1. Pilot

Aku bukan mahasiswa teladan yang patut dijadikan contoh: tidur di dalam kelas, terlambat mengerjakan tugas, disertai rentetan nilai C di hampir setiap semester. Apalagi yang kaubutuhkan untuk meyakinkan bahwa aku bukanlah mahasiswa teladan? Kalau orang-orang di luar sana tahu bagaimana sikapku selama kuliah, mungkin mereka sudah menyesalkan kelahiranku yang mengambil kesempatan kuliah orang lain, padahal mereka tak mengenalku.

Memang, seharusnya aku bisa meningkatkan prestasi akademikku, tapi hal itu bukanlah perkara mudah. Siapa mahasiswa di dunia ini yang mampu mendapatkan nilai tinggi, berorganisasi, bekerja hampir penuh waktu sampai-sampai terkadang sengaja kubohongi manajerku, berkata bahwa aku sakit, padahal aku hanya ingin beristirahat, dan menjaga adik hampir setiap saat, memacu jantung ketika ia tak ada di sekitarku malam-malam?

Aku terpaksa mengorbankan beberapa kewajiban untuk memenuhi kebutuhan yang lain, terutama adikku itu. Setidaknya, murid-murid di tempatku mengajar tidak tahu bahwa IPK-ku berada pada ambang batas kelulusan. Kalau tidak, mungkin salah satu dari mereka akan mempertanyakan kredibilitasku, mengadu pada orang tua, dan membuatku berada dalam masalah. Tempat les sih tidak peduli selama tidak ada aduan, dan mereka merasa bahwa aku bisa mengajar dengan baik.

Kenapa aku memiliki banyak tanggung jawab seperti itu? Mungkin kalian semua penasaran. Ketika kuceritakan hal yang sama, kebanyakan orang menduga bahwa aku terpaksa hidup berdua dan menghidupi adikku, yang sebenarnya adalah sebuah kesalahan. Salah besar, malah.

Kedua orang tuaku sebenarnya masih ada, tetapi mereka selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain karena pekerjaan. Adikku memiliki dua pilihan mutlak yang salah satunya harus ia ambil: ikut kedua orang tuaku bekerja dan berpindah sekolah, setidaknya setahun dua kali, atau menetap bersamaku yang kebetulan berkuliah tak jauh dari rumah dan sekolahnya. Bukan pilihan yang mudah.

Tak seharusnya seorang anak memilih salah satu di antara kedua pilihan itu, tetapi orang tuaku tak ingin mengorbankan pekerjaan. Mereka berdalih bahwa semua kekayaan itu untuk kelangsungan hidup kami berdua.

Aku berhasil menghasut Galih, adikku itu, untuk memilih pilihan kedua.

Ah, kata menghasut itu tampaknya terlalu berlebihan, karena pilihan itu juga untuk kebaikan adikku sendiri. Sebagai seseorang yang pernah berpindah-pindah sekolah, entah sampai berapa kali semasa hidupnya, aku tahu bagaimana perasaan selalu menjadi anak baru setiap saat, tanpa bisa mengawetkan pertemanan, bahkan hanya untuk bersama satu orang saja. Kurasa aku tak pernah benar-benar memiliki teman sampai masa kuliah tiba, dan itulah alasanku untuk ngekos, padahal jarak rumahku dengan kampus tak terpaut lebih dari sepuluh kilometer. Aku membutuhkan sosialisasi.

Lagipula, rumahku itu hampir selalu kosong, biasanya hanya terisi ketika aku libur kuliah, waktu yang tepat untukku berjalan-jalan. Aku tak ingin mengulangi rasa malu karena tak tahu daerahku sendiri, semuanya dipicu ketika seseorang menanyakan alamat padaku beberapa tahun lalu.

