanda dalam suasana yang buruk.

Cukup menjawab pertanyaanku akan sepinya tempat ini, juga tempatku tinggal sebelumnya.

Kawasan ini, juga kawasanku tinggal sebelumnya, memang lebih banyak ditempati oleh para pendatang. Namun, bukankah artinya di suatu tempat di luar sana, orang-orang sedang berkumpul? Mungkin di luar sana tak akan sesepi tempat ini.

Aku mengutarakan pendapatku itu padanya, termasuk tempat penampungan pemerintah yang kami tuju. Namun, laki-laki itu menepis dugaanku.

"Kau akan pergi ke tempat penampungan?"

"Ya," kataku.

"Lupakan hal itu, kau tidak akan mendapatkan apa-apa di sana."

"Bagaimana kau tahu?"

"Karena aku pernah ke sana," katanya, dan sedikit membuat alisku menepi, masuk ke area tengah dahi dengan kerutan yang tampak secara jelas.

"Kau pernah ke sana?" Aku bertanya padanya, memastikan bahwa ceritanya bukan cerita bohong hanya untuk menakut-nakutiku. Namun, kalau dipikir-pikir, untuk apa juga dia ingin menakutiku?

Laki-laki itu menganggukkan kepalanya. "Sudah lama sekali, ketika diumumkan pertama kali," katanya, kemudian kembali ia mainkan tangannya di depan api untuk menghangatkan tubuh. "Tetapi tempat itu bukan tempat yang bagus untuk kau tuju."

Aku mulai penasaran. "Apa yang terjadi di sana?"

"Kau pernah tinggal di tempat pengungsian?"

Aku menggelengkan kepala. "Tidak pernah."

"Sulit kugambarkan kalau kau tidak tahu. Rasanya sama seperti itu, hanya saja lebih buruk." Sekarang, laki-laki itu menyakukan kedua tangannya. "Orang-orang jatuh sakit, persediaan makanan dan obat-obatan sangat terbatas. Aku memilih untuk kembali karena mengambil makanan di luar sini bisa membuat perutku lebih kenyang daripada harus tinggal di tempat penampungan itu, walaupun akhir-akhir ini aku juga kesulitan mendapatkanya."

Aku membuka tas, berinisiatif mengeluarkan makanan untuk kami santap bersama, kemudian memberitahu bahwa di luar sana masih ada beberapa titik lokasi yang dapat digunakan untuknya mengisi persediaan jangka panjang.

"Tapi hal itu sudah terjadi sangat lama, kan? Aku tidak ingat sudah berapa hari, bahkan bulan, berlalu semenjak pemerintah mengumumkan keberadaan tempat penampungan itu," kataku selanjutnya, membalas pernyataannya.

"Aku tidak tahu. Aku tidak pernah kembali ke sana. Mungkin kau benar."

Api mulai meredup. Laki-laki itu memasukkan potongan kayu yang sudah disediakannya. Kurasa ia mendapatkannya dari meja atau kursi yang sengaja dirusak, mengingat dapat kulihat ada satu jendela pecah dari ruang kelas yang dindingnya kami sandari sekarang ini.

Galih tidur beralaskan jaketku yang lain, yang sebelumnya kubawa dan kumasukkan ke dalam tas. Tidur tanpa alas di luar sini memang bukan pilihan yang dapat kau ambil. Salah-salah, kau bisa mati dalam tidur karena kedinginan. Selain itu, bagian atas tubuhnya juga sengaja kuselimuti dengan jaket lainnya, berusaha menjaga temperatur panas agar tak keluar dari tubuhnya.

Sesekali Galih bergerak, meronta dalam tidur di luar kesadarannya, sehingga harus berulang kali kurapikan kembali pakaian yang menyelimutinya, memastikan bahwa ia tak bergerak keluar dan mengekspos dirinya ke dunia yang dingin.

"Jadi, hanya kau dan adikmu yang selamat? Bagaimana dengan orang tuamu?" Laki-laki itu kembali bertanya, melanjutkan percakapan.

"Aku tidak tahu," kataku, sembari sesekali memperhatikan Galih, memastikannya tak berguling dan tergelincir ke dalam timbunan es tebal. "Ketika salju turun di sini, mereka sedang di Inggris."