Kadang aku bingung. Kenapa orang tuaku itu sampai harus membeli rumah kalau mereka memang senang berjalan-jalan karena pekerjaan? Ya, tapi pertanyaan itu tak pernah kuutarakan langsung pada mereka, sih. Kalaupun mereka mendengarnya, paling-paling mereka akan menjawab, "Nanti juga kalau kerja kamu ngerti." Namun, jangan salah, bukan berarti aku membenci mereka. Setidaknya mereka masih menyempatkan diri untuk menanyakan kabarku dan Galih du ujung dunia sana.

Kedua orang tuaku kini sedang berada di Eropa—Inggris lebih tepatnya, meninggalkanku dan adikku berdua. Bukan kejutan yang berhasil mengerucutkan kedua alisku.

Sebenarnya kami pernah memiliki asisten rumah tangga. Namun, semenjak ibuku kehilangan banyak perhiasan, ditambah dengan sang asisten yang tidak pernah kembali lagi setelah pamit untuk pulang, rencana menambahkan orang asing untuk tinggal di dalam rumah selalu dicoret dari daftar kewajiban. Salah kami juga, sih, karena tak melakukan pengecekan secara teliti akan barang-barang bawaannya sebelum pulang. Namun, yang pasti, sekarang Galih menumpang tidur di kosan-ku, karena tak akan kubiarkan dia tinggal sendiri di rumah walaupun ia sudah kelas empat SD.

Galih selalu merasa bahwa dirinya sudah dewasa, walaupun tidak ia katakan secara eksplisit. Aku tak menyangkalnya, tetapi dalam penglihatanku, dia tetaplah seorang anak kecil berumur sepuluh tahun yang harus diawasi. Galih bukan anak kecil manja dengan segala keinginan yang selalu terpenuhi. Oh, astaga, bahkan kalau kau meraup jutaan sinonim dari kata mandiri, tampaknya jumlah itu masih kurang untuk membangun kepribadian Galih. Pernah pada suatu hari, Galih pulang dari sekolah sendirian, membuatku terkejut setengah mati karena tak menemukannya di sekolah.

Bagi orang-orang, mungkin anak kelas empat SD yang pulang sendirian setelah sekolah merupakan hal biasa. Namun, dengan tak banyaknya kendaraan umum, di tengah cuaca dingin yang bahkan mampu membuat siapapun menggigil, apalagi dengan jalanan menanjak yang harus Galih tempuh beberapa kilometer untuk sampai ke kosan-ku, bukanlah sebuah perkara wajar yang bisa kau temui di mana-mana. Dan ketika aku bilang dingin, yang kumaksud adalah dingin yang benar-benar ... dingin.

Selama aku tinggal di wilayah ini, tak pernah sengaja kupakai dua lapis pakaian ditambah jaket hanya untuk mempertahankan suhu hangat tubuhku. Bahkan, tak sedikit mahasiswa-mahasiswa pejuang perantauan yang jatuh sakit hanya karena dingin.

Ketika itu, Galih hanya menggunakan seragam dengan jaket yang kupaksa ia kenakan. Terkadang ia menanggalkan jaketnya karena guru-guru di sekolahnya melarang penggunaan jaket ketika jam belajar mengajar. Bagi Galih, selama ia belum sampai rumah atau tempat kos-ku, kegiatan belajar mengajar belum berakhir, dan hal itu membuatku cemas.

Aku mencarinya, bertanya pada orang-orang, membiarkan sekelompok guru membicarakanku karena aku berlari, berkeringat, sambil menenteng tas dengan resleting terbuka. Mereka semua kompak menjawab tidak tahu.

Untungnya, salah seorang temanku menelepon kemudian, setelah kucari Galih selama hampir satu jam penuh, memberitahu bahwa adikku sudah berada di tempat kos, berkata bahwa Galih menungguku untuk pulang.