"Di Inggris?"

"Ya, dan keadaannya tidak lebih baik dari sini. Mereka bilang badai terus mengamuk sepanjang hari tanpa henti. Aku tak tahu apa yang terjadi pada mereka setelah listrik dan sinyal telepon menghilang."

Si laki-laki itu mengernyitkan dahinya. "Jadi tak hanya Indonesia yang mengalami fenomena ini, ya?"

"Aku dengar seluruh dunia mengalami hal yang sama, anomali ini terjadi di setiap daerah. Mungkin tidak persis sama selalu salju," kataku, "Bagaimana dengan keluargamu?"

"Aku tinggal sendiri, kabur dari orang tua sejak lulus SMA. Terlalu nyaman untuk tinggal di sini dan tak sadar sudah meninggalkan mereka sejak lama. Aku tidak pernah mendengar kabar mereka. Mungkin mereka sudah meninggal."

"Tidak pernah merindukan mereka?"

"Tidak mungkin." Laki-laki itu tertawa menyeringai, seolah-olah ucapanku itu terdengar seperti cemoohan, seperti manusia yang senang berspekulasi atas kehidupan orang tahu, seolah-olah setiap orang harus selalu merindukan manusia yang, seharusnya, dekat dengan mereka. "Aku anak tunggal. Kalaupun aku akan merindukan mereka, dari awal tidak mungkin aku kabur."

Aku memiliki beberapa teman yang sama, orang-orang yang selalu berkata ingin melepaskan diri dari keluarga mereka, tetapi tak bisa karena tertahan oleh biaya. Setidaknya, jika cerita yang dikatakan laki-laki ini benar, ia memiliki keberanian untuk hidup sendirian.

"Lucu juga, karena di kehidupanku, orangtuaku lah yang selalu pergi, meninggalkanku dan adikku."

"Kau merindukan mereka?"

Aku mengangguk. "Jelas."

Aku tahu apa yang ada di pikirannya: jelas tidak ada harapan untukku menunggu kedatangan mereka, orang tuaku. Kalau di Indonesia saja keadaannya sudah separah ini, apalagi di negara-negara yang secara rutin mengalami musim dingin, kan?

Namun, aku tak ingin memutuskan harapan itu. Tidak hanya karena berpikir mereka masih hidup, walaupun tanpa bukti otentik yang bisa kutunjukkan, mampu membuat pikiranku tetap waras, tetapi juga karena ada kemungkinan di Inggris sana keadaannya tak seburuk di tempat ini.

Kami tidak siap menghadapi cuaca dingin yang ekstrem karena memang kami tak pernah mengalaminya, berbeda dengan negara-negara Eropa yang mengalami empat musim. Selain itu, kalau misalnya entah karena keajaiban atau apa, mereka tetap mengalami musim panas yang notabene lebih panas dari suhu standar yang biasa kudapati, seharusnya temperatur dingin tak akan menjadi masalah sebesar masalah di tempat ini, kan?

Pemikiran logis di dunia irasional. Namun, bisa jadi apa yang terjadi di sana sebenarnya tak sebaik itu, atau mungkin sebenarnya lebih buruk dari tempatku bersandar sekarang. Tak ada yang tahu.

"Apa kau akan meneruskan perjalanan ke tempat penampungan itu?" Laki-laki itu bertanya padaku.

"Ya, aku tak memiliki pilihan lain," balasku, tetapi tak kuberikan alasan detailnya lebih lanjut. Aku tidak ingin mengatakan bahwa di luar sana, dengan mata kepalaku sendiri, kudapati dua sosok mayat yang kukenal tergeletak berlumuran darah dengan luka tusukan di beberapa bagian tubuh mereka.

"Kau yakin?" tanyanya sekali lagi, seolah-olah berpikir bahwa rencanaku itu adalah sebuah kesalahan.

"Aku yakin," kataku, "Apa kau akan ikut?"

"Aku? Tidak. Aku tak akan kembali ke sana." Laki-laki itu menggelengkan kepalanya, kemudian sekali lagi mengambil potongan kayu dari tumpukan yang meninggi, kembali membuat api membara lebih besar setelah sebelumnya menciut sedikit demi sedikit. "Aku akan tetap di sini sampai keadaan memaksaku untuk pergi."

Sebenarnya, aku pun pergi dengan alasan yang sama: keadaan memaksa. Kalau di luar sana tak ada penyintas yang siap menerjang dan mengambil nyawaku, aku juga tak akan pergi selama masih bisa kutemukan makanan di berbagai tempat.

"Kalau keadaan sudah memaksa, ke mana kau akan pergi?" tanyaku selanjutnya.

"Aku tidak tahu," katanya, dan menjadi penanda akhir percakapan kami.

Setelahnya, kami membisu, tak berbicara satu sama lain, seolah tahu bahwa seluruh usaha yang kami lakukan ini tak akan pernah ada ujungnya, hanya bertahan untuk alasan yang bahkan tak kami ketahui.

Aku kuliah untuk mendapatkan gelar, berharap bahwa pendidikan yang kutempuh itu mampu memberikanku pekerjaan yang layak. Aku berencana bekerja untuk mendapatkan uang, berusaha memenuhi kebutuhanku selanjutnya dengan menukarkan pundi-pundi uang yang telah kukumpulkan sebelumnya. Lihat, kan? Dahulu, aku memiliki alasan yang jelas untuk bertahan hidup.

Sekarang? Aku hidup untuk apa? Apa yang akan kudapatkan setelahnya? Jawaban aku tidak tahu yang laki-laki lontarkan itu seolah menjawab beragam pertanyaan kami terkait masa depan. Ya, karena memang kami tidak tahu apa yang akan kami lakukan setelahnya. Kami hidup hanya di hari ini.

Laki-laki itu mencetuskan ide untuk tidur bergantian. Tentu, bukan tanpa alasan. Kalau kami ingin mempertahankan suhu panas, maka harus kami pastikan bahwa api ini tak akan padam ketika kami tidur. Kau tak akan tahu kapan angin akan berembus kencang dan mematikan api. Oh, atau mungkin lebih buruk. Bagaimana jika secara tiba-tiba badai datang?

Sebuah ide yang bagus yang tak dapat kutolak. Masalahnya, bagaimana cara kami membagi waktu?

Kesepakatan berujung pada jumlah kayu yang kami masukkan ke dalam bara api untuk mempertahankan api. Kami menetapkan angka, sebuah batas yang akan kami gunakan untuk saling membangunkan. Sebelum jumlah kayu yang kami masukkan itu kurang dari batas yang ditetapkan, maka larangan untuk membangunkan masih terjaga.

Kami sepakat, dan laki-laki itu mencetuskan ide untuk tidur pertama. Biarpun sebenarnya mataku sudah sayu, memberat, benar-benar hampir tak tertahankan, aku menyetujuinya. Bagaimanapun juga, akulah yang menumpang di lokasinya bermalam.

Tak ada bintang, tak ada suara binatang menemani malamku. Sendirian, kosong, ditemani cahaya api di antara gelap yang mengerikan. Sesekali kumasukkan potongan kayu, menjaga amukan api agar tak padam sembari menghitung jumlahnya, berusaha untuk tak salah hitung dan memenuhi janji kami sebaik mungkin.

Sebenarnya sedikit tak adil, sih, karena di antara kami tak ada yang tahu kapan matahari, kira-kira, akan terbit. Namun, aku tidak mempermasalahkannya, karena toh dengan potongan kayu yang berbeda-beda, kemungkinan besar waktu kami berjaga juga tak akan sama.

Ketika jumlah kayu yang kumasukkan ke dalam bara api telah mencapai kesepakatan, aku membangunkan laki-laki itu. Ia mengucek mata, menguap, kemudian bertanya apakah sudah waktunya bergantian. Aku mengiyakan pertanyaannya, membuatnya segera kembali memosisikan dirinya pada tempat semula.

Aku mengambil posisi tidurnya, kemudian melihat Galih yang masih tertidur pulas di antara selimut pakaian yang ia kenakan. Dalam waktu singkat, mataku terpejam dan kesadaranku menghilang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top