Aku ingin berteriak kala itu, tapi jelas tidak akan tepat sasaran, karena di ujung telepon sana, temanku lah yang berbicara, bukan Galih sendiri. Jadi, daripada membuang-buang energi, aku langsung menancap gas, menyalip banyak kendaraan, dan berusaha untuk sampai ke kamarku secepat mungkin—tetapi tetap berhati-hati. Amarahku semakin mereda seiring dengan perjalanan yang kutempuh–untngnya.

Benar saja, Galih ada di sana. Dia duduk diam di depan kamarku, ditemani oleh temanku yang menelepon tadi—Aziz namanya. Ketika aku tanya kenapa dia tak menunggu di sekolah, Galih berkata bahwa ia tak ingin membuatku susah. Namun, namanya juga anak kecil, kebaikannya itu tak disusul oleh pandangan yang jauh ke depan. Akibatnya, dia malah terkunci dan tidak bisa masuk ke kamarku.

Aku rasa Galih jadi semakin mandiri–atau ingin menjadi mandiri–karena ia terlalu sering bergaul dengan teman-temanku. Memang, sih, tak banyak anak kecil seusianya yang bisa ia ajak untuk bermain. Lucunya, selain Galih yang mencoba untuk beradaptasi, teman-temanku juga terpaksa beradaptasi dengan adanya Galih.

Sebagai contoh? Entah sudah berapa orang yang berhenti merokok, atau setidaknya sekadar sembunyi-sembunyi, hanya agar tak kena semprotan maut, "Ih, Aa kok ngerokok? Kan nggak baik," Galih.

Semenjak insiden Galih yang pulang sendiri, aku membuat kunci duplikat untuk digunakannya. Namun, bukan berarti pikiranku tak meracau ke mana-mana. Dengan memiliki kunci kamarku, Galih bisa pulang dan pergi kapan saja semaunya. Untuk itulah aku sengaja mencarikannya tempat les, yang di saat bersamaan, sengaja kulamar salah satu lowongan guru di tempat itu. Setidaknya aku tahu ke mana harus kucari seandainya Galih hilang lagi, dan tempat les cukup untuk menyita waktu agar ia tak terlalu bosan sendirian di kamar kosku.

Selain itu, bukankah mahasiswa-mahasiswa pendahuluku—kakak tingkatku—selalu menekankan untuk ikut berorganisasi sebagai bekal melamar pekerjaan? Kalau bisa, kenapa aku tak langsung kuliah sambil bekerja saja? Benar, kan? Mereka bilang mentalku harus terlatih sebelum mendapatkan pekerjaan, padahal toh mereka sendiri juga belum pernah memiliki pengalaman kerja.

Dasar si paling mental.

Uang sebenarnya bukan sebuah masalah untuk keluargaku—untungnya. Bahkan, uang yang setiap bulan orang tuaku berikan selalu lebih dari cukup. Kalau aku sedang malas berjualan risoles untuk memenuhi kebutuhan dana suatu program kerja, tak jarang kubeli semua sendirian agar aku tak perlu bekerja keras, mencari pelanggan ke sana dan ke mari, sehingga bisa kudapatkan uang hasil jerih payah untuk kuberikan pada bendahara—uangku sendiri. Tidak masalah, kan? Toh teman-temanku juga senang mendapatkan risoles gratis.

Aku meminta Galih untuk selalu mengabariku kalau-kalau ia melakukan aktivitas di luar kebiasaannya. Dia bukan anak yang selalu bergantung pada ponsel, jadi melihatnya menggenggam ponsel merupakan sebuah kejadian langka yang tak selalu bisa kupandang. Aku tidak tahu di situasi seperti ini, hal itu merupakan sebuah keuntungan atau kerugian. Dia memang tidak kecanduan, tapi komunikasi jadi sedikit lebih sulit.

Sangat berbanding terbalik denganku, buku sekolah selalu Galih jadikan teman menyendiri. Kurasa, alasan yang sama membuatnya senang-senang saja ketika sengaja kudaftarkan ia di tempat les, di mana sekarang ia memiliki waktu tambahan untuk belajar. Kalau aku ada di posisinya, mungkin aku sudah bersungut kesal.

Jadi, itulah siklus keseharianku: mengantar Galih ke sekolah, kuliah, menjemput Galih pulang atau bertemu dengannya langsung di tempat les, kemudian kembali ke kamar. Tentu, kegiatan lain terkadang nyempil di antara itu.

Di malam hari, biasanya Galih akan kembali membaca buku, sedangkan aku keasyikan bermain game hingga larut malam. Pagi-pagi sekali, aku akan kelabakan mengerjakan tugas sebelum mengantar Galih ke sekolah.

Sengaja tak kuambil kuliah di jam sore. Kalaupun terpaksa mengambil, biasanya aku akan menjadi seekor kutu kupret yang membebani teman-teman lain, memaksa dosen mengganti jadwal kuliah.

Setiap hari, kecuali hari libur, hampir selalu sama seperti itu. Bosan? Sebenarnya tidak juga, karena terkadang aku sendiri melanggar jadwal yang telah kutetapkan. Seperti yang kubilang, beberapa kali aku sengaja mangkir dari pekerjaan untuk nongkrong bersama teman-temanku. Namun, harus kupastikan jika hari itu bukanlah hari les Galih. Aku tidak ingin ia melihatku berbohong. Biasanya aku kongkalikong dengan Aziz, memintanya untuk menjaga Galih untuk beberapa saat ketika aku pura-pura bekerja, memintanya bercerita pada Galih seberapa keras aku bekerja, padahal terkadang kami bermain game di ponsel pada waktu yang bersamaan.

Memang, Aziz adalah teman terbaikku dalam melakukan kejahatan. Padahal kami berasal dari fakultas yang berbeda. Namun, tentu kejahatan yang kumaksud bukanlah kejahatan gila yang diatur dalam undang-undang, tetapi hanya semacam kebohongan-kebohongan kecil untuk kebahagiaan sesaatku.

Hari ini pun tidak jauh berbeda dengan hari-hari lainnya.

Galih tidak menghubungiku, berarti—seharusnya—bisa kutemukan ia di sekolahnya. Langit biru dengan corak putih mengiri perjalananku, termasuk menemani umpatan seorang pengendara mobil karena aku sempat kehilangan keseimbangan, kemudian menggunakan sedikit bagian dari bodi mobilnya untuk membantuku berdiri. Jalanan menurun memang rawan kecelakaan, apalagi dengan pikiran kacau yang sekarang hinggap di kepalaku.

Aku harus bekerja. Namun, demi apapun juga, ada banyak alasan yang membuatku tak ingin keluar kamar.

Pertama, tugas yang menumpuk, dan itu sudah jelas, karena tiada hari tanpa tugas. Kedua, dingin yang gila yang benar-benar membuat tubuhku menggigil. Bagaimana caranya bisa kupegang spidol tanpa tremor dengan suhu udara sedingin ini? Ketiga, walaupun aku tak bekerja, aku tetap tidak bisa tinggal di kamar, karena ada Galih yang siap menyemprotku dengan jutaan ceramah kecilnya. Aku bisa mengungsi ke tempat temanku yang lain, tapi ada alasan keempat yang membuatku mengurungkan niat itu: sebagian besar mereka sedang sakit karena tak tahan cuaca dingin dan aku tak ingin tertular.

Kebanyakan dari mereka yang sakit berasal dari luar daerah ini, terutama jika kampung halaman mereka memang merupakan daerah panas membara.

Kalau ponselku benar, maka suhu udara sedang berada di sekitar lima derajat celcius, sepuluh derajat lebih rendah dari suhu terendah yang biasa dicapai pertahunnya.

Sebenarnya bukan hanya di tempat ini. Fenomena-fenomena aneh di tempat lain juga terjadi. Setidaknya, itulah yang dikatakan orang-orang di media sosial.

Bahkan, menurut orang tuaku yang sedang berada di Inggris, mereka juga tengah mengalami musim dingin terburuk sepanjang sejarah. Sama seperti di Indonesia, suhu udara turun drastis. Bedanya, diikuti oleh salju turun yang semakin menebal. Mereka terpaksa berjalan kaki ke mana-mana, karena tak hanya menutupi jalanan, tetapi salju tebal juga merusak kendaraan orang-orang. Mereka yang lupa menyalakan mesin harus rela kehilangan mobil-mobilnya. Kendaraan umum tidak selalu beroperasi karena berbahaya. Kebanyakan orang bahkan tinggal di rumah karena tak ingin berada di luar terlalu lama.

Di saat yang bersamaan, berita-berita mengatakan tornado dahsyat terjadi di berbagai belahan Amerika, melintas tanpa mengenal waktu. Tidak hanya satu, tetapi beberapa secara bersamaan, dan terjadi berulang kali seolah-olah tanpa henti, memorakporandakan kehidupan orang-orang, menyebabkan banyak nyawa hilang melayang ke atas sana.

Aku cukup percaya dengan berita itu, karena media-media besar turut menceritakan hal yang sama, ditambah kerusakan dalam video benar-benar terlihat nyata. Bukan hal menyenangkan yang ditunggu oleh banyak orang.

Beberapa sumber juga mengatakan kalau hujan tanpa henti melanda beberapa daerah kering di Afrika. Walaupun aku hanya melihat sedikit video pemberitaan itu, tetapi tak menutup kemungkinan jika anomali-anomali itu memang benar terjadi. Sekarang, di daerah tempatku tinggal, akhirnya tercetak rekor suhu lima derajat celcius yang tidak pernah terjadi selama ratusan tahun. Mungkin ribuan, jutaan, atau bahkan mungkin tak pernah terjadi sebelumnya.

Berbagai pendapat dikemukakan banyak orang. Kebanyakan sepakat bahwa fenomena-fenomena itu memang anomali langka dan akan berlangsung beberapa saat. Di antara mereka, ada juga yang percaya bahwa akhir dunia semakin dekat. Aku, yang sekarang sedang mengendarai motor, lebih memilih memikirkan pekerjaan dan cara menaikkan IPK tanpa harus bersusah payah belajar—yang artinya adalah tidak mungkin.

Aku sampai di sekolah Galih. Tak perlu mencarinya lebih jauh, karena aku bisa melihatnya duduk di gazebo depan sekolah, tempat kesukaannya menunggu kedatanganku. Di bawah pohon besar, terlindung dari sinar matahari, dan tentu saja tanpa mengenakan jaket seperti yang sudah kuduga.

Aku penasaran, anak itu sebenarnya terbuat dari apa, sih? Apa dia benar-benar tak pernah kedinginan?

Aku bisa melihatnya segera berjalan kaki. Aku juga tak perlu melepaskan helm, karena Galih tahu jelas bahwa aku adalah kakaknya. Ketika jarak kami bertautan hanya beberapa sentimeter, aku memberikan helm yang sebelumnya kuselipkan di antara paha pada Galih. Dia langsung mengenakannya tanpa aba-aba, kemudian berusaha untuk menaiki motor dengan kaki pendeknya.

Galih menggenggam jaketku dengan erat ketika kembali kupacu motor, berjalan ke arah sebaliknya. Tidak kencang, tidak pelan. Biasa saja, tetapi terpaksa kutancap gas lebih dalam karena jalanan yang menanjak.

Kaca helm sengaja kuturunkan. Sebab, beberapa kali kurasakan perih ketika embusan angin berjalan menabrak wajahku.

"De, kamu tuh kedinginan nggak, sih?" Aku bertanya pada Galih, dan anak itu menjawab iya. Kemudian, mendengar jawabannya, aku kembali bertanya, "Kok jaketnya nggak dipakai?"

"Nggak apa-apa, A" katanya, dan hanya itu. Mungkin dia sudah lebih sering terekspos dengan suhu dingin daripada diriku. Namun, ya, selama dia baik-baik saja dan tidak sakit, sesuka dia saja lah.

Pikiranku kembali teralihkan ke masalah sebelumnya: jadi, apakah aku akan pergi bekerja hari ini? Kalau tidak, ke mana aku akan berlabuh?

Di sepanjang perjalanan, entah berapa kali keputusan hampir kudapatkan. Namun, aku tetap tidak mengambil pendirian pada salah satu pilihan. Semua itu berlanjut sampai destinasiku berhasil dicapai

Ketika sampai ke tempat kosku, pertanyaan itu masih belum terjawab dengan sempurna. Setidaknya, aku masih memiliki waktu sekitar tiga puluh menit sebelum memutuskan untuk benar-benar pergi bekerja atau tidak. Namun, seolah-olah melihat kebimbanganku, Galih bertanya, "A Firman nanti ngajar, ya?"

"Iya. Kamu mau ikut, nggak?" Aku menawarkan. Bukan tawaran sesungguhnya, hanya berbasa-basi. Galih menggelengkan kepalanya, seolah tahu untuk memberikan jawaban yang memang kuharapkan.

Kalau dia mau, artinya aku tinggal punya satu pilihan, kan?

Galih mengambil pakaiannya, kemudian masuk ke dalam kamar mandi. Sepulang sekolah, Galih memang terbiasa untuk langsung berganti pakaian. Sedangkan aku? Di tengah kebimbangan, aku malah memainkan ponsel dan mencari berita mengenai penurunan suhu yang terjadi di Indonesia. Hasil pencarianku tak hanya berujung pada Indonesia, melainkan dunia. Bukan kali pertama kubaca, sebenarnya, tetapi tetap saja hal itu membuatku penasaran.

Seluruh dunia mengalami hal yang sama, penurunan suhu.

Kalau kuingat-ingat, cerita terakhir mengenai penurunan suhu secara global terjadi sekitar akhir abad 19, dengan dugaan, akibat letusan gunung Krakatau. Gumpalan debu dan asap diduga menghalangi sinar matahari untuk menaikkan suhu bumi. Walaupun aku tidak tahu pasti apakah alasan yang dikemukakan itu benar, menurutku cukup masuk akal jika hal itu terjadi. Masalahnya, tak pernah ada berita letusan besar selama beberapa bulan terakhir, dan fenomena penurunan suhu benar-benar terjadi.

Jadi, untuk fenomena saat ini, apa penyebabnya?

Aku berpikir keras, tetapi meteorologi bukanlah keahlianku—aku tidak mengambil program studi itu. Kalaupun memang aku mempelajarinya, apakah dengan rentetan nilai C di mana-mana, deduksiku bisa dipercaya? Ya, setidaknya aku tahu batasanku, tidak seperti orang-orang di luar sana yang selalu serba tahu, misalnya membicarakan kecerdasan buatan yang akan menguasai dunia, padahal sampai saat ini, diberikan satu rintangan berbeda saja kecerdasan-kecerdasan buatan itu bisa kelimpungan.

Ketika aku sedang asyik menjelajahi dunia maya, Galih telah berganti pakaian, kemudian mendeklarasikan aktivitas selanjutnya: jajan di warung terdekat. Aku memintanya untuk mengenakan jaket agar tak kedinginan, yang untungnya ia ikuti tanpa bersungut kesal, biarpun sebenarnya perintah itu sudah ... entah sudah berapa kali kuberikan padanya.

Kemudian, aku sadar bahwa keputusanku harus bulat sekitar sepuluh menit lagi. Kalau lebih dari itu dan memutuskan untuk pergi, maka aku akan telat. Jika aku tak memutuskan untuk pergi, maka amarah akan melayang ke arahku karena tak sesegera mungkin memberikan kabar.

Aku mengunci ponsel, memangku dada, kemudian mengetukkan jariku beberapa kali, memikirkan segalanya dari awal. Rasa malas benar-benar sudah menjamah, tetapi aku tak tahu apa yang harus kulakukan selama pergi meninggalkan Galih.

Sekarang tinggal tujuh menit lagi.

Baiklah, percuma saja berdiam diri di kamar. Sepertinya aku mulai harus beranjak pergi meninggalkan tempat ini dan membiarkan motor membawaku entah ke mana. Jadi, aku segera keluar kamar, mendapati Galih tengah membawa dua bungkus makanan ringan ke arahku.

Sontak, Galih bertanya, "A Firman mau berangkat sekarang?"

"Iya, Aa mau berangkat sekarang. Kamu di sini aja, ya, jangan ke mana-mana," kataku.

Kupikir percakapanku dengan Galih sebelum aku pergi hanya akan sesingkat itu. Namun, kemudian Galih memberikan informasi yang tak pernah kusangka akan kudapatkan. Tidak hanya dari dirinya, sebenarnya, tetapi dari siapapun juga.

"Tapi di luar lagi turun salju, A."

Aku mengernyitkan dahi. Langkah kakiku berhenti, kemudian memandangi si bocah kecil dengan tatapan tertajam yang dapat kuberikan. Suara, "Hah?" kecil muncul begitu saja dari mulutku, karena memang aku tidak mengerti maksud dari perkataan Galih.

Tidak, bukannya tidak mengerti. Aku mengerti kalau dia bilang salju turun, hanya saja tak masuk di akal.

"Di warung juga rame ngeributin salju turun."

"Turun salju apaan?" Aku bertanya, tak percaya dengan apa yang Galih katakan.

"Turun salju beneran, A," tukasnya, tetapi tak memberikan keterangan apa-apa, membuatku berjalan sedikit tergesa-gesa, ingin segera melihat ke luar kosan.

Tempat kos ini memang berbentuk seperti rumah tertutup dengan banyak kamar, jadi mau melihat pemandangan di luar pun, kalau ingin melihatnya dengan jelas, aku harus keluar. Ketika aku menuju halaman depan, kedua mataku benar-benar tak dapat memercayai pemandangan yang sedang ditangkapnya.

Salju benar-benar turun, dan ini adalah kali pertama kulihat salju turun di depan mata kepalaku sendiri. Bukan hal yang wajar, sangat tidak wajar. Walaupun wilayah ini berada pada dataran tinggi, tapi tak pernah sekalipun kualami turunnya salju semasa hidup, dan aku sedang tak tinggal di puncak gunung tertinggi di dunia.

Kenapa bisa?

Indonesia wilayah tropis dan wilayah ini tidak berada pada ketinggian sangat ekstrim sampai-sampai kemunculan salju adalah hal yang wajar. Semuanya tidak masuk akal.

Dan lagi, Galih, kenapa dia terlihat biasa saja?

Galih ada di belakangku. Dia pasti mengikutiku ketika ingin mengecek keabsahan informasi yang ia lantunkan. Sekarang aku tahu Galih tidak berbohong sama sekali.

"Kok kamu nggak kaget kalau salju turun?" Aku bertanya pada Galih.

"Bukannya A Firman pernah bilang kalau suhu udara turun terus? Kalau turun terus, bukannya salju emang bakal turun, ya, A?"

Pemikirannya tidak salah, sih. Sederhana dan memang benar. Jika suhu udara turun terus menerus, tidak menutup kemungkinan kalau salju akan turun. Namun, bukan itu sumber masalahnya. Dari awal, fenomena suhu udara yang turun terus menerus sudah aneh. Turunnya salju hanyalah salah satu akibat dari fenomena aneh itu.

Apakah fenomena ini hanya akan terjadi sesaat? Lama? Atau mungkin ... selamanya seperti yang diduga oleh beberapa orang?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